7. Dalam pelukan kesedihan

9 0 0
                                    

Di dalam kelas XI IPA 1 yang dipenuhi dengan tumpukan buku dan catatan, suasana terasa sedikit tegang. Rachel duduk di mejanya, mencoba berkonsentrasi pada tugas yang menanti. Namun, perhatian itu teralihkan saat kedatangan Rajaesh. "ngapain lo? "tanya rachel, menatap Rajaesh dengan ekspresi bingung dan sedikit kesal.

Rajaesh, yang berdiri di depan meja Rachel dengan sikap yang tampak serius, melemparkan beberapa tumpukan buku ke permukaan meja. Buku-buku itu jatuh dengan suara yang cukup keras, membuat Rachel sedikit terkejut. "Tugas gue numpuk, kerjain tuh," katanya, nada suaranya mencerminkan perintah.

Rachel menghela napas panjang, merasakan beban yang sama menimpanya. Ia menatap tumpukan buku yang dilemparkan Rajaesh, lalu mengalihkan pandangannya ke wajahnya. "Maaf, ya. Tugas gue juga banyak. Kerjain aja sendiri," balasnya, berusaha untuk tetap tenang meski di dalam hati, ia merasa tertekan oleh permintaan yang tiba-tiba itu.

Rajaesh mengerutkan kening, seolah tidak terima dengan penolakan Rachel. "Lo nolak ngerjain tugas gue? Mau gue pecat lo dari kafe?" ancamnya, suaranya mengandung nada menggoda namun tetap serius. Rachel bisa merasakan bahwa Rajaesh sedang bermain-main dengan kekuasaan yang dimilikinya sebagai salah satu atasan di kafe.

Rachel memutar bola matanya malas. Ancaman itu sudah menjadi hal biasa baginya. Sejak Rajaesh tau ia bekerja di kafe yang dikelola Rajaesh, ancaman semacam itu sering kali dilontarkan. Dia tahu Rajaesh hanya bercanda, tetapi tetap saja, rasa kesal itu tidak bisa dihindari.

♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛

Jam pelajaran kedua telah dimulai. Di sudut kelas, Rajaesh duduk santai, asyik bermain game di ponselnya. Suasana kelas yang seharusnya serius terasa sepi, terutama karena guru mereka belum datang. Tiba-tiba, Nathan menghampiri Rajaesh dengan ekspresi cemas.

"Ja," panggil Nathan, "lo nggak kasihan sama Rachel? Dia dihukum berdiri sampai istirahat karena nggak ngerjain tugas. Dia lebih milih ngerjain tugas lo, loh."

Ja mengerutkan dahi, tampak acuh tak acuh. "Lah, apa urusannya sama gue? Itu kan kewajiban dia."

"Dia lagi nggak enak badan, Ja," Nathan menjelaskan, nada suaranya sedikit mendesak. "Dari pagi kepalanya pusing, bahkan dia nggak bisa tidur demi ngerjain tugasnya."

Rajaesh menggelengkan kepala, merasa Nathan berlebihan. "Udah deh, lo nggak usah lebay. Alasan aja biar nggak disuruh."

"Terserah lo dah, Ja," balas Nathan, frustrasi. Lalu Pergi meninggalkan Rajaesh yang fokus pada gamenya.

Rajaesh menoleh ke arah jendela kelasnya yang terletak di lantai dua. Dari sana, ia melihat Rachel berdiri di depan lapangan, menghadap tiang bendera. Tanpa merasa peduli, ia hanya mengangkat sebelah bibirnya, menganggapnya sebagai hal biasa. Namun, saat ia kembali melihat, hatinya bergetar. Rachel kini tergeletak di lapangan yang panas, tak bergerak.

Panik melanda dirinya. Tidak ada seorang pun di sekitar yang menyadari keadaan Rachel. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari keluar, langkahnya cepat dan penuh kecemasan. "Ra, Ra, bangun, Ra!" teriaknya, suaranya penuh harapan.

Dengan cepat, ia mengangkat tubuh Rachel dan membawanya ke UKS. Di dalam hatinya, ia berdoa, "Ra, jangan mati dulu. Gak ada yang bisa ngerjain tugas gue." Rasa khawatir dan rasa bersalah menyatu dalam dirinya. Rajaesh tidak pernah menyangka bahwa sikap acuhnya sebelumnya bisa berujung pada situasi yang mengerikan seperti ini.

♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛

Setelah terlelap dalam ketidaksadaran yang cukup lama, Rachel perlahan membuka matanya. Pandangannya yang masih kabur mulai menelusuri sekitar, mencoba merangkai ingatan mengenai apa yang telah terjadi. Dalam kebingungan itu, suara lembut Rajaesh memanggilnya, "Ra, lo gapapa?"

Rachel mengerang pelan, memegangi dadanya yang terasa nyeri. "Dada gue sakit," ucapnya, suaranya terdengar lemah.

"Bentar lagi jam istirahat, kita ke rumah sakit," jawab Rajaesh dengan tegas, meski nada suaranya tetap lembut.

Rachel membuka mulutnya, Rajaesh langsung memotong perkataannya "Diam, nggak usah ngelawan. Kalau gue bilang ke rumah sakit, ya ke rumah sakit."

"Enggak, nggak usah," Rachel mencoba menolak, namun Rajaesh tidak memberi pilihan.

"Diam, Rachel. Biar gue yang bayar nanti," ujarnya lagi, dengan nada yang tidak bisa dibantah.

Lima menit kemudian, bel berbunyi, memecah keheningan. Rajaesh segera membantu Rachel bangkit dan membawanya ke parkiran mobil. Dengan cepat, ia menghubungi pacarnya sebelum melaju.

"Rea, sayang, maaf ya, aku nggak bisa makan bareng di kantin sama kamu. Ada praktek tambahan. Maaf juga, nanti aku juga nggak bisa nganterin kamu pulang, ada rapot osis mendadak," suara Rajaesh terdengar penuh penyesalan.

"Emm, oke," jawab Rea, suara di ujung telepon terdengar sedikit kecewa.

"Kamu gapapa kan? Aku nggak bisa bolos praktek ini, penting soalnya," tanya Rajaesh, suara khawatirnya menembus jarak.

"Enggak kok, tenang aja," Rachel mencoba meyakinkan, meski rasa sakit masih menyelimuti dirinya.

"Makasi ya, sayang, udah ngertiin," ujarnya, menutup percakapan dengan rasa syukur yang tulus.

♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛

"Tadi apa kata dokter?" tanya Rajaesh begitu melihat Rachel keluar dari ruang periksa dengan wajah yang tampak lelah.

"Cuma kecapean aja," jawab Rachel sambil tersenyum tipis, berusaha terlihat santai.

Rajaesh memandangnya dengan tatapan tajam. "Gausah bohong, gue udah tahu," katanya dengan nada serius.

Rachel terdiam, senyumnya memudar. "Tahu apa?" tanyanya, mencoba menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya.

"Gue tahu penyakit lo," jawab Rajaesh, suaranya lebih pelan tapi penuh kepastian.

Rachel menelan ludah, berusaha menguatkan diri. "Siapa yang ngasih tahu?"

"Gue dengar sendiri dari dokter kemarin." Rajaesh menatap Rachel dalam-dalam. "Kenapa lo gak bilang?"

Rachel memalingkan wajah, menghela napas panjang. "lo gak usah khawatir," bisiknya. "Ini urusan gue...gue bisa hadapi sendiri."

"Rachel," Rajaesh mendekat, menatapnya lembut. "Lo gak harus hadapi ini sendirian. Gue ada di sini."

Rachel mencoba tersenyum, tapi tatapan Rajaesh yang dalam membuatnya merasa lemah, seolah segala usaha menyembunyikan ketakutan dan kelemahannya sia-sia. Rachel mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Ja... gausah hawatir. Gue bisa hadapi ini sendiri."

Namun, Rajaesh malah meraih bahunya dan menarik Rachel ke dalam pelukannya. Awalnya, Rachel menolak, sedikit memberontak dalam pelukannya. "Ja, nggak usah gini... gue baik-baik aja."

Tapi Rajaesh memeluknya semakin erat, tak melepaskannya. Di dalam pelukan itu, Rachel bisa mendengar detak jantungnya yang tenang dan stabil, seolah-olah memberikan kekuatan. "Gue bakal selalu nemenin lo, Ra. Sampai kapan pun. Lo nggak harus kuat sendirian," kata Rajaesh, suaranya tegas tapi penuh kehangatan.

Rachel akhirnya menyerah. Tubuhnya melemas dalam pelukan Rajaesh, dan tanpa bisa ditahan, air matanya mengalir. Semua ketakutan, rasa sakit, dan beban yang selama ini ia pendam sendirian, tiba-tiba luruh bersama air mata yang jatuh di bahu Rajaesh.

"Ja..." Rachel berbisik dengan suara gemetar. "jangan kasih tau ini sama siapa-siapa ya... gue nggak mau orang lain lihat gue lemah."

Rajaesh mengusap punggung Rachel pelan, menenangkannya. "Gue janji, Ra. Rahasia lo aman sama gue."

Rachel terisak pelan di bahunya, menguatkan pelukannya di punggung Rajaesh. Dalam keheningan itu, ada rasa aman dan nyaman yang lama tak ia rasakan.

Memories Rajaesh 2010 (ON GOING) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang