Bab 4.2 - Pertempuran dalam Kegelapan

107 6 0
                                    

Meskipun aku mengatakan tidak akan menjelaskan apa pun, Carl terus bertanya. Tapi tidak satupun pertanyaannya tentang Jerome atau kumpulan foto itu. Carl dengan setia mematuhi laranganku tadi malam untuk "jangan bertanya". Saat kami berjalan melintasi halaman sekolah untuk sarapan, pertanyaannya kebanyakan hal-hal sepele.

"Raymond, kau suka es krim vanila?"

Tanpa sadar aku berhenti dan menoleh ke Carl. Dia mengangkat kepalanya, berjalan di belakangku. Aku bertanya balik dengan bingung.

"Kenapa?"

Tapi Carl hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.

"...Aku sebenarnya tidak terlalu suka es krim," jawabku cepat.

Mata Carl berbinar. Dengan wajah bersemangat, dia bertanya lagi.

"Suka musim panas atau musim dingin?"

Aku hanya menatapnya tanpa menjawab. Carl membalas tatapanku dengan senyum licik. Dia tidak menunggu jawabanku dan langsung melangkah. Aku mengejarnya dan menjawab terlambat.

"Musim panas."

"'1984' atau 'Brave New World'?"

"Dua-duanya belum pernah kubaca."

"Lalu, 'Pride and Prejudice' atau 'Wuthering Heights'?"

"Kenapa kau menanyakan..."

Alih-alih menyelesaikan kalimatku, aku menjawab pertanyaan Carl. Toh, kurasa Carl tidak akan menjawab pertanyaanku.

"Wuthering Heights."

"Aku lebih suka 'Pride and Prejudice'," kata Carl dengan ekspresi jahil.

"Antara Julia dan Meg?"

Aku tidak menjawab. Tidak perlu kukatakan bahwa Julia adalah ibuku. Carl tampaknya juga tidak keberatan tidak mendapatkan jawaban, karena dia terus mengajukan pertanyaan. Suka kopi atau teh? Real Madrid atau Barcelona? Suka anjing atau kucing? Ah, jangan bicara! Biar kutebak. Carl mengerutkan dahi, berpikir, lalu tiba-tiba berteriak.

"Anjing! Pasti anjing. Benar kan?"

Aku hanya menatap Carl tanpa menjawab. Sinar matahari musim panas yang menyilaukan pagi itu berhamburan di wajahnya. Senyum Carl begitu mempesona. Dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan rasa isengnya, dia menunggu jawabanku. Kali ini aku yang mendahului Carl.

"Bukan keduanya. Aku lebih suka domba."

Dari belakang, Carl melontarkan pertanyaan terakhirnya.

"Kalau patung?"

Suaranya datar.

"Raymond, sebenarnya kau tidak tertarik pada patung, kan? Kau mengikuti Judy karena alasan lain, kan?"

Aku menjawab.

"Ya."

Bahkan saat pertanyaan terakhirnya serius pun suasana yang mengalir di antara Carl dan aku tetap lembut dan damai. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mengobrol dengan santai dan tanpa tegang. Tidak ada maksud tersembunyi di balik kata-kata Carl. Berbeda sekali dengan tanya jawabku dengan George. Carl pura-pura cemberut menanggapi jawabanku.

"Jadi, ketertarikanmu pada patungku semuanya palsu?"

"Emm..."

Aku terkekeh melihat Carl yang manyun.

"Pujian itu sungguh-sungguh. Patungmu benar-benar luar biasa."

"Sudahlah, aku tidak percaya." jawab Carl, pura-pura merajuk.

"Aku serius..."

Sambil pura-pura ngambek, Carl melepaskan gandengan tangannya dan masuk ke ruang makan lebih dulu. Aku masih tertawa saat mengikutinya. Saat aku meraih kerah baju Carl dan merangkul bahunya dengan akrab. Tatapanku bertemu dengan Simon yang sedang makan sendirian di sudut ruangan.

BAD LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang