➢ 17 ; Satu hari bagai mimpi.

36 25 0
                                    

Setelah pelajaran usai, Ora segera keluar dari kelas dengan langkah cepat. Pikirannya masih melayang-layang di sekitar momen Zave merangkulnya dan menyebutnya "sayang" di depan teman-temannya. Kalimat itu terus terngiang-ngiang, dan dia tidak bisa menepis rasa aneh yang muncul dalam hatinya.

Saat Ora berjalan menuju pintu keluar sekolah, dia melihat Megaverse berkumpul di dekat gerbang, seperti biasa. Zave ada di sana, berbicara dengan Axel dan yang yang lainnya. Ora menghentikan langkahnya sejenak, merasa gugup setiap kali harus bertemu Zave setelah kejadian tadi siang.

Namun, Galen yang selalu ceria, sudah melihatnya duluan. "Ora! Sini, bareng kita pulang!" teriak Galen sambil melambai-lambaikan tangan.

Ora tersenyum kecil, meskipun ada rasa gugup di dalam dadanya. Dia berjalan mendekat, berusaha bersikap biasa. Setibanya di sana, Galen langsung menyapanya dengan ceria, "Lo lama banget keluar kelas. Tadi guru lo bawel, ya?"

Ora tertawa pelan. "Iya, tadi gurunya jelasin panjang banget, jadi aku agak telat."

Zave tetap diam, hanya melirik sekilas ke arah Ora tanpa berkata apa-apa. Sikapnya kembali dingin seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang istimewa terjadi di antara mereka. Tapi Ora tahu, ada sesuatu yang berbeda. Ada getaran kecil di udara setiap kali mereka dekat.

Setelah beberapa saat bercanda dengan Galen dan yang lain, Zave berdiri dan melangkah menuju sepeda motornya. Tanpa berpikir panjang, Ora tiba-tiba mendapati dirinya berkata, "Kak Zave, aku pulang bareng Kak Zave aja ya?"

Semua mata langsung tertuju pada Ora, memang sebelum pertemuan di gazebo selesai, Orion sempat menitipkan adiknya Ora agar pulang bersama mereka. Karena Orion ada kerja kelompok dengan teman sekelasnya. Galen dan yang lain menatapnya dengan heran, sementara Zave hanya menoleh perlahan. Pandangan matanya tajam, seperti sedang menilai apa yang barusan dikatakan Ora.

"Bareng gue?" Zave bertanya dengan nada datar.

Ora mengangguk pelan, sedikit gugup. "Iya, kalo nggak keberatan."

Zave mengangkat bahu seolah tidak peduli, lalu mengisyaratkan dengan gerakan kecil, "Naik."

Axel tersenyum jahil, lalu dengan nada menggoda berkata, "Weh, Ora udah berani minta pulang bareng Zave nih. Ada apa-apa, nggak?"

Ora merasa wajahnya memerah lagi. "Bukan gitu, kan kak Orion nyuruh kalian nganterin Ora," jawabnya dengan canggung, mencoba menyembunyikan rasa malunya.

Zave hanya mengabaikan Axel, melangkah menuju motornya tanpa banyak bicara. Ora mengikuti di belakangnya, merasa sedikit aneh dengan situasi ini, tapi di dalam hatinya, dia merasa senang.

Setelah mereka berdua duduk di atas motor, Zave menyodorkan helm ke arah Ora tanpa berkata apa-apa. Ora menerima helm itu dan memakainya, sementara jantungnya masih berdebar kencang.

Mereka melaju di sepanjang jalan kota, udara sore yang sejuk menyentuh wajah Ora. Sepanjang perjalanan, mereka berdua terdiam. Hanya ada suara angin dan raungan mesin motor yang menemani mereka. Tapi, meskipun tidak ada percakapan, Ora merasakan sesuatu yang nyaman berada di dekat Zave seperti ini.

Dalam perjalanan pulang, suasana masih dipenuhi keheningan di antara Ora dan Zave. Raungan motor terdengar mendominasi, sementara angin sepoi-sepoi berhembus lembut di sekitar mereka. Ora berusaha merangkai kata-kata dalam pikirannya. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran sejak kejadian tadi siang, tapi dia merasa ragu untuk menanyakannya. Namun, rasa ingin tahunya tak bisa dibendung lebih lama lagi.

Ketika mereka hampir sampai di rumah, Ora memberanikan diri untuk berbicara. "Kak Zave," panggilnya pelan.

Zave tidak menoleh, tapi ia menggumam sebagai tanda bahwa ia mendengar. "Hm?"

MEGAVERSE : ZAVE DAN ORA ( On going || revisi ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang