Ding!
Lonceng jam berbunyi menandakan pukul empat sore. Untuk pertama kalinya sejak Simon mengusirnya, Jerome masuk ke kamar kami. Tanpa mengetuk, terdengar suara kunci berputar, dan Jerome muncul. Kuncinya pasti diberikan Simon.
Jerome menyapaku, tetapi kubiarkan begitu saja. Simon juga terbangun karena suara Jerome. Dengan wajah muram yang masih tampak mengantuk, dia langsung duduk dan mengeluarkan papan catur.
Jerome mencoba mengajakku bicara lagi—tentang apakah aku sudah makan, bagaimana rencana akhir pekan yang gagal, dan omong kosong lainnya—tetapi aku mengabaikan semuanya. Hugh memperhatikan kami dan menjawabnya untukku. Simon sama sekali tidak ikut campur dalam percakapan. Dia hanya bermain catur dengan Jerome. Saat lonceng jam berbunyi menandakan pukul lima, Hugh terkejut.
"Sialan, Jerome! Aku kehilangan satu jam hanya karena mengobrol denganmu!"
Hugh berteriak kesal.
"Kenapa jadi salahku? Kan kau yang memulai obrolan."
Jerome menjawab dengan mengejek.
"Kalau kau kesal, pergilah ke perpustakaan dan belajar."
"Ya, aku bahkan belum menghafal satu kata pun selama satu jam."
Hugh menggerutu dan bangkit. Dia dengan santai membereskan alat tulis dan bukunya, lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah Hugh pamit dan pergi, asrama menjadi sunyi.
Jerome, Simon, dan aku sama sekali tidak berbicara. Tidak ada yang menggerakkan bidak catur atau membalik halaman buku. Aku meletakkan buku di atas pangkuanku yang disilangkan dan menatap kedua pemuda itu. Jerome dan Simon juga menatapku tajam.
Tanganku berkeringat. Keheningan terasa begitu mencekam. Tidak seperti biasanya, Jerome tidak tersenyum. Tidak ada yang membuka mulut, hanya saling menatap tajam selama beberapa menit.
Saat berikutnya, aku melemparkan buku, lalu dengan cepat melompati sandaran sofa dan melarikan diri. Dari belakang, sebuah tangan seperti cakar menarik bajuku. Aku memutar siku, menghantam tangan itu, dan jatuh terduduk di balik sandaran sofa.
Mereka menempel seperti setan. Jerome menerjang sambil tertawa seperti orang gila, dan Simon, tanpa mengubah raut wajahnya sedikit pun, mengulurkan tangan seperti cakar. Jerome melompat dari balik sandaran sofa dan menerjangku, tapi aku mengelak dengan berguling. Lalu Simon mencengkeram pergelangan kakiku. Dengan kaki yang satunya, aku menendang wajah Simon. Akhirnya aku terlepas dari cengkeramannya. Aku cepat-cepat merangkak dan berdiri, namun Jerome melemparkan buku tebal dari atas meja.
Tepi buku itu mengenai punggungku, sakitnya seperti mau mati. Di saat itu juga, Jerome menerjang dan mencengkeram pinggangku, lalu membantingku ke lantai. Saat dia mencoba merangkul kedua lenganku, aku menghindarinya dengan menendang perutnya menggunakan lutut. Jerome terkena tendangan itu, tapi tetap bergelayutan. Aku menggaruk leher dan lengannya dengan kuku sampai berhasil melepaskan diri, lalu langsung dicegat Simon yang menangkap lenganku. Cengkeramannya sangat kuat, rasanya lenganku mau copot. Saat itulah aku mengeluarkan pisau lipat yang disembunyikan di ikat pinggang.
Tak ada waktu untuk membuka mata pisau. Aku memegang erat pisau lipat itu dan menekannya ke punggung tangan Simon. Simon merintih pelan, sempoyongan, dan mundur. Begitu terlepas dari cengkeramannya, aku langsung mengeluarkan mata pisau.
"Heh, huh, huh, dasar bajingan gila, huh..."
Aku terengah-engah dan mundur beberapa langkah. Napasku tersengal-sengal sampai di ujung tenggorokan. Rasanya paru-paruku mau meledak karena sesak napas. Seluruh tubuhku gemetar karena adrenalin.
Jerome tertawa terbahak-bahak. Matanya yang hijau berkilauan karena kegilaan, benar-benar seperti orang gila.
"Raymond! Huu, hu, huhu, apa yang ingin kau lakukan dengan pisau kecil itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD LIFE
De TodoSetelah dikurung oleh ibunya selama lima tahun, Raymond, dipindahkan ke sebuah sekolah asrama di pedesaan seolah-olah dia sedang diasingkan. Dia memulai kehidupan sekolah yang baru dengan empat teman asramanya. Simon, adalah seorang pria yang sanga...