DUA PULUH SATU

183 31 2
                                    

Mobil milik Jay memotong laju mobil yang ditumpangi Nara dan Marten. Lelaki itu turun dengan tergesa menghampiri pintu mobil di sisi penumpang, mengetuknya berharap Nara membukanya. Sementara Marten menatap Nara dan Jay bergantian.

"Kenapa Jay berdarah?" Tanya Marten bingung.

"Aku menghantam kepalanya."

Menyadari kondisi keduanya yang benar-benar tidak kondusif, Marten mengangguk perlahan ketika Jay memohon padanya melalui tatapan untuk membuka mobilnya.

"Marten apa yang kau lakukan?" Seru Nara cepat ketika Marten keluar dan digantikan oleh Jay. Ketika gadis itu mencoba keluar dari mobil Marten, Jay sudah terlebih dahulu mengunci pintunya.

Jay terlihat sangat panik, hingga lelaki itu tidak memperdulikan darah yang masih mengucur dari kepalanya. Kemeja putihnya bernoda darah begitu jelas, sementara Nara gadis itu membuang pandangannya. Menahan tangisnya. Dia tidak ingin menangis dihadapan Jay, meskipun jejak air mata terlihat jelas di wajahnya.

"Sayang dengar kita perlu bicara." Ucap Jay meraih tangan Nara.

"Apa? Kau mau bercerita bagaimana hebatnya perempuan sialan tadi menciummu?" Sembur Nara kesal.

"Maafkan aku sayang, aku bersalah, tapi aku tidak ada hubungan apapun dengan Matilda." Jay masih mencoba menjelaskan pada Nara.

"Tidak memiliki hubungan apapun saja kau bisa menciumnya sepanas itu?"

"Dia yang menciumku sayang."

"Dan kau menikmatinya kan bajingan sialan?" Teriak Nara.

Nafas gadis itu memburu disusul air mata yang menetes tanpa aba-aba. Jay semakin panik melihat istrinya terlihat begitu marah dan sedih dalam waktu bersamaan.

"Aku bisa jelaskan nanti ketika kau sudah lebih tenang. Aku mohon ayo kita pulang."

"Aku akan pulang ke apartemen Marten."

"Nara, tidak."

"Kenapa? Kau takut aku bercinta dengan kakakmu? Jika kau bisa mencium perempuan sembarangan maka akan aku tunjukkan padamu bahwa aku juga bisa melakukan lebih dari yang kau lakukan Jay! Kau salah memilih lawan." Ucap Nara kesal.

Gadis itu membuka slot kunci dari tombol di sisi Jay lalu keluar dan menghampiri Marten. "Aku pulang denganmu."

--

Tak ada yang bisa Nara lakukan ketika gadis itu tiba di apartemen Marten selain menangis. Ada rasa marah dan terkhianati yang begitu dalam didalam dadanya. Nara hanya menangis gadis itu bahkan menolak makanan dan minuman yang Marten sajikan untuknya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Marten ketika lelaki itu duduk di sisi lain tempat tidurnya yang disabotase Nara.

Tak ada jawaban selain punggung Nara yang semakin berguncang. Gadis itu menangis semakin kuat, isakannya semakin terdengar.

"Jika kau tidak mau mengatakannya padaku aku akan meminta Jay menjemputmu."

"Adikmu berciuman dengan wanita lain." Jawab Nara cepat, gadis itu kembali terisak. Sementara Marten mencerna kalimat Nara. Jay berciuman dengan wanita lain? Disaat lelaki itu terlihat begitu mendampa istrinya sendiri?

"Kau yakin?"

Nara mengangguk. "Aku melihatnya."

Marten menghela nafas, memikirkan mengapa semua menjadi seperti ini. Dia pikir Nara akan bahagia bersama Jay nyatanya lelaki itu juga membuat Nara terluka. Jika tahu seperti ini lebih baik dia yang menikahi gadis itu. Tapi semua sudah terlambat, sangat terlambat

--

Tiga hari setelah acara kaburnya, Nara akhirnya kembali ke penthouse mereka untuk menemukan pemandangan yang semakin membuat dirinya merasa sedih. Jay, lelaki itu tertidur di sofa masih dengan baju yang dia lihat terakhir kalinya. Kemeja putih dengan noda darah. Jambang di sisi wajahnya menebal tanda lelaki itu tak bercukur sama sekali.

Menahan air matanya, Nara nyatanya tak bisa. Semarah apapun gadis itu dengan Jay, dia tidak sanggup melihat Jay seberantakan ini.

Mengambil sebaskom air dan washlap, Nara mengusap wajah Jay. Ada noda darah kering diujung luka yang mengering tanpa diobati. Air mata Nara semakin menetes membayangkan suaminya tidak melakukan apapun beberapa hari ini. Bahkan tidak ada bekas makanan di dapur. Apakah Jay tidak makan?

"Nara kau pulang? Kau Nara kan? Istriku? Sayang maafkan aku." Jay beringsut bangun memeluk Nara erat menghidu rambut gadis itu. Aroma alkohol tercium dari bibirnya.

Nara semakin menangis ketika Jay mempererat pelukannya. Tangis yang tak ingin dia tahan. Nara menangis dengan nysring mengeluarkan segala rasa kesal, marah, benci dan sedih dalam dirinya.

"Maafkan aku sayang sungguh. Ku mohon maafkan aku." Bisik Jay, air mata lelaki itu juga menetes bersama dengan kalimat maaf yang dia rapalkan berkali-kali.

Jay Idzes - Yes, I do - Another story not about TimnasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang