Episode 12

47 31 21
                                    

"Gwen juga ingin diperlakukan kayak adek."

_______

26 Maret 2016

"KAK GWEN! YAYA DAPAT JUARA SATU LAGI!"

Anak perempuan yang masih berusia 5 tahun itu berlari kegirangan ke arah sang kakak yang menunggunya di luar gerbang. Tersenyum lebar. Tidak sabar menunjukkan hasil perlombaannya.

Sang kakak yang masih menginjak usia 8 tahun, ikut tersenyum. Menyambut sang adek yang kegirangan.

"Yaya dapat juara satu? Mana coba buktinya?"

Anak perempuan yang dipanggil Yaya itu langsung menunjukkan piala bertuliskan "juara pertama" kepada sang kakak.

"Yaya hebat!" ujar sang kakak.

"Hadiahnya mana, kak?" tanya Yaya -yang bernama asli Vya dengan tatapan polos.

Gwen kecil tampak berpikir. Kemudian menyerahkan selembar uang loma ribu rupiah dari saku roknya. Menyodorkannya pada Vya.

Binaran mata Vya seketika hilang. Digantikan dengan tatapan kecewa serta bibir yang maju lima centimeter.

"Kok cuman lima ribu sih, kak? Kurang buat Yaya!"

"Kak Gwen cuman punya segini. Nanti minta sama Ayah Bunda aja, ya?" tutur Gwen kecil

"Kak Gwen jahat! Ga mau ngasih Yaya hadiah yang besar. Yaya ga mau main sama kak Gwen."

Kemudian tangisan anak kecil terdengar. Vya menangis keras. Tidak peduli terhadap tatapan orang-orang. Gwen yang saat itu masih kecil bingung harus melakukan apa. Lalu ia pun turut menangis kencang. Dua anak kecil itu terus menangis.

"Eh ya ampun kalian kenapa nangis?"

Hingga tiba-tiba, seorang wanita dewasa berjalan menghampiri keduanya. Ia adalah Bunda dari kedua anak kecil tersebut. Disusul dengan suaminya di belakang.

Sang Bunda membawa putri bungsunya pada gendongannya. Menepuk pelan punggung kecil putri bungsunya. Sementara Gwen kecil dibiarkan menangis terisak tanpa elusan di punggung. Hingga lama-kelamaan, tangisan berhenti. Baik Gwen kecil maupun adeknya sudah tidak menangis lagi.

"Kamu apain adek kamu sampai nangis begini?" tuding sang Bunda pada Gwen kecil.

Gwen kecil hanya menggeleng. Ia memang tidak berbuat apa-apa. Namun, sang Bunda tetap tidak percaya. Ia tetap mendesak Gwen sampai Gwen mau mengakui perbuatannya.

"Gwen ga ngelakuin apa-apa, Bunda. Tadi adek minta hadiah karena udah dapat juara satu. Tapi Gwen punya apa-apa buat dijadiin hadiah, jadi Gwen kasih uang saku Gwen yang sisa lima ribu di saku. Yaya malah ga mau dan nangis," jelas Gwen kecil dengan polos.

"Lain kali kalau ga punya apa-apa ga usah sok-sokan mau ngasih hadiah," ujar sang Bunda ketus.

Sang Bunda beralih menatap pada Vya. Sungguh ajaib, tatapan ketus yang sebelumya ia berikan lada Gwen kecil, kini berubah menjadi tatapan lembut layaknya seorang ibu pada umumnya.

"Dek Vya mau hadiah, ya? Nanti ya kita beli bareng-bareng sama Ayah sama kakak-kakak kamu. Kita nunggu kak Kavi pulang sekolah dulu, Oke?"

Bukan hanya tatapan saja yang berubah, tetapi nada bicara sang Bunda juga berubah. Nada ketus yang keluarkan saat berbicara dengan Gwen, kini berubah menjadi nada lembut.

Air mata sudah terbendung di pelupuk mata Gwen. Berusaha menerobos keluar. Perasaan iri tiba-tiba muncul di hatinya. Iri terhadap perlakuan sang Bunda pada adeknya. Selama 8 tahun hidup, yang Gwen dapatkan hanya perlakuan ketus dari Bundanya. Ayahnya? beliau bahkan hanya diam saja menyaksikan putri keduanya diperlakukan ketus oleh istrinya.

Tak dapat membendung air matanya lagi, Gwen kecil langsung menangis kencang. Menjadikan dirinya dan keluarga pusat perhatian orang-orang. Berharap, Bundanya juga akan menggendong dan mengelus punggung pelan. Menenangkannya dengan sabar.

"Diam! Kenapa sih nangis begitu? Malu dilihatin orang!"

Namun, harapan Gwen kecil langsung pupus. Bukan perlakuan manis yang ia dapatkan, melainkan sebuah ucapan ketus dari sang Bunda. Tangisan Gwen kecil seketika berhenti.

Tidak sampai di situ. Gwen kecil bahkan ditinggalkan sendirian di tempat. Ayah Bundanya beserta adeknya sudah berjalan pergi lebih dulu. Dengan terpaksa, Gwen kecil berlari menyusul orang tua dan adeknya yang sudah jauh di depan.

Sepanjang berjalan, Gwen menatap iri pada anak kecil seumurannya yang berjalan dengan digandeng kedua orang tuanya, ditenangkan dengan lembut saat sedang menangis, dipeluk dengan hangat saat mereka sedang sedih dan kecewa, dibelikan mainan sebagai apresiasi atas usahanya dalam lomba. Perasaan iri itu mulai menyeruak. Tanpa sadar, air matanya menetes kembali. Namun, kali ini ia hanya diam, tidak merengek.

***

20 Oktober 2024

Gwen tersenyum pahit mengingat pengalaman buruk di masa lalunya. Pengalaman yang sampai saat ini terus membekas di hatinya. Namun, juga membuat Gwen menjadi sekuat sekarang. Meskipun perasan iri itu masih ada.

Gwen tatap batu nisan bertuliskan "Divya Ryoza" di depannya. Kuburan itu memang milik adeknya. Ia tatap dengan pandangan kosong.

"Maafin kakak yang dulu selalu iri sama kamu, Ya. Meskipun kalau diingat lagi, kakak masih ngerasa iri. Kakak juga mau diperhatiin sama Ayah dan Bunda. Bukan perlakuan ketus. Maaf juga kakak dulu sempat benci sama kamu," lirih Gwen.

"Wajar kok kalau kakak diperlakukan ketus. Di usia kakak yang jauh lebih tua dari kamu aja, kakak belum dapatin prestasi apapun. Bahkan sekedar masuk sepuluh besar di kelas aja kakak ga pernah. Kakak emang bodoh. Kemampuan kakak lebih minim daripada kamu dan kak Kavi."

"Tapi, meski gitu, kakak juga punya di bidang non-akademik. Kakak pandai nge-dance. Kakak juga sering dapat juara kayak kamu di lomba dance. Walaupun mentok di juara dua."

"Sayangnya, Ayah ga setuju dan Bunda tetap ga peduli. Ayah terus ga suka sama impian kakak yang mau jadi dancer terkenal. Yang buat kakak semakin sedih, sekeras apapun kakak mencoba, kakak tetap ga buat Ayah suka sama impian kakak. Kakak emang ga layak ya punya pilihan sendiri. Dari kecil, Ayah sama Bunda ga pernah peduli sama kakak. Pas kakak udah besar, kakak malah semakin ga bebas."

"Kak Gwen capek, Ya. Rasanya pengen nyerah, tapi sayang kalau ngelihat perjuangan kakak yang udah sejauh ini. Kakak harus gimana, Ya?"

Gwen menangis terisak. Ia daritadi terus berbicara sendiri. Namun, itu cukup menenangkan untuk Gwen. Ia sebenarnya bisa saja bercerita pada teman-temannya, tetapi ia tidak ingin membebani mereka dengan masalahnya. Gwen selalu memilih untuk memendamnya.

Namun, sore ini Gwen memilih mengeluarkan semua unek-uneknya. Meskipun tidak ada lawan bicaranya, Gwen tidak peduli. ia tahu sang adek mendengarkan ceritanya dari atas sana.

Satu jam sudah Gwen berada di sana. Kaki nya mulai pegal karena terus berjongkok. Akhirnya, Gwen memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak untuk menenangkan pikiran dan hatinya. Nyatanya, dunia luar lebih menyenangkan daripada tempat tinggalnya.

_______

Hellowww👋 jumpa lagi denganku.
Bagaimana episode 12 nya? seru?
Sayangnya, kita harus berpisah sampai di sini dulu. Sampai jumpa di episode selanjutnya.

Maafkan jika ada typo 🙏🏻

Jangan lupa follow Instagram ku @lvywriting

Votmen dan share nya jangan lupaa

A Gwen's Dream [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang