DUA PULUH DUA

165 29 0
                                    

"Mandi lalu makanlah, kita bicara nanti setelah kau membaik." Putus Nara akhirnya setelah gadis itu puas menangis dan membersihkan wajah Jay.

"Aku ingin berpelukan seperti ini saja."

Menarik nafasnya, Nara melepas pelukannya. "Ku ingatkan jika kau lupa. Aku marah padamu ya Jay, karena kau berciuman dengan wanita lain. Jadi jangan banyak tingkah." Ucap Nara dengan wajah sembabnya kemudian berlalu.

Gadis itu memasak apa saja yang simple dan cepat agar suaminya yang sudah seperti zombie itu bisa segera makan dan meminum paracetamol karena tubuhnya terasa demam. Sepiring nasi goreng dengan dua telur dan acar mentimun tersaji tepat saat Jay keluar dari kamarnya dengan pakaian rumahan yang memancarkan aroma tubuh maskulin lelaki itu, membuat Nara mau tak mau menahan nafasnya karena tergiur untuk memeluk Jay.

"Temani aku makan please, sayang." Ucap Jay ketika Nara berlalu begitu saja tanpa memperdulikannya. Menghela nafas karena tak mendapat response apapun dari Nara akhirnya Jay memakan masakan gadis itu, setelah dua hari dia tidak mengisi perutnya selain dengan kopi dan beer dan beberapa sloki wishkey.

--

Nara duduk bersandar pada dashboarnya. Pikiran jauh melayang teringat ciuman Jay dengan perempuan bernama Matilda yang membuatnya begitu marah dan kecewa. Namun nyatanya pulang ke rumah dan mendapati Jay tergeletak seperti zombie membuatnya semakin merasa sedih. Dia tidak tega melihat lelaki yang selalu rapi, bugar dan wangu terlihat begitu kusut. Gadis itu menimbang perasaannya, apakah dia benar-benar cinta hingga begitu bodoh karena perasaan marahnya bisa lulh begitu saja.

Sebuah ketukan terdengar dari pintu kamarnya. Sejak pulang, Nara memilih berada di kamarnya sendiri alih-alih berada di kamar utama bersama Jay.

"Sayang. Boleh kita bicara?" Suara baritone yang begitu Nara rindukan menggelitiknya.

"Buka pintunya." Pintu besar berwarna hitam itu terbuka, Jay tersenyum. Lelaki itu sudah lebih segar dengan jambang dan kumis yang tercukur rapi. "Aku masuk ya."

"Tidak! Ambil kursi dan duduk disana. Kau tidak boleh mendekat!" Ucap Nara kesal.

Mengangguk setuju Jay mengambil kursinya, lalu duduk diambang pintu kamar sambil menatap Nara. Tulus, lembut, dalam dan penuh penyesalan.

Menarik nafasnya, Jay siap menjelaskan masalah yang terjadi. "Sebelumnya, terima kasih kau sudah pulang dan masih tetap mengkhawatirkan dan mengurusku sayang. Aku takut kau tidak kembali lagi." Ucap Jay.

"Jadi, aku dan Matilda memang oernah dekat dan kami adalah friend with benefit. Kau paham kan maksudku." Ucap Jay tidak berani menatap Nara.

Mendengar penuturan Jay membuat hatinya mencelos, air matanya menetes begitu saja.

"Kami memang pernah tidur bersama selama hampir satu tahun. Sampai dua minggu sebelum menikah kami masih tidur bersama."

Astaga suaminya memang benar-benar.

"Aku berniat membuka sebuah cafe. Untukmu. Untuk pendapatan yang nantinya akan masuk ke rekeningmu karena aku berjanji akan membuatmu semakin kaya setiap harinya. Kebetulan Matilda menjual cafenya dan aku berniat membelinya.

Kami sepakat bertemu beberapa kali. Hanya membahas cafe dan aku katakan cafe ini untuk istriku. Kemarin saat kau melihatnya kami berjanji untuk mengunjungi cafenya. Lalu senua terjadi begitu saja. Dia menciumku saat aku hampir memasuki mobil."

"Dan kau menikmati ciumannya." Isak Nara dalam tangisnya yang sejak tadi dia tahan.

Mengangguk ringan, Jay mengiyakan. "Aku tahu aku salah tapi entah aku reflek saja. Aku memang bajingan sialan seperti katamu. Maafkan aku. Itu benar-benar diluar kendaliku."

Tak ada jawaban dari Jay, diatas tempat tidur Nara masih menangis sambil memeluk bantal.

"Maafkan aku sayang. Aku tahu aku memang terlalu bebas dulu. Tapi sekarang aku hanya mencintaimu, menginginkanmu sungguh."

"Tapi kau berciuman dengan wanita lain. Coba kalau saat itu aku tidak muncul, kalian bisa saja having sex di mobil kan." Nara meracau dalam tangisnya.

Jay mengusap wajahnya frustasi. Ah sialan masalahnya dari dulu memang hanya soal ego dan nafsu.

"Pergilah ke kamarmu. Aku masih ingin marah." Ucap Nara mendekat lalu membanting pintu tepat dihadapan Jay.

--

Malam semakin larut ketika Nara tidak bisa tidur. Gadis itu merasa sangat merindukan Jay. Sampai dia harus berdebat dengan perasaannya sendiri haruskan menemui Jay atau bertahan ditempat tidurnya. Namun egonya kalah dengan rasa ingin yang begitu kuat. Menyibak selimutnya, gadis itu berjalan dan membuka pintu kamar Jay perlahan.

Aroma kamar yang sangat dia rindukan. Aroma Jay menyeruak memenuhi kamar dengan nuansa abu-abu dan putih. Begitu rapi dan eksklusif khas seorang Jay Idzes.

Nara berjingkat menunduk dihadapan Jay, mengoleskan salep luka di kepala lelaki itu lalu menyentuh kening Jay yang masih terasa hangat. Meletakan salepnya, Nara berputar ke sisi lain tempat tidur Jay, bergelung di salah satu sisinya, menatap Jay dalam jarak.

Satu menit..
Dua menit..

Ah gadis itu tidak tahan, dia memilih menghambur memeluk punggung Jay yang begitu lebar dan liat. Menyandarkan kepalanya ke punggungnya dan mencium aroma Jay.

Nara merasa malu dengan dirinya sendiri. Setelah marah besar gadis itu justru luluh sendiri dengan rasa rindunya pada aroma Jay yang entah mengapa terasa begitu harum dan menggoda.

Menyadari pelukan dan sandaran yang membuat tubuhnya terasa hangat, Jay membuka matanya lalu tersenyum merasa lega Nara kembali kepada dirinya.

Jay Idzes - Yes, I do - Another story not about TimnasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang