019 Gazebo Taman

16 10 3
                                    

Langit begitu mendung saat Baskara memarkirkan mobil di parkiran taman kompleks, taman itu tampak lebih lengang dari biasanya. Mungkin karena akan hujan atau mungkin karena siapapun tahu langit senja tak akan hadir hari ini. Baskara langsung membuka seatbelt yang melindungi tubuhnya, meraih kantung keresek berisi minuman, camilan, dan gorengan yang di beli. Asha pun tampak santai menyimpan totebag-nya di bangku belakang, hanya membawa ponsel dan vape yang ia kalungkan di leher.

"Masih kayak knalpot aja itu bibir," ucapan Baskara itu membuat Asha terkekeh, piknik kecil-kecilan itu pun di gelar dengan sangat santai. Asha menghirup dalam-dalam udara lembab yang ada di taman, mungkin karena akan hujan udara terasa begitu dingin namun menyegarkan.

"Papa mama lu gak marah lu pake vape?" Baskara tampak santai berjalan mengikuti Asha.

"Papa? Mama? Maksudnya sepasang manusia yang ngasih beban ekpektasi ke gue?" Baskara terdiam saat mendengar itu.

Asha memilih duduk di salah gazebo yang ada di sudut taman, dari arah sini tampak sekali air mancur yang berada tepat di tengah taman. Baskara meletakkan bawaannya, meraih sebotol minuman kesukaannya. "Yah hujan," Asha berdiri dari tempat duduknya, menengadahkan tangannya ke luar gazebo yang terpercik air hujan.

"Ya seenggaknya kita sampe sebelum hujan," jawab Baskara dengan santai.

"Ya lu bener," ia kembali duduk di tempatnya tadi.

Diantara Baskara dan Asha ada banyak camilan dan minuman yang Asha pesan. "Lu tenang aja," Baskara menoleh pada Asha yang sedang meraih gorengan yang tak pernah sekalipun ia lihat. "Identitas lu sebagai Alexa bakal aman, Alan gak akan tahu. Tapi ..." Asha menghentikan tangannya yang sedang merobek sebuah bakwan.

"Tapi apa?" Dengan santai ia menyuapkan makanan asing itu ke mulutnya. Enak. Ia melebarkan matanya, membuat Baskara sedikit terkekeh.

"Tapi gue harus tau alasan lu ngelakuin ini."

"Ah iya," Asha mengangguk. Ia mulai memakan gorengan itu perlahan, "Ini akan jadi cerita panjang kek nya."

"It's okey, kebetulan juga hujan kan?" Baskara meraih cipe yang ia inginkan sedari tadi.

"Iya sih. Sebenernya gue punya satu keinginan sederhana. Gue pengen bebas, gue pengen bisa lakuin apapun yang gue mau. Seenggaknya sosok Alexa bisa buat gue ngerasa bebas," Asha menghabiskan gorengan dalam satu suapan besar.

"Kenapa gak pake sosok asli lu?" Asha memilih meraih botol minumannya dan meneguk isinya. Ia menatap Baskara yang ternyata masih memperhatikannya.

"Karena gue ngerasa gak bebas. Lu tau gak di luar sana banyak anak yang ngerasa gak bebas karena ekspektasi orang tua?" Baskara menggeleng untuk pertanyaan itu.

"Hmm ya buat informasi aja sih, tapi ada beberapa anak diluar sana yang hanya sebuah aset bagi orang tua mereka. Beberapa di minta mengikuti keinginan orang tuanya, tanpa orang lain tahu anak itu punya keinginan lainnya. Ya bisa di bilang satunya itu ... Gue," Asha tersenyum melihat Baskara, senyuman yang bahkan tampak terpaksa. "Lu tau ending-nya gimana?" Asha menoleh pada Baskara yang duduk di sampingnya, gelengan kepala Baskara adalah sebuah jawaban singkat.

"Apa?" Rasa penasaran hinggap di benak laki-laki itu.

Asha menatap air mancur yang terguyur hujan sejenak dan menghela napas kasar, seolah beban di pundaknya begitu berat. "Pada akhirnya orang tua hanya akan membanggakan anaknya, menganggap prestasi anaknya hal mutlak karena anak itu darah daging mereka. Sayangnya kita manusia yang bisa gagal kan? Jadinya beberapa anak dianggap beban orang tua, bahkan rasanya ..." Asha lagi-lagi terdiam, seolah berat membicarakannya. "Rasanya sesak banget, kayak napas aja salah. Beban ekpektasi yang di tanggung anak itu yang buat beberapa orang memilih jadi dissident. Kita cuma mau kebebasan mutlak," jawab Asha sambil menatap lurus, enggan menatap Baskara hingga laki-laki itu menyadari air mata mulai menggenang di ujung mata Asha.

"Ah sorry gue ga maksud buat lu nangis," Baskara menarik tisu yang tadi ia sempat beli di minimarket.

"Makasih," Asha menerima tisu yang di berikan Baskara. "Jadi sosok Alexa itu adalah diri gue yang milih buat jadi dissident," ia memilih menggunakan tisu yang Baskara berikan untuk mengelap tangannya yang kotor karena minyak.

"Jujur gue tau ini gak sopan, tapi pertanyaan ini muncul terus di pikiran gue."

"Tanya aja," Asha tampak mulai santai, ia menghela napas dengan perlahan untuk menenangkan pikirannya.

"Kok bisa sih lu jadi ..."

"Mantan Gabriel dan buat dia seakan-akan obsesi sama gue?" Baskara mengangguk dengan kalimat itu. "Hmm ceritanya bakal panjang sih jadi ..."

Bersambung...

Dissident : I Want Freedom!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang