Chapter 2

1K 51 0
                                    

3 bulan yang lalu…

"Aisyah!"

"Iya Pak?", aku menoleh ketika mendengar seseorang menyebut namaku. Pak Syamil, Kepala Sekolahku ternyata.

"Sepulang sekolah, tolong ke ruangan saya ya."

"Baik Pak.", aku menjawab sesopan mungkin. Beliau bukan sekadar Kepala Sekolah bagiku, sejak masuk ke sekolah ini, beliau lah yang selalu membimbingku dan Rei hingga bisa mencapai berbagai prestasi. Rei, ini tahun keduanya meraih medali perak kompetisi IT internasional, tak hanya itu kompetisi hacker se-Asia pun sudah pernah dijajakinya dan berhasil membawa pulang medali emas dan sebuah laptop Ap*le yang menurutku sangat keren. Sedangkan aku, Alhamdulillah beberapa kali diberi kesempatan mengikuti ajang olimpiade sains internasional dan juga bisa pulang membawa medali.

Setelah memastikan Pak Syamil sudah kembali ke ruangan, aku bergegas menuju ruang kelasku, khawatir membuat teman-teman dan guru Kimiaku terlalu lama menunggu larutan asam yang harus kuambil.

***

Sepulang sekolah, aku langsung menuju ruang Kepala Sekolah dan mendapati Rei pun ada disana. Aku memberinya tatapan "sedang apa disini?" padanya. Dia hanya membalas dengan tatapan "duduk saja dulu".

Aku duduk disamping Rei setelah meminta izin ke Pak Syamil.

"Jadi begini Aisyah, Reihan, pagi tadi Bapak kedatangan tamu dari salah satu yayasan di Jepang, Daimond Corp. namanya. Mereka meminta kita untuk mengirimkan dua siswa nerbakat untuk menerima beasiswa dan menjadi anak angkat dari pemilik Diamond Corp. Bapak merasa kalian berdua adalah orang yang tepat untuk kesempatan emas ini. Bapak berharap kalian mau menerima beasiswa ini. Bagaimana?"

Aku dan Rei saling pandang.

"Ini ada beberapa berkas yang dilampirkan oleh Diamond Corp. Kalian pelajari saja dulu ya, hari Senin Bapak tunggu keputusan dari kalian.", Pak Syamil menyodorkan beberapa lembar kertas ke hadapanku dan Rei. Ada pamflet sekolah, profil Diamond Corp., surat perjanjian, formulir, dan beberapa berkas tambahan lainnya.

"Baiklah Pak, maaf harus membuat Bapak menunggu, insyaAllah hari Senin kami akan datang lagi ke ruangan Bapak.", Rei menjawab mewakili kami. Tentu saja, aku tidak akan pergi kalau Rei dan kak Kei tidak pergi, begitu pula kak Kei dan Rei, mereka tidak akan pergi tanpa aku, kami bertiga sudah berjanji untuk selalu bersama dan saling menjaga. Buktinya, kak Kei rela banting stir dan mulai mencari pekerjaan baru di Jakarta demi aku dan Rei. Karena aku dan Rei mendapat beasiswa di sekolah ini, mau tidak mau kami harus pindah ke Jakarta, meninggalkan kampung halaman kami di Jogja. Intinya, keputusan besar seperti ini harus kami diskusikan bersama, karena menyangkut masa depan kami bertiga.

"Tidak apa-apa. Jika ada yang ingin ditanyakan jangan sungkan untuk menghubungi Bapak ya.", suara Pak Syamil menyadarkanku, argh, aku terlalu sering berbicara dengan diriku sendiri.

"Terima kasih banyak atas kepercayaan yang telah Bapak berikan, kalau begitu, kami permisi dulu Pak.", sekarang giliranku yang menyahut.

Kami undur diri setelah tak lupa membawa berkas-berkas yang tadi Pak Syamil berikan. Di perjalanan, kami hanya saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aku, Rei, dan kak Kei adalah saudara sepersusuan, artinya, ketika kecil, kami disusui oleh ibu yang sama. Kami dibesarkan disebuah panti asuhan kecil di pinggiran kota Jogja. Ibu yang menyusui kami sudah meninggal ketika aku baru berusia 10 tahun, panti asuhan kami pun ditutup karena tidak ada yang merawat. Sejak saat itu, kak Kei lah yang merawatku dan Rei. Meskipun baru berusia 17 tahun, kak Kei selalu banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, aku dan Rei pun ikut membantu meringankan dengan belajar giat agar bisa medapat beasiswa untuk menutupi biaya sekolah.

Aisyah dan 7 PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang