9. Pengkhianatan

12 0 0
                                    

"Udah gue bilang, Rea selingkuh," Rachel mengeluarkan kalimat itu dengan nada penuh kepastian, seolah-olah mengukirnya dalam batu. Ia mengulurkan selembar foto kepada Nathan, matanya menyala dengan emosi yang tak terduga. Dalam foto itu, Rea dan Riki terlihat berpelukan, tertangkap dalam momen mesra yang jelas-jelas tidak pantas untuk dilihat oleh Rajaesh.

Nathan tertegun, matanya membesar saat ia memperhatikan gambar itu. "Lo dapet dari mana?" tanyanya, suaranya bergetar antara keraguan dan rasa ingin tahu yang mendalam. Ketegangan di antara mereka semakin terasa, seperti awan gelap yang menggantung di atas kepala.

"Gue liat sendiri, Nat. Mereka berdua mesra-mesraan, pelukan dan ciuman di belakang Rajaesh. Semua itu di depan mata gue," Rachel menjelaskan, suaranya tegas dan penuh kepastian. "Gue nggak bisa diem aja lihat ini semua. Ini udah keterlaluan!"

"Maaf, Ra. Gue belum bisa percaya kalau belum liat langsung," Nathan berusaha mempertahankan skeptisisme di tengah situasi yang semakin membingungkan. Ia merasa terjebak antara loyalitas kepada sahabat dan kebenaran yang menyakitkan.

"Jadi lo masih ngeraguin gue?!" Rachel hampir berteriak, wajahnya memerah karena kemarahan dan frustasi. "Gue udah kasih tau lo apa yang gue lihat. Lo mau gue buktiin lebih jauh lagi?"

"Bukan gitu, Ra. Riki kan sahabat Rajaesh. Dia nggak mungkin khianatin dia. Lo tahu gimana dekatnya mereka," Nathan mencoba menjelaskan, berusaha menjaga posisinya meskipun hatinya mulai goyah. Dalam hati, ia berusaha menolak kenyataan yang mulai menggerogoti keyakinannya.

"Nat, lo kira sahabat nggak bisa berkhianat? Gw tau lo juga sahabat Riki, tapi kalau dia salah, lo harus berani bilang!" Rachel menantang, suaranya semakin meninggi, penuh dengan ketidakpuasan. "Rajaesh berhak tahu kebenarannya, meskipun itu menyakitkan."

"Udahlah, gue males debat. Cobalah positif thinking. Mungkin mereka cuma pelukan sebagai teman," Nathan mencoba meredakan situasi, tetapi nada suaranya terdengar semakin lemah. Ia tahu bahwa ia sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar dari sekadar persahabatan.

"Teman? Pelukan dan ciuman mesra itu teman? Lo serius, Nat?!" Rachel menatapnya dengan tajam, seolah ingin menembus pertahanan yang Nathan bangun. "Gue bakal bilang ini ke Rajaesh. Dia perlu tahu yang sebenarnya."

"Jangan, Ra! Tolong jangan kasih tahu dia!" Nathan meminta, nada suaranya penuh panik. "Lo ga akan tahu gimana hancurnya kalau dia tahu ini."

"Kenapa? Lo takut Riki dimusuhin? Atau lo lebih peduli sama reputasi dia daripada perasaan Rajaesh?" Rachel menegaskan, suaranya penuh ketidakpercayaan. "Rajaesh juga sahabat lo, Nat! Dia berhak tahu kebenaran, apapun konsekuensinya."

Nathan terdiam, terjebak dalam dilema yang berat. "Gue cuma... gue cuma pengen semua ini baik-baik aja tanpa ada yang terluka," katanya, suaranya pelan, seolah tak ingin mengakui kebenaran yang menyakitkan.

"Nat, ini bukan tentang lo atau keinginan lo. Ini tentang kejujuran. Dan lo tahu, satu-satunya cara untuk menyelesaikan ini adalah dengan jujur," Rachel menjawab, suaranya lebih lembut, tetapi penuh ketegasan. Ia tahu bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah hal yang sepele.

Keduanya terdiam, suasana semakin tegang. Mereka berdua tahu bahwa keputusan yang harus diambil akan mengubah segalanya, dan tidak ada jalan kembali. Nathan merasakan beban di dadanya, sementara Rachel menunggu jawaban yang bisa mengakhiri kebisuan di antara mereka. Dalam keheningan yang menggelisahkan itu, mereka merasakan betapa beratnya tanggung jawab yang harus mereka pikul, sekaligus ketidakpastian akan konsekuensi dari pilihan yang akan mereka buat.

♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛

"Rajaesh, boleh bicara sebentar?" Rachel menghampiri Rajaesh yang baru saja melangkah keluar dari kelasnya. Langit di luar tampak mendung, seolah mencerminkan suasana hati Rachel yang penuh ketegangan. Rajaesh, dengan raut wajah yang terkejut, berusaha menahan langkahnya. Sudah berbulan-bulan mereka tidak saling berbicara, dan kini Rachel tiba-tiba muncul dengan wajah yang penuh harap dan cemas.

"Gue sibuk," jawab Rajaesh dengan nada sinis, berusaha mengabaikan Rachel dan melanjutkan langkahnya. Namun, Rachel tidak menyerah. Dia tahu bahwa apa yang ingin dia sampaikan sangat penting.

"Ini soal Rea," suara Rachel bergetar, menahan emosi yang menggebu. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, takut jika Rajaesh tidak mau mendengarkan.

Rajaesh berhenti dan membalikkan tubuhnya, menatap Rachel dengan tajam. Dalam tatapan itu, Rachel bisa melihat campuran antara kemarahan dan kebingungan. Dengan tangan bergetar, dia mengeluarkan handphone-nya dan menunjukkan foto Riki dan Rea yang berpelukan, seakan itu adalah bukti tak terbantahkan dari semua yang dia katakan.

"Rea dan Riki selingkuh selama ini," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar, namun cukup untuk mengguncang ketenangan yang ada di antara mereka.

Tatapan Rajaesh berubah, seolah terperangkap dalam badai emosi. Dia merasa seolah dunia di sekelilingnya runtuh. Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone Rachel dan membantingnya ke lantai. Suara pecahan kaca menggema, menyisakan rasa sakit yang mendalam di hati Rachel. Dia tak percaya Rajaesh bisa melakukan itu.

"Dasar tukang fitnah, jijik gue sama lo!" teriak Rajaesh, suaranya menggema dengan kemarahan yang membara. Wajahnya merah padam, dan Rachel bisa melihat betapa dia berjuang untuk menahan diri.

Rachel terkejut, air mata menggenang di sudut matanya. "Rajaesh, tunggu! Lo harus percaya sama gue!" serunya, berusaha menahan gejolak di dalam dada. Dia tahu bahwa dia harus berjuang untuk kebenaran, meskipun itu berarti menghadapi kemarahan Rajaesh.

Rajaesh mendengus, wajahnya memerah. "Percaya sama lo?" Dia melangkah maju, tatapannya penuh kebencian, seolah Rachel adalah musuh yang harus dihadapi.

"Lo harus tahu kebenarannya!" Rachel berusaha menjelaskan, suaranya bergetar penuh ketegangan.

Rajaesh terdiam, ekspresinya mulai goyah. Dia terlihat berjuang antara mempertahankan cintanya pada Rea dan menghadapi kenyataan pahit yang mungkin menghancurkan segalanya. Namun, dia segera menepiskan keraguan itu. "Gue nggak mau denger omong kosong ini. Lo harus pergi sebelum gue makin marah," katanya, suaranya lebih rendah, tetapi tetap penuh ketegasan.

♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛

Di dalam kediaman Rajaesh, suasana terasa mencekam, seolah bayangan gelap menyelimuti setiap sudut ruangan. Gelisah merayap di relung hatinya, tak bisa dipungkiri, seiring dengan bayang-bayang foto yang baru saja ditunjukkan kepadanya. Foto itu, dengan jelas, menampilkan sosok Rea yang begitu mencintainya, dan Riki, sahabat yang selalu ada di sampingnya, yang juga memiliki rasa sayang yang mendalam.

Dengan tekad yang membara, Rajaesh memutuskan untuk menyelidiki kebenaran yang tersembunyi di balik bayang-bayang keraguan. Ia tidak ingin terjebak dalam permainan yang dapat menghancurkan segalanya. Dalam benaknya, sebuah rencana mulai terbentuk, menggerakkan langkahnya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Memories Rajaesh 2010 (ON GOING) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang