Setelah keluar dari asrama, aku tidak tahu harus pergi ke mana. Rasanya tidak ada tempat di sekolah ini yang tidak bisa dijangkau oleh Jerome dan Simon. Namun, aku juga tidak ingin masuk ke dalam hutan lagi. Saat posisi Jerome dan Simon tidak diketahui seperti sekarang, sebaiknya aku menghindari tempat-tempat sepi. Tanpa tujuan yang jelas, aku berjalan di halaman sekitar dan akhirnya kembali ke sekolah. Beberapa ruang kelas masih ada yang digunakan untuk pelajaran. Saat berkeliling di koridor dan tiba di depan perpustakaan, tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku.
Karena sebentar lagi ujian, perpustakaan dipenuhi oleh para siswa. Aku berkeliling di antara rak-rak buku, mengambil buku-buku secara acak. Aku hanya mengambil satu buku dari setiap rak, lalu kadang-kadang mengembalikan buku yang sudah kuambil atau berdiri lama di depan rak tanpa mengambil buku apa pun. Dengan cara ini, lebih dari dua puluh buku berhasil kukumpulkan. Saat meletakkan buku-buku itu di meja pustakawan, petugas itu mengangkat alisnya.
"Kau belum pernah meminjam buku sebelumnya... ?"
Pustakawan itu mengakhiri kalimatnya dengan nada ragu. Aku menjawab,
"Raymond"
"Raymond. Kau hanya bisa meminjam maksimal lima belas buku"
"Oh, kalau begitu, aku akan mengembalikan sisanya."
Setelah menjawab, aku kembali berjalan di antara rak-rak buku, bolak-balik sambil menaruh buku. Saat memasukkan buku setebal 380 halaman berjudul 'Wildflowers of the Southern Region' ke rak, aku menyelipkan foto-foto itu dengan cepat di bawah celah rak buku. Aku berkeliaran lebih dari 30 menit, memasukkan dan mengeluarkan buku berulang kali, sebelum akhirnya meninggalkan perpustakaan. Dalam pelukanku, ada lima belas buku yang sama sekali berbeda dari buku-buku yang kupilih pertama kali.
Seandainya ada yang mengawasiku, tak seorang pun akan tahu kapan aku menyembunyikan foto itu. Untuk menemukan tempat persembunyiannya, mereka harus menggeledah ratusan rak buku. Kurasa itu akan memakan waktu cukup lama. Aku kembali ke asrama sambil membawa buku-buku yang kupinjam.
Asrama akhirnya ramai. Hugh dan George sedang bermain catur. Hugh mengenakan kemeja tanpa lengan, memperlihatkan otot lengannya yang kekar hasil berenang sambil fokus pada papan catur. Dia cerdas dan pandai belajar, tetapi belum pernah menang catur melawan George. Meskipun begitu, dia sering bermain catur dengan George karena menurutnya itu membantu meningkatkan konsentrasinya.
Di samping Hugh, berserakan beberapa buku tebal dan kertas-kertas. Sepertinya dia juga sedang belajar untuk ujian. Aku berjalan mendekati mereka dan menjatuhkan tubuhku di sofa. Buku-buku yang kubawa jatuh berantakan di sampingku, menarik perhatian George.
"Kau mau belajar?"
Tanya George dengan nada aneh. Saat aku menoleh, dia menunjukkan ekspresi terkejut seolah aku melakukan sesuatu yang tidak biasa.
Aku membela diri. "Kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Karena tidak ada hal yang lebih aneh daripada melihatmu belajar."
Jawab George sambil menggeser bidak catur dengan jari telunjuknya. Seperti biasa, jawabannya terlalu jujur.
Sebelum aku sempat membalas, tiba-tiba Hugh tanpa suara memegangi kepalanya dan berguling-guling di lantai. Melihat itu, aku juga melihat papan catur, tetapi aku tidak mengerti aturannya sama sekali. Aku bertanya sambil mengedipkan mata.
"Sudah selesai?"
Hugh tidak menjawab. George yang menjawab.
"Belum. Akan selesai di langkah berikutnya."
Hugh bangkit, membereskan bidak catur, dan menatapku dengan muram.
"Pelajaran apa, Raymond? Mau belajar bersama? Kita sama-sama mengambil pelajaran Sastra Inggris. Aku akan belajar sepanjang akhir pekan."
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD LIFE
RandomSetelah dikurung oleh ibunya selama lima tahun, Raymond, dipindahkan ke sebuah sekolah asrama di pedesaan seolah-olah dia sedang diasingkan. Dia memulai kehidupan sekolah yang baru dengan empat teman asramanya. Simon, adalah seorang pria yang sanga...