Bab 1.2 - Pria di lantai atas

107 9 0
                                    

Makna sebenarnya dari kata-kata George baru aku pahami dua minggu kemudian.

Pertengahan Mei, cuaca mulai menghangat. Tidak perlu lagi memakai mantel di atas seragam. Itu adalah akhir pekan, dan sebagian besar siswa mendapat izin untuk keluar sekolah dan pergi ke kota terdekat, Gorun. Simon, Hugh, bahkan George juga pergi. Simon mengatakan bahwa pengasuhnya datang menemuinya dan dia akan menghabiskan akhir pekan di hotel di wilayah Gorun. Hugh pergi pagi-pagi sekali, jadi aku bahkan tidak sempat melihat wajahnya. George juga keluar dengan alasan membeli beberapa barang.

Sepertinya hanya aku yang tertinggal di asrama. Beberapa staf masih berada di sekolah, tapi mereka tetap di dalam gedung dan tak terlihat sama sekali. Baru sekitar tengah hari aku keluar dari asrama. Aku tidak punya banyak uang, dan yang lebih penting, tidak ada yang perlu kulakukan di Gorun, jadi aku memilih untuk berjalan-jalan di sekolah yang sepi. Aku melihat-lihat kandang kuda, meminjam sepeda dari penjaga kandang, dan bersepeda di hutan. Setelah itu, aku kembali saat mendekati waktu makan siang.

Aku makan siang sederhana di kantin, lalu menghabiskan sisa waktu dengan duduk di halaman, menikmati pemandangan sekolah. Meski pernah tinggal di rumah mewah, aku tetap merasa senang menikmati pemandangan terbuka setelah sekian lama hidup terkurung. Aku kembali ke asrama sekitar pukul lima sore. Saat aku membuka pintu yang terkunci dengan kunci asrama, aku melihat seseorang duduk di depan perapian. Karena rambutnya hitam, aku mengira itu adalah Simon.

Aku memulai percakapan lebih dulu. "Kau pulang lebih awal, Simon. Bukankah kau bilang akan menginap di Gorun akhir pekan ini?"

Orang itu menoleh padaku. "Benar. Simon memang akan menginap di sana."

Ternyata bukan Simon. Itu Jerome. Aku terdiam, menatapnya lekat-lekat. Jerome berada di kamar kami tanpa izin. Seperti biasa, dia mungkin datang sekitar pukul empat. Dia benar-benar sosok yang menjengkelkan dan mencurigakan.

Jerome tersenyum tipis dan melambaikan tangan, memanggilku. Aku berpikir untuk mengabaikannya dan langsung masuk ke kamarku, tapi rasanya terlalu kasar jika aku melakukannya. Bagaimanapun juga, Jerome adalah teman dari tiga orang yang tinggal bersamaku. Namun, aku tetap menunjukkan ketidaksenanganku dan duduk di hadapannya. Seperti biasa, Jerome mengenakan pakaian berkudanya, dan cambuk yang aku benci tergeletak di atas pahanya.

Jerome bertanya, "Kau habis dari luar?"

"Aku tidak pergi keluar," jawabku.

Jerome hanya tersenyum tipis meski aku menjawab dengan dingin. Kemudian, dia bertanya lagi.

"Kenapa kau tidak pergi ke Gorun?"

Aku balik bertanya, "Kenapa kau tidak pergi? Bagaimana bisa kau masuk ke sini? Apa kau punya kunci kamar kami?"

Jerome menyipitkan matanya, menatapku dengan intens, tapi tetap dengan senyum di wajahnya.

"Aku tidak pergi karena ada latihan berkuda. Dan, ya, aku punya kuncinya."

Wajahku menunjukkan ketidaknyamanan yang jelas saat aku bertanya lagi, "Kenapa kau punya kunci kamar kami?"

Jerome duduk tegak, mengubah posisinya dari yang sebelumnya bersandar di sofa. Hanya dengan gerakan itu, tubuhku mulai tegang, dan mulutku terasa kering. Dia menjawab dengan lembut.

"Anak yang dulu tinggal di kamar ini memberikannya kepadaku."

Suara Jerome terdengar lembut dan ramah, tapi ada sesuatu yang terasa berbahaya. Aku tidak bisa memastikan alasan pastinya, tapi aku merasakan bahaya dari dirinya. Aku langsung bangkit dari sofa. Saat aku hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba Jerome bergerak secepat kilat, mengayunkan cambuk kuda ke arahku.

BAD LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang