Athlas menatap undangan di depannya dengan perasaan campur aduk. Sementara Everett yang menjadi pengantar undangan juga terdiam.
“Hutangku lunas bukan? Mengesampingkan kelahiran twins nanti. Aku sudah memenuhi semua persyaratan dalam kontrak kita.”
Si yang lebih tua mengangguk, masih bungkam. Bukan dirinya tak memiliki kualifikasi untuk mendapat undangan ini. Namun undangan privat hanya ditujukan untuk orang-orang tertentu.
Melihat Athlas yang tidak terlalu responsive, Everett memilih bangkit untuk berpamitan, diantar Athlas hingga pintu keluar.
Kini menyisakan Athlas yang termenung sendirian. Menyaksikan dengan jelas event apa yang tertulis dalam undangan tersebut. Hanya charity biasa yang diadakan oleh keluarga Alexander.
Benar keluarga Alexander salah satu keluarga yang berpengaruh di bidang Politik. Tidak ada yang berani pada mereka. Bahkan para pengusaha sekalipun harus rela menjilat mereka demi keberlangsungan hidup perusahaan.
Marga yang sama yang dimiliki oleh Caspian, sekertaris Everett. Alasan terbesar paman, bibi dan sepupu Everett tak berani menyentuhnya bahkan berbuat hal yang membahayakan padanya.
Karena Caspian masih menyandang marga Alexander dinamanya. Putra bungsu keluarga Alexander. Meskipun dirinya tergolong tak dipedulikan keluarga, namun marganya masih bisa digunakan untuk melindungi dirinya sendiri.
Alasan itu juga dia memilih bersama Everett. Selain kabur dari cengkraman keluarganya, setidaknya saat bersama Caspian, Everett akan aman.
Dan selama ini pula Athlas tak bisa menyentuh keluarga ini. Salah satu alasan kuat mengapa dia menyetujui usulan kerja sama Everett.
Pemilik D’Realty Trust itu menjanjikan pertemuan dengan satu nama yang sampai saat ini menjadi duri di hati Athlas.
Charlote Edelaine Alexander.
Tidak ini bukan cerita tentang romansa yang belum usai. Namun karena satu-satunya putri dari keluarga Alexander itu berhutang padanya.
Athlas tak terlahir menjadi putra tunggal. Dirinya memiliki seorang kembaran perempuan. Tak banyak yang tahu karena keluarganya begitu melindungi saudaranya itu.
Athena, namanya meskipun sudah sepuluh tahun berlalu setelah kepergiannya. Rasa sakit masih terasa sama di hati Athlas. Mengingat jelas penyebab kematian saudaranya.
Putri tunggal Alexander yang harus bertanggung jawab. Namun apa daya? Bahkan dengan kekuatan seorang Victor Abraham. Mereka masih belum bisa menyentuh seujung rambutpun Charlote hingga saat ini.
Kejadian itu membuat duka di keluarga Abraham. Semuanya berubah, hingga Athlas kehilangan satu persatu ibu dan ayahnya. Menyisakan dirinya dan sang kakek.
Mendapat kesempatan untuk membalas dendam, Athlas tak akan tinggal diam. Sudut mulutnya menampilkan seringai kejam.
“Charlote saatnya membayar dosamu.”
Kalimat itu diucapkan dengan penuh tekanan dan ancaman membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan bergidik ketakutan.
****
Victor Abraham, lelaku berusia 70 tahun lebih itu menatap cucunya dengan pandangan tak terbaca.
“Kau harus berterima kasih pada tuan muda Dominic itu. Kesempatan ini, adalah hal yang sudah kita tunggu selama bertahun-tahun.”
“Aku mengerti kakek.”
“Berhati-hatilah. Bermain serapi mungkin dan pastikan tanganmu bersih.”
“Kakek tenang saja, putra bungsu mereka ada di pihakku.”
Sang kakek tak menyahut hanya menyeruput teh yang tersedia di depannya. Secangkir teh jahe mengingatkan Athlas pada Everett. Apa si yang lebih muda itu masih mengonsumsinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambivalence
General FictionAm·biv·a·lence /amˈbiv(ə)ləns/ The state of having mixed feelings or contradictory ideas about something or someone. Just story between Athlas and Everett