Hari itu, Rachel sudah merencanakan sesuatu yang spesial. Di dalam benaknya, terbayang momen indah saat ia dan Nathan duduk berdua di kantin, menikmati seporsi ayam kecap yang telah ia siapkan dengan penuh cinta. Ayam kecap itu adalah hidangan kesukaan Nathan, dan Rachel berharap bisa menghiburnya setelah hari yang melelahkan. Namun, harapannya sirna ketika Nathan menolak ajakannya dengan dingin
Ada yang berbeda dari Nathan hari ini. Ia tampak menjauh, tidak mengajaknya berbicara sama sekali. Rachel merasakan ada sesuatu yang mengganjal di antara mereka, seperti kabut tebal yang menyelimuti suasana hati Nathan. Ia berusaha mencari tahu apa yang salah, tetapi setiap kali ia mencoba membuka percakapan, Nathan hanya menjawab sepatah dua kata, seolah kata-katanya terjebak di dalam hatinya.
Di perjalanan pulang, saat mereka melaju di atas motor, Rachel merasa semakin gelisah. Suara mesin motor yang mengaum seolah mengisi keheningan yang menggelayuti pikiran mereka. Akhirnya, dengan keberanian yang tersisa, Rachel memberanikan diri untuk bertanya.
"Nat, lo kenapa hari ini diemin gue? Gue ada salah ya?" tanyanya, suaranya bergetar, mencerminkan kekhawatiran yang menggerogoti hatinya.
Nathan terdiam sejenak, matanya menatap jalanan dengan tajam, seolah mencari jawaban di antara deretan pohon yang melintas. "Kemarin gue ngeliat lo ke toko buku sama Rajaesh. Lo ngapain?" suaranya terdengar penuh curiga.
"Rajaesh lagi butuh kerjaan, dia minta tolong gue buat cariin," jawabnya, berusaha menjelaskan tanpa merasa bersalah. Ia tahu betul bahwa sekarang Nathan tidak menyukai Rajaesh, tetapi ia tidak bisa membiarkan sahabatnya terpuruk sendirian.
"Terus lo bantu?" Nathan bertanya, nada suaranya mulai meninggi, dan Rachel bisa merasakan kemarahan yang terpendam di balik kata-katanya.
"Iya," Rachel menjawab, berusaha mempertahankan ketenangannya. "Dia butuh bantuan, Nat. Gue cuma mau nolong."
"Apasi, Ra? Ngapain dibantu? Pembunuh, ga pantes dibantu!" Nathan meluapkan emosinya, suaranya penuh kemarahan yang terpendam. Rachel terkejut mendengar kata-kata itu. Ia tahu betapa dalamnya luka yang dialami Nathan akibat kejadian yang melibatkan Rajaesh, tetapi ia tidak menyangka Nathan akan berbicara sekasar itu.
Rachel tertegun, hatinya bergetar. "Lo kenapa sih, Nat? Kan hakim di pengadilan juga udah bilang ini ga sepenuhnya salah Rajaesh," ia mencoba menjelaskan, meskipun hatinya bergetar mendengar nada Nathan. Ia ingin Nathan mengerti bahwa ia tidak mendukung tindakan Rajaesh, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan Rajaesh terpuruk dalam kesedihan.
"Tau apa sih lu, Ra? Lu ga tahu apa-apa. Karna Rajaesh, persahabatan gue sama temen-temen hancur. Gue juga kehilangan sahabat gue, Riki!" Nathan mengungkapkan rasa sakitnya, dan Rachel bisa merasakan betapa dalamnya luka yang dialami sahabatnya. Setiap kata yang keluar dari mulut Nathan seperti pisau yang mengiris hatinya. Ia ingin memeluk Nathan, tetapi ia juga merasa terluka.
♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛
Di tengah hiruk-pikuk suasana sekolah yang biasanya riuh, tiba-tiba terdengar suara lantang, penuh kebencian, yang merobek keheningan pagi itu. "Dasar gak tahu malu! Berani sekali lo datang ke sekolah lagi!" seru seseorang, suaranya sarat dengan amarah yang mendidih. "Jangan sok jago, dasar bajingan! Pembunuh!" bentak yang lainnya, disambut tawa sinis kawan-kawannya. "lo pantas mati dengan cara yang sama!"
Rachel, yang baru saja melangkah melewati gerbang sekolah, merasakan jantungnya berdegup kencang. Tanpa berpikir panjang, dia berlari ke arah sumber suara yang penuh kebencian itu. Di sana, dilihatnya Setma, Tino, Tama, dan beberapa anak lainnya tengah mengepung Rajaesh, yang terjatuh tak berdaya di tengah-tengah mereka, wajah dan tangannya penuh memar dari serangan brutal. Namun yang paling mengejutkan Rachel, Rajaesh sama sekali tidak melawan.
"Rajaesh, ayo ikut gue," ucap Rachel, suaranya lembut namun tegas, sambil menggenggam tangan Rajaesh, mencoba membawanya pergi dari lingkaran kebencian itu. Tapi tiba-tiba Nathan menangkap tangan Rachel, berusaha menghentikannya. Dengan tatapan penuh peringatan, Nathan meminta Rachel untuk tidak membantu Rajaesh.
Namun Rachel mengabaikannya. Dia menepis tangan Nathan dan mengajak Rajaesh berdiri, penuh tekad untuk membawanya pergi dari tempat itu. "lo mau bawa gue ke mana?" tanya Rajaesh dengan suara lemah.
"Ke UKS," jawab Rachel singkat, tapi penuh kepastian.
♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛
Desisan pelan meluncur dari bibir Rajaesh ketika Rachel dengan hati-hati mengompres luka di wajahnya. Aroma alkohol menguar tajam, namun tak setajam kesadaran akan kedekatan mereka saat ini. Ruangan itu, yang biasanya terasa begitu luas, kini seakan menyempit-menyisakan hanya mereka berdua dalam pusarannya.
"Pelan-pelan," gumam Rajaesh, suaranya hampir seperti bisikan. Matanya tanpa sadar terpaku pada wajah Rachel yang begitu serius merawat lukanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan itu. Sesuatu yang membuat detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.
Jemari Rachel bergerak dengan kelembutan yang mengejutkan, setiap sentuhannya seperti menyalurkan kehangatan yang menenangkan. Ketika pandangan mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Ada ribuan kata yang ingin Rajaesh ucapkan, namun tertahan di tenggorokannya.
"Ra, terima kasih..." Hanya itu yang mampu ia ucapkan, kalimat yang mengandung begitu banyak makna tak terucap. Rachel membalas dengan senyum samar, matanya menyiratkan pengertian yang dalam. Di ruangan yang sunyi itu, mereka tenggelam dalam momen yang seakan menghapus semua permusuhan dan prasangka yang selama ini memisahkan mereka.
♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛
Bel istirahat baru saja berbunyi ketika Rachel bergegas menuju kantin. Langkahnya tergesa, berharap bisa segera menemui Nathan dan menjelaskan semuanya. Dari kejauhan, ia bisa melihat sosok sahabatnya itu duduk menyendiri di sudut kantin, tempat favorit mereka sejak kelas satu.
Suasana kantin yang riuh dengan celotehan dan tawa siswa lain terasa begitu kontras dengan keheningan yang menyelimuti meja Nathan. Rachel menarik kursi di hadapannya, jantungnya berdegup kencang memikirkan kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan.
"Nat..." sapanya pelan, mencoba tersenyum meski getir. Nathan tetap bergeming, tangannya fokus menyuap nasi dari kotak bekalnya. Tak ada sedikitpun tanda ia menyadari kehadiran Rachel.
"Lo marah ya sama gue gara-gara tadi nolongin Rajaesh?" Rachel memberanikan diri bertanya. Jemarinya gelisah memainkan ujung blazer seragamnya, kebiasaan yang selalu muncul saat ia merasa cemas. "Gue minta maaf deh. Gue... gue cuma nggak tega liat dia babak belur gitu."
Hening. Nathan masih tenggelam dalam dunianya sendiri, seolah Rachel hanyalah angin lalu.
"Nat, please ngomong dong," suara Rachel mulai bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca melihat sikap dingin sahabatnya. "Sumpah, gue cuma nggak suka ada perundungan di sekolah. Bukan karena apa-apa. Lo tau kan gue gimana? Gue selalu begini dari dulu, nggak cuma ke Rajaesh..."
Rachel terdiam sejenak, mengamati ekspresi Nathan yang masih tak terbaca. Di sekelilingnya, siswa-siswa lain berlalu lalang, tertawa dan mengobrol, tak menyadari drama kecil yang sedang berlangsung di sudut kantin ini.
"Nat..." Rachel mencoba sekali lagi, suaranya nyaris berbisik. "Gue mohon ngomong sesuatu. Apa aja. Gue nggak suka liat lo marah begini..."
Nathan akhirnya mengangkat wajahnya, tapi bukan untuk menatap Rachel. Dengan gerakan pelan namun tegas, ia menutup kotak bekalnya dan membereskan barang-barangnya. Rachel bisa melihat rahang Nathan mengeras, pertanda ia sedang menahan emosi.
"Nanti pulang sendiri aja," ucap Nathan akhirnya, suaranya datar dan dingin. "Gue ada urusan."
Tanpa menunggu respons Rachel, Nathan beranjak dari kursinya. Rachel hanya bisa menatap punggung sahabatnya yang menjauh, tenggelam di antara kerumunan siswa lain. Air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya jatuh perlahan.
Gadis itu menunduk, membiarkan rambutnya jatuh menutupi wajah agar tak ada yang melihat kesedihannya. Entah mengapa, kemarahan Nathan kali ini terasa berbeda. Lebih dalam, dan lebih menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories Rajaesh 2010 (ON GOING)
FanfictionCinta sering kali seperti labirin, kita terjebak dalam perasaan yang saling bertentangan, berusaha menemukan jalan keluar, tetapi semakin dalam kita masuk, semakin sulit untuk kembali. Seperti yang dialami Rajaesh Kavindra terhadap Rachel Natalia...