DUA PULUH DELAPAN

180 26 8
                                    

Musim gugur menyelimuti hampir seluruh benua Eropa. Termasuk tempat tinggal Nara kini. Gadis yang sebentar lagi menjadi itu kini tinggal disebuah flat sederhana yang dia beli dari hasil penjualan saham miliknya. Nara memulai hidup barunya di kota ini. Sendirian, berteman anak yang ada di kandungannya yang kini sudah memasuki bulan kelima.

Hidup tanpa suami dan tanpa penghasilan cukup membuat gadis itu harus berhemat. Di pagi hari dia akan sarapan alpukat dan telur serta beberapa butir kacang, di siang hari dia akan makan catering yang disediakan toserba tempatnya bekerja, di malam hari dia akan memakan makanan segar yang dijual diskon di toserba setelah lewat jam sembilan malam.

Nara tidak masalah soal itu. Meskipun dia kaya dia terbiasa hidup hemat. Daripada uangnya habis untuk makan enak, Nara lebih memilih menabung uangnya untuk biaya pendidikan calon bayinya nanti.

Malam ini toserba cukup ramai, beberapa orang mengantri untuk membayar di kasir yang Nara jaga. Beberapa orang yang telah mengenalnya menyapa menanyakan kabar gadis itu.

"Hai, kau belum pulang?" Seorang lelaki tinggi dengan rambut pirang menyapanya.

Nara tersenyum menerima belanjaan dan menghitungnya. "Sebentar lagi aku pulang. Kau baru pulang juga?"

Lelaki itu mengangguk, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. "Aku membelinya untukmu dan anakmu."

Nara menatapnya sambil tersenyum. "Sungguh aku tidak bisa menerimanya. Terima kasih banyak tapi maaf aku tidak mau menerimanya."

"Kenapa?"

"Aku sudah mempunyai beberapa vitamin dari dokter. Aku juga tidak bisa sembarangan meminum vitamin. Maafkan aku Shayne tapi sungguh aku berterima kasih atas perhatianmu." Nara tersenyum sangat manis dan menyorongkan kembali sebotol vitamin yang Shayne berikan padanya.

Shayne adalah pekerja proyek pembangunan resort tak jauh dari danau Lucerne. Lelaki itu sejak awal terang-terangan mendekati dan memperhatikan Nara, tapi Nara menolaknya. Tentu saja karena gadis itu masih begitu mencintai Jay.

Jay, apa kabar lelaki itu. Sudah hampir tiga bulan Nara tidak mengetahui kabarnya. Apakah dia hidup dengan baik, atau kah dia masih merindukan Nara seperti gadis itu merindukannya. Nara masih mencintai dan merindukan Jay yang kini berstatus sebagai mantan suaminya. Kadang dimalam-malam panjang, gadis itu menelan makanannya sambil menangisi rasa rindunya pada Jay.

Jay yang mungkin tak kan pernah terlupakan.

--

Nara mengetatkan jaketnya, angin musim gugur membuatnya merasa dingin. Apalagi dia belum sempat sarapan karena sejak pagi perutnya terasa mual. Mempercepat langkahnya agar sampai di toserba, Nara tak mampu lagi menahan rasa mualnya.

Berjongkok disalah satu tong sampah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri Nara kembali memuntahkan isi perutnya yang hanya tersisa air dan cairan kuning. Air mara meluncur dari matanya disaat-saat seperti ini. Kadang dia membayangkan seandainya dia masih bersama Jay tanpa kontrak pernikahan dan Jay menerima kehamilannya, pasti dia akan menjadi perempuan hamil paling bahagia sedunia.

Nara masih terus memuntahkan isi perutnya ketika sebuah tangan membantunya untuk menyingkap rambut panjang gadis itu. Tangan hangat dan lebar itu mengusap punggung Nara lembut dan penuh kehangatan.

"Danke." Ucap Nara memejamkan matanya menikmati usapan pada punggungnya.

"Apakah kau mengalami muntah separah ini setiap hari?"

Suara itu, suara yang begitu Nara kenal. Nara menarik kepalanya, menatap siapa pemilik suara itu. Jay! Jay Idzes yang begitu dia rindukan sedang memijit tengkuknya dan memegang rambutnya dengan penuh kekhawatiran.

"Jika ini terjadi setiap hari seharusnya kau berkata padaku sejak awal kehamilan alih-alih pergi dari rumah!" Lelaki itu masih mengomel dan menyeka saliva Nara yang menempel dibeberapa sudut bibir gadis itu.

"Jay?"

"Apa? Diam dulu, jangan mendebatku." Seru Jay mengikat rambut Nara seadanya dengan sapu tangan bersih miliknya.

"Ayo kita pulang, jangan menjaga kasir toserba lagi. Kau harusnya duduk tenang menonton netflix di rumah kita dan bukannya mencari uang seperti ini."

Nara terdiam, air matanya mengalir deras. Gadis itu menangis tergugu dalam duduknya yang bersandar pada tiang lampu didekat tempat sampah.

"Jangan menangis sudah. Mari kita pulang!" Jay menggendong Nara. Membiarkan gadis itu menangis dipunggungnya.

Seberkas senyum terukir di wajah Jay, setelah hampir tiga bulan lelaki itu lupa bagaimana caranya tersenyum.

Jay Idzes - Yes, I do - Another story not about TimnasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang