Bab 5.1 - Penyerahan manis

71 8 0
                                    

Aku terbangun, tapi tetap memejamkan mata. Aku merasakan tubuhku telah bersih. Rasa sesak yang aneh di dadaku telah menghilang, dan alat vitalku pun tak lagi terasa tidak nyaman. Sepertinya pakaian Judy telah menjalankan tugasnya dan menghilang. Dengan mata terpejam, aku merenungkan kembali ingatanku yang terakhir.

Aku dan pengawas melakukan seks. Berbeda dengan kelima anak laki-laki yang sebelumnya memperkosaku, sensasi dengan pengawas terasa berbeda. Kami benar-benar melakukan seks. Saat pengawas menggerak-gerakkan penisnya di dalamku, aku melilitkan pahaku ke pinggangnya, menariknya agar lebih dalam. Aku mendekatkan dadaku saat dia menjilat dan menggigit putingku, dan aku juga mengerang.

Aku tidak orgasme, tapi pengawas mencapai klimaks hingga dua kali. Ia membalikkan tubuhku dan menyuruhku menghisap penis siswa lain sementara dia menyodokku dari belakang. Setelah semua merasa cukup puas, aku dibebaskan.

Saat sisa-sisa ejakulasi memudar, para pemuda itu merasa sangat malu. Setelah memanfaatkan mereka, pengawas tidak lagi membantu mereka mencari pembenaran. Pengawas hanya diam lalu memimpin mereka menuruni tangga.

Saat itu, cahaya senter yang menerangi tangga dengan kacau terlintas dalam pikiranku. Cahaya oren murahan yang menyebar di dinding batu tua itu, perlahan menghilang ke dalam kegelapan. Aku mengingat langkah kaki mereka yang jauh lebih berat dan lambat daripada saat menaiki tangga, namun di sisi lain terasa terburu-buru dan panik.

Malam itu aku merasa iba pada para pemuda yang masih muda dan polos itu, tetapi sebenarnya, akulah yang paling muda dan lugu diantara mereka. Itu adalah kepolosan yang bodoh. Dan kepolosan yang bodoh selalu memiliki harga yang harus dibayar

Aku membuka mata. Jendela yang terbuka lebar terlihat. Angin berhembus membuat tirai sedikit mengembang lalu kembali jatuh. Di luar jendela, pohon rindang dengan dedaunan lebat menjulurkan dahannya ke jendela, membelakangi langit yang tinggi dan biru. Aku mengedipkan mata perlahan, lalu menunduk. Ini adalah kamarku dan Simon, dan aku sedang berbaring di tempat tidur. Simon duduk di samping tempat tidur.

Simon duduk di kursi dengan tangan terlipat, punggung tegak, dan mata yang terpejam. Aku hanya menatapnya tanpa bicara. Aku menunggu sampai Simon membuka matanya.

Tak lama kemudian, Simon membuka matanya. Dia terkejut melihatku, lalu mengedipkan mata. Dengan wajah yang tampak tenang, namun dengan suara khawatir, dia bertanya:

"Bagaimana perasaanmu, Raymond?"

Aku tidak menjawab, hanya mengedipkan mata perlahan dan diam-diam menatap Simon. Simon mengulurkan tangannya. Tangan yang hangat seperti sinar matahari musim semi menyentuh dahiku. Aku memejamkan mata dengan tenang. Setelah tangannya terangkat dari dahiku, aku membuka mata lagi. Simon menatapku.

"Kau tidak demam. Tubuhmu akan baik-baik saja."

Aku tetap tidak menjawab. Kami terdiam. Simon menyentuh pipiku. Aku memejamkan mata. Dengan mata tertutup, aku sedikit menggosokan pipiku pada tangan Simon, gerakannya sangat kecil dan lemah sehingga hampir tidak terasa. Tapi Simon akan menyadarinya. Tidak, dia sudah menyadarinya. Tangan yang berada di pipiku terasa membeku. Setelah beberapa saat, tangan yang menyentuh pipiku perlahan turun ke bawah, membelai pipiku, mengusap daguku, membelai leherku, lalu menyusup ke dalam selimut.

Aku tetap berbaring tanpa bergerak. Memejamkan mata, diam... tenang... seperti mayat.... Tangan Simon terhenti di dadaku, tidak bergerak. Dia sepertinya merasakan detak jantungku. Dadaku berdebar-debar. Simon pasti merasakan debaran itu. Simon tetap memegang dadaku untuk beberapa saat. Aku juga tetap berbaring seperti mayat dengan mata tertutup.

Akhirnya Simon berbicara.

"Ah, Raymond...."

Suaranya bergetar karena emosi. Itu adalah suara yang belum pernah kudengar sebelumnya. Tapi aku tidak pernah membuka mata untuk melihat wajahnya. Tidak pernah.

BAD LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang