14. Retak

5 1 0
                                    

Lorong sekolah yang remang itu menjadi saksi bisu kepedihan Rajaesh. Matanya terpaku pada sekumpulan remaja yang melenggang santai melewati perpustakaan - geng yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya. Setiap langkah mereka bagaikan pisau yang menghujam jantungnya, mengingatkan akan dosa masa lalu yang tak dapat ia tebus. Bayangan Riki, nyawa yang telah ia renggut dengan tangannya sendiri, kembali menghantuinya.

"Fokus, Rajaesh!" Suara Rachel memecah lamunannya. Gadis itu menatapnya dengan campuran kesal dan khawatir.

Rajaesh memaksakan sebuah anggukan lemah. Rachel menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya saat melihat sorot kesedihan di mata pemuda itu.

"Oke, cukup simpel sebenernya. Hapalin aja rumus ini dulu, pemahaman akan datang dengan sendirinya," ujar Rachel dengan nada yang lebih lembut.

"Udah gue coba," Rajaesh tersenyum getir. "Tapi yang inget di kepala malah wajah lo, bukan rumus fisika."

Rachel berdecak, dengan cepat membereskan bukunya. "Cukup untuk hari ini. Besok kalau masih mau belajar, bilang aja."

Setelah Rachel berlalu, Rajaesh membereskan bukunya dengan gerakan lambat. Namun langkahnya terhenti di koridor saat mendengar suara yang familiar. Di balik tembok, ia menyaksikan drama yang membuatnya semakin terpuruk.

"Pilih, Rachel. Gue atau dia?" Suara Nathan terdengar dingin dan menuntut.

Rachel terlihat gelisah. "Nathan, please... kalian berdua teman gue."

"Teman?" Nathan tertawa pahit. "Kita udah seperti saudara, Rachel. Bertahun-tahun, jauh sebelum dia. Jadi, siapa pilihan lo?"

Keheningan yang menyiksa, sebelum akhirnya Rachel menyerah. "Fine. Gue... Gue akan jauhin dia."

"bagus. Itu jawaban yang gue mau. Mulai sekarang dan seterusnya lo pulang dan berangkat samaa gue lagi."

Dari balik tembok, Rajaesh merasakan dunianya runtuh untuk kesekian kalinya. Sementara Nathan memeluk Rachel dengan penuh kemenangan, Rajaesh hanya bisa menunduk, membiarkan air matanya jatuh dalam diam. Sekali lagi, ia kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupnya.

♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛

Malam merangkak pelan di jalanan kota yang basah. Rajaesh memacu motornya tanpa arah, membiarkan roda-roda kendaraannya melahap aspal yang berkilau ditimpa cahaya lampu jalan. Gemerincing tetes hujan yang mulai turun bagai melodi pilu, mengiringi setiap hembusan napasnya yang berat. Jaket tipisnya tak mampu melawan dinginnya angin malam yang menusuk hingga ke sumsum tulang, namun rasa sakit di dadanya jauh lebih menggigit dari segala rasa dingin yang ada.

Pikirannya melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Bagaimana Rachel, satu-satunya orang yang masih mau melihatnya sebagai manusia kini harus pergi meninggalkannya. Ia paham mengapa Nathan begitu protektif terhadap Rachel. Siapa yang mau sahabatnya dekat dengan seorang pembunuh?

Motor hitamnya akhirnya berhenti di sebuah halaman rumah yang sunyi. Tempat ini, tempat di mana takdir memutuskan untuk mengubah hidupnya selamanya. Matanya terpejam, namun bayangan malam itu justru semakin jelas. Ia masih bisa merasakan getaran di tangannya saat batu itu melayang, masih bisa mendengar suara dentuman mengerikan ketika benda keras itu bertemu dengan kepala Riki. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk menghabisi nyawa seseorang, namun takdir seperti senang mempermainkannya.

"Maafin gue, Riki," bisiknya pada kegelapan malam. "Dan maafin gue juga, Rea."

Nama itu, Rea, terasa seperti pisau yang mengiris hatinya. Gadis yang pernah mengisi relung jiwanya itu telah memilih pergi setelah insiden berdarah tersebut, meninggalkan luka menganga yang tak kunjung sembuh.

Getaran ponsel di sakunya membuyarkan lamunan. Sebuah pesan dari Rachel terpampang di layar yang berembun: "Maaf, Ja. Gue gak bermaksud nyakitin lo. Tapi Nathan... dia sahabat gue sejak dulu."

Rajaesh tersenyum pahit membaca pesan itu. Dengan jari yang gemetar, ia membalas: "It's okay. Lo ga salah apa-apa. Makasih udah mau jadi temen gue selama ini."

Hujan turun semakin deras, menyamarkan air mata yang mengalir di pipinya. Petir menggelegar di kejauhan, menggetarkan udara dengan dentuman yang seakan menggaungkan kepedihan dalam dadanya. Rajaesh paham, mulai esok dan seterusnya, ia harus kembali bersahabat dengan kesunyian. Namun setidaknya, untuk beberapa bulan yang telah berlalu, ia telah merasakan hangatnya kepedulian seseorang yang mungkin tak akan pernah ia rasakan lagi.

♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛

Malam itu, Rachel duduk terpuruk di sudut kamarnya yang remang-remang, bayangan kesedihan menyelimuti seluruh ruang. Air mata terus mengalir, membasahi pipinya yang sembab, seolah tak mau berhenti mengekspresikan rasa sakit yang mendalam. Pesan yang baru saja ia kirimkan kepada Rajaesh terasa seperti belati yang menusuk jantungnya.

Keheningan malam yang mencekam itu tiba-tiba pecah oleh deringan ponselnya. Nama Nathan bersinar di layar, dan jantungnya berdegup kencang, seolah merasakan getaran yang tak biasa.

"Halo, Ra," suara Nathan terdengar ragu, mengalun lembut dari seberang sana. "Maaf ya, besok gue gak bisa berangkat bareng."

Rachel mengerutkan kening, rasa penasaran dan kekhawatiran bercampur aduk di dalam hatinya. "Kenapa?" tanyanya, suaranya bergetar.

"Teman kecil gue baru saja pindah ke sini. Dia juga akan bersekolah di tempat kita, jurusan IPA. Siapa tahu lo sekelas."

"Siapa namanya?" Rachel bertanya, rasa ingin tahunya semakin membara.

"Ayyara. Maaf, Ra, gue belum sempat cerita. Sudah ya, gue mau makan dulu," Nathan menjawab, nada suaranya semakin menjauh, seolah ingin mengakhiri percakapan itu.

Rachel menatap layar ponselnya yang kini gelap, perasaannya campur aduk. Nama Ayyara berputar-putar di pikirannya, membangkitkan rasa penasaran yang mendalam. Siapa sosok Ayyara ini? Kenapa Nathan tidak pernah bercerita tentangnya sebelumnya? Dalam benaknya, berbagai pertanyaan berkelebat, dan ia merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemanan yang sedang terjalin.

Memories Rajaesh 2010 (ON GOING) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang