Tandai typo
***Airin menghembuskan napas lega saat tak didapatkan anggota keluarganya di ruang tamu. Dengan gugup, si mungil itu berjalan cepat menuju kamarnya. Mengunci dua kali seraya melempar tubuhnya ke kasur.
Menenggelamkan wajahnya di sana. Pikiran Airin semrawut, bingung apa yang harus ia lakukan sekarang.
Hamil. Astaga. Kalau sampai orang tuanya tau, bukan lagi cambukan sih tapi digantung hidup-hidup.
"Aku harus gimana?" gumam Airin benar-benar buntu.
Duduk di pinggir ranjang, Airin mengusap perutnya. Tak puas dengan itu dia membuka kancing seragam dan tanktop hingga hanya menyisakan bra warna putih. Kondisi begitu Airin dengan leluasa menatap perutnya.
Tak menyangka di dalam sana ada janin.
Lagi dan lagi pikiran acak itu terus muncul. Tapi lebih mendominasi antara mempertahankan atau melenyapkan. Airin tidak mungkin membiarkan anak ini berada di dalam sana yang beberapa bulan ke depan bakalan membesar.
Sumpah demi apapun, Airin tak sekuat itu menghadapi kemarahan keluarganya. Tidak. Tidak boleh terjadi. Airin tak punya apapun, ia hanya anak SMA yang belum berpengalaman di luar sana. Kalau dia keluar dari rumah ini, bagaimana kehidupannya?
Airin tak siap jadi gembel.
***
"Ngapain lu?!" pertanyaan tak ramah itu sontak mengagetkan Airin hingga hampir menjatuhkan buku di tangannya.
Airin menoleh, mendapati anak bungsu Ganesha yang sama-sama tak menyukai Airin.
"K-kakak lagi cari buku ... cerita," jawab Airin sambil menenangkan debaran jantung di dalam sana.
Alvie menyipitkan matanya sinis. "Harus banget pas gua ada di sini?" tanya Alvie sambil duduk di kursi perpustakaan pribadi milik keluarga Ganesha.
Airin tersenyum kikuk. "Maaf, ya. Kakak gatau kamu ada di sini. Bentar, kakak ambil dulu buku yang kakak mau baru pergi."
Tidak ada jawaban, bocah SMP itu sibuk membolak-balik halaman buku kamus. Wajahnya terlihat serius. Sementara Airin masih mencari-cari buku resep yang sekiranya bisa ia jadikan pelajaran agar tidak selalu makan masakan Mpok Emih yang sungguh membuat perut mual.
Airin takut keracunan.
"Akhirnya dapat!" seru Airin berbinar menatap buku resep masakan sehat. Sesuai janjinya ia pergi supaya tidak mengusik sang adik.
Di kamar Airin sibuk membaca dan memahami bagaimana cara belajar memasak. Jika ia kurang paham maka ia melihatnya di ponsel. Sembari menghapal biar bisa mempraktekkan nya langsung suatu saat. Itu pun berharap sang ibu tidak mengamuk karena menggunakan dapurnya.
Tok tok tok!
"Non, Airin. Makan, yok! Ini sudah lewat jam makan malam."
Airin tersentak kaget. Tubuhnya langsung gemetar kecil. Belum lagi napasnya mendadak sesak sampai ia mencengkram dadanya.
"Non! Non di dalem kan? Kata Den Alvie, Non ada di rumah," seru Mpok Emih dari luar seraya tak henti mengetuk pintu kamar.
Airin segera sadar. Astaga, kenapa belakangan ini respons tubuhnya langsung kagetan? Belum lagi keringat dingin mendadak.
"Non! Non Airin, jangan bikin Mpok takut. Non di dalem, kan? Dengar kan saya ngomong? Kalo dengar tolong respons. Non!"
"I-iya. Sebentar!" jawab Airin akhirnya. Tapi ia masih mematung, menetralisir reaksi badannya dan meraup udara, sebab tanpa ia sadari dirinya menahan napas dari tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
DEMON MAN : TIGERS
Ficção AdolescenteWARNING! KALO GAK SUKA CERITANYA JANGAN DIBACA! JANGAN MENINGGALKAN KOMENTAR BURUK! INI PERINGATAN BIAR GAADA KERIBUTAN ⚠️ *** Ketua geng motor menyusu? Gimana ceritanya? *** "Sekali nenen 10 juta, gimana?" "10 juta?" Airin mengerjap, sedikit tergiu...