Malam itu terasa lebih mencekik dari biasanya. Zave terduduk di tepi tempat tidurnya, tatapannya kosong. Perdebatan sengitnya dengan Ora masih terngiang di kepala, membuat suasana semakin sesak. Napasnya mulai terasa pendek, seolah dadanya dihimpit sesuatu yang tak kasat mata. Di luar, rumah sepi. Altair tidak ada, dan kesunyian mengisi setiap sudut kamar.
Tiba-tiba, rasa sakit itu menyerang. Dada Zave berdenyut hebat, seolah jantungnya tertusuk dari dalam. “Sial…” gumamnya, menahan jeritan yang menggantung di tenggorokan. Tangannya secara refleks meremas dada, tapi rasa sakitnya justru semakin menjadi. Kakinya terasa lemas, dan tubuhnya terhuyung sebelum jatuh keras ke lantai.
Dia meringis, suaranya akhirnya pecah menjadi jeritan. "Aaagh!" Sakit itu tak tertahankan.
Tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin mengucur di dahinya. Zave menggertakkan giginya, berusaha untuk tidak panik, tapi nyatanya tubuhnya memberontak. Setiap napas seolah menusuk paru-parunya.
Obat.
Dia tahu dia harus minum obat itu—obat yang dia sembunyikan di bawah tempat tidurnya, jauh dari jangkauan Altair. Zave merangkak dengan susah payah, tangannya yang gemetaran mencoba meraih kotak kecil yang tersembunyi. Saat jari-jarinya hampir menyentuhnya, rasa sakit yang semakin tajam menusuk dadanya. Kotak itu terlempar dari genggamannya, dan obat-obatan di dalamnya berhamburan ke lantai.
“Shit!” Zave memaki, matanya membelalak saat melihat pil-pil kecil berserakan. Nafasnya semakin tersengal, dan tubuhnya terasa semakin lemah. Dengan tangan yang gemetar, dia berusaha meraih salah satu pil. Tapi cengkramannya goyah, pil itu terlepas lagi dari jarinya.
Tangan kirinya menggenggam dadanya yang terasa terbakar, sementara tangan kanannya kembali berusaha menggapai pil tersebut. Air tumpah dari gelas di sebelahnya saat dia mencoba meminumnya dengan tergesa-gesa. Cairan itu berceceran ke lantai, membuat tangannya semakin licin. Tapi dia tidak peduli. Dengan sisa tenaganya, dia menelan pil itu, berharap efeknya bisa segera meredakan derita di dadanya.
Zave terbaring di lantai, matanya berkedip lambat saat rasa sakit sedikit mereda, namun tubuhnya masih bergetar hebat. Nafasnya tersengal, dan rasa mual mulai menghampirinya. Dia memejamkan mata, berharap rasa sakit ini hanya sementara, berharap bahwa ketika dia membuka matanya lagi, semua ini sudah berakhir. Tapi dia tahu, kebenaran yang lebih kelam menunggunya di ujung malam.
***
Altair membuka pintu rumah dengan pelan, suasana sepi menyambutnya. Dia berjalan menuju kamar Zave, menatap pintunya yang sedikit terbuka.
“Tumben Zave nggak nongkrong di ruang tengah,” pikirnya. Pintu kamar Zave ia dorong perlahan, menampakkan pemandangan yang sangat biasa. Zave terbaring di tempat tidur, tertutup selimut sampai ke bahu. Kamar itu tampak rapi, tidak ada yang terlihat mencurigakan.
Altair menghela napas lega. “Dia pasti capek.”
Dengan hati-hati, Altair menutup pintu kamar dan melangkah pergi. Tak ada yang mencurigakan—tak ada suara, tak ada kekacauan. Hanya Zave yang terlihat tidur tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEGAVERSE : ZAVE DAN ORA ( On going || revisi )
Teen FictionDalam dunia yang penuh rahasia dan kekuatan tersembunyi, Zave dan Ora terjebak dalam konflik yang lebih besar dari diri mereka. Meski Zave terus menolak, kelembutan Ora perlahan mulai meruntuhkan dinding yang ia bangun di sekeliling hatinya. Tapi ak...