Jejak Malakar

2 1 0
                                    

Setelah pertarungan yang melelahkan di Hutan Eldoria, Aurora, Kaelan, dan Elysia kembali ke desa mereka dengan semangat yang baru.

Namun, dalam hati, Aurora ketakutan akan Lord Malakar dan ancamannya terus menghantuinya.

Mereka berjalan dalam diam, meresapi ketegangan yang tersisa setelah pertempuran.

Di tengah perjalanan pulang, Elysia menghentikan langkahnya. “Kita perlu mencari tahu lebih banyak tentang Lord Malakar. Ia pasti akan merencanakan sesuatu setelah kita mengalahkan pengikutnya,” ujarnya, menatap kedalaman hutan yang masih penuh misteri.

Kaelan mengangguk. “Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja, dia tidak boleh mendapatkan informasi tentang kita. Kita harus tahu apa yang sedang direncanakannya.”

“Aku bisa menggunakan kekuatan pedang ini untuk melacak jejaknya,” kata Aurora, perasaan percaya diri mulai tumbuh. “Jika kita bisa menemukan jejaknya, kita bisa lebih siap menghadapi serangannya selanjutnya.”

Elysia tersenyum. “Kekuatan pedangmu memang memiliki potensi besar. Namun, melacak jejak Malakar bukanlah hal yang mudah. Dia seorang penyihir sangat licik dan cerdas.”

Mereka memutuskan untuk kembali ke tempat latihan di Hutan Eldoria, tempat yang lebih aman untuk mengembangkan kemampuan Aurora.

Saat mereka tiba, Aurora berdiri di tengah lapangan terbuka, mengangkat Pedang Terkutuk dengan penuh tekad. Dia merasakan kekuatan pedang mengalir dalam dirinya, siap untuk dipanggil.

“Sekarang, fokuskan energimu,” Elysia membimbing. “Bayangkan jejak yang ingin kau cari. Rasakan kehadiran Malakar di sekelilingmu.”

Aurora menutup matanya, mencoba berkonsentrasi untuk menghubungkan dirinya dengan pedang itu. Dia membayangkan semua aura gelap yang pernah dia lihat, merasakan energi Malakar.

Dalam pikirannya, dia melihat bayangan gelap yang melintas, dan tanpa sadar, tangan Aurora bergetar. Pedang itu mulai bersinar, menciptakan cahaya biru lembut yang melingkupi tubuhnya.

“Bagus, Aurora! Sekarang lanjutkan,” Elysia mendorong, memberi semangat.
Keringat menetes di dahi Aurora saat dia mencoba memusatkan pikiran.

Dalam detik-detik berikutnya, dia merasakan getaran di tanah, seolah ada sesuatu yang bergerak di bawah permukaan. “Aku merasakannya… jejaknya!” serunya, membuka matanya dengan penuh semangat.
“Di mana?” tanya Kaelan, mendekat pada Aurora dengan penuh harap.

“Arah timur,” jawab Aurora, menunjuk ke arah pepohonan yang lebih gelap di ujung hutan. “Dia menuju ke arah desa kuno yang ditinggalkan.”

“Desa kuno?” Elysia mengulangi, ekspresi wajahnya berubah serius. “Itu tempat yang berbahaya. Banyak legenda tentang makhluk kegelapan yang menghuni tempat itu.”
“Tapi kita tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja,” tegas Kaelan. “Kita harus mengikutinya dan menghentikannya sebelum terlambat.”
“Baiklah,” kata Aurora, mengumpulkan keberanian. “Kita harus bergerak sekarang.”

Ketiganya melangkah menuju arah yang ditunjukkan Aurora, menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dedaunan. Suasana semakin suram, dan kabut tipis mulai turun, menyelimuti mereka. Aurora merasakan ketegangan yang meningkat saat mereka mendekati desa kuno.

Saat mereka tiba di desa itu, suasana menjadi semakin mencekam. Bangunan-bangunan yang dulunya megah kini tampak runtuh, ditutupi lumut dan semak belukar. Suara angin berdesir di antara reruntuhan, menciptakan nada melankolis.
“Ini tempatnya,” kata Aurora, berbisik. “Kita harus berhati-hati.”

Ketika mereka melangkah lebih jauh ke dalam desa, mereka merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Suasana seolah terhenti, dan hawa dingin menyelimuti mereka. Tiba-tiba, bayangan gelap melintas di antara reruntuhan, menarik perhatian mereka.

“Siapa di sana?” teriak Kaelan, bersiap menghadapi apa pun yang muncul.
“Ssst… jangan berisik!” Elysia menegur, merasakan ada kehadiran yang mengintai. “Kita harus bersiap.”
Mereka berkumpul dalam formasi, siap untuk menghadapi kemungkinan bahaya. Tak lama kemudian, suara tawa jahat menggema dari balik salah satu bangunan.
“Ah, akhirnya, si gadis yang menemukan pedangku!” suara Malakar, dingin dan menggoda, memenuhi udara. “Aku tahu kau akan mencariku.”

Aurora merasakan kemarahan membara dalam dirinya. “Apa yang kau inginkan, Malakar?” teriaknya, berusaha menunjukkan keberanian.
“Saya ingin pedangku kembali,” jawab Malakar, melangkah keluar dari bayang-bayang. Ia mengenakan jubah hitam yang membungkus tubuhnya, matanya merah menyala, dan senyumannya penuh tipu daya. “Dan kau, Aurora, adalah kunci untuk menguasainya.”

Elysia maju sedikit, menghadapi Malakar. “Kami tidak akan membiarkanmu memiliki pedang itu! Kekuatannya terlalu berbahaya di tanganmu.”
“Oh, tapi kau lihat, Elysia,” Malakar berkata, melirik Elysia dengan sinis. “Aku sudah bersiap-siap. Seluruh desa ini akan menjadi tempat pertempuran yang sempurna untuk meraih kekuatan yang aku inginkan.”

Mendengar kata-kata Malakar, Aurora merasakan kengerian menyelimuti dirinya. “Kami tidak akan membiarkanmu melakukan ini!” dia berteriak, mengangkat Pedang Terkutuk. “Kau tidak akan menang!”
Malakar tertawa, suaranya menggema dalam ruangan yang sunyi. “Oh, Aurora. Kau tidak tahu betapa kuatnya aku. Dan pedang itu… oh, bagaimana jika aku memberitahumu bahwa aku sudah menciptakan sebuah perangkap untuk kalian?”

Aurora dan yang lainnya merasa sebuah tekanan kuat datang dari semua arah. Di sekeliling mereka, bayangan-bayangan mulai muncul, menjulang tinggi dan menutup jalan keluar. Sekelompok makhluk kegelapan yang lebih besar dan lebih kuat muncul dari kegelapan, mengelilingi mereka.
“Ayo, Aurora!” Elysia berteriak, menyadari bahaya yang mereka hadapi. “Kita harus bertarung!”

Dengan keberanian yang semakin membara, Aurora mengangkat pedangnya. “Kita tidak akan mundur! Bersama, kita akan menghadapi kegelapan!”

Dengan teriakan semangat, mereka bersiap untuk bertarung melawan Malakar dan makhluk-makhluk yang mengancam mereka. Sebuah pertempuran besar sedang menunggu, dan Aurora bertekad untuk melindungi semua yang dia cintai.

Aurora and Cursed  Sword (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang