Nathan tersenyum bahagia, sinar kebahagiaan terpancar jelas dari wajahnya. Dalam momen yang penuh haru itu, dia langsung memeluk Ayyara dengan erat di hadapan semua tamu. Mata Ayyara berbinar, berkaca-kaca menahan haru, tetapi senyuman lebar yang menghiasi wajahnya tak bisa disembunyikan. Suasana seketika dipenuhi dengan tepuk tangan meriah dari para tamu yang merayakan kebahagiaan pasangan baru itu. Keceriaan di ruangan itu seolah meluap, menggema dalam tawa dan sorakan yang tak henti-hentinya.
"Ja, gue pulang duluan," ucap Rachel, suaranya lembut, namun terputus oleh keramaian. Dia segera mengambil tasnya, berusaha menghindari tatapan orang-orang di sekelilingnya, lalu melangkah pergi, meninggalkan kerumunan yang masih larut dalam kegembiraan. Langkahnya terasa berat, seolah ada beban yang mengganjal di hatinya.
Rajaesh, yang melihat Rachel menjauh, segera berlari mengejarnya. Dia menarik lembut tangan Rachel, memaksa mereka saling bertatap muka. Namun, tatapan Rajaesh terkejut ketika dia melihat air mata mengalir di pipi Rachel. Merasa cemas, dia berusaha memahami apa yang terjadi. "Rachel, lo kenapa?" tanya Rajaesh, nada khawatir menghiasi suaranya.
Rachel hanya menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan perasaannya. Dia melepaskan genggaman tangan Rajaesh dan melanjutkan langkahnya, tidak menghiraukan pertanyaannya. Rajaesh yang penasaran tak bisa tinggal diam, segera mengejar Rachel menggunakan motornya. Dia menghentikan kendaraannya tepat di depan Rachel, menghalangi jalannya. "Lo kenapa? Jawab gue!" desak Rajaesh, suaranya lebih tegas, namun masih menyimpan nada lembut.
Rachel terdiam, air mata yang ditahannya kini tak tertahan lagi. Dia menangis terisak-isak di depan Rajaesh, membuatnya bingung dan cemas. Dengan lembut, dia menepuk bahu Rachel, berusaha menenangkan tangisannya yang semakin menjadi. "Lo kenapa, Ra?" tanya Rajaesh, suaranya kini lebih lembut, penuh empati.
"Gue... Gue cinta sama Nathan," ujar Rachel, suaranya pecah oleh isak tangis yang tak tertahankan. Kata-kata itu meluncur keluar, seolah beban yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalan untuk keluar.
Mendengar pengakuan itu, Rajaesh tertegun. Wajahnya seketika murung, tak bisa berkata-kata. Rasa cemas bercampur dengan rasa sakit menyelimuti hatinya. Dia hanya bisa menatap Rachel yang kini terisak di hadapannya. Dengan lembut, Rajaesh menyeka air mata Rachel, mengusap perlahan punggungnya, berusaha memberikan kenyamanan di tengah kesedihan yang menyelimuti hati sahabatnya.
Sudah lama dia menduga bahwa Rachel menyimpan perasaan untuk Nathan, dan kini, dugaan itu terbukti benar. Dalam pikirannya, Rajaesh merasa bingung. Di satu sisi, dia ingin mendukung Rachel, tetapi di sisi lain, hatinya merasakan sakit yang dalam. Dia tahu betapa berartinya Nathan bagi Rachel, tetapi dia juga tidak bisa menahan rasa sakit ketika menyadari bahwa dia tidak bisa menjadi orang yang dicintai olehnya.
"Lo harusnya dari dulu bilang sama dia, Ra. Jangan simpan perasaan ini sendirian," kata Rajaesh, berusaha memberikan dorongan meskipun hatinya bergetar oleh rasa cemburu yang tak tertahan. "Dia mungkin juga suka sama lo."
Rachel menggeleng, air mata masih membasahi pipinya. "Tapi, dia sudah pilih Ayyara. Gue nggak mau jadi penghalang di antara mereka. Dia bahagia, dan itu yang terpenting," jawabnya, suaranya penuh dengan kesedihan dan pengertian yang mendalam.
♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛
Rachel mengurung dirinya di dalam kamar selama beberapa hari, memeluk erat foto Nathan dan dirinya yang tersimpan dalam bingkai kayu. Air mata mengalir deras di pipinya, merasakan sesak yang luar biasa setiap kali ingat akan kata-kata Nathan yang mengungkapkan perasaannya kepada Ayyara. "Gue salah berharap sama Nathan. Apa sih yang gue harapin dari dia?" gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Gue kangen habisin waktu berdua sama lo di sekolah. Sampai saat ini, belum ada yang bisa gantiin lo di hati gue, Nat. Gue cemburu, tapi gue nggak punya hak."
Dalam keheningan yang menyelimuti, Rachel terbenam dalam pikirannya sendiri, terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Setiap detik terasa seperti selamanya, dan rasa sakit itu seolah tak akan pernah pudar. Namun, tiba-tiba, suara ketukan lembut di pintu mengganggu lamunannya. Ia mengusap air mata yang masih tersisa dan membuka pintu, menemukan Rajaesh berdiri di sana dengan dua plastik makanan di tangannya.
"Ra, sorry gue main masuk aja soalnya pintu luar nggak dikunci," ucap Rajaesh, menghela napas panjang saat melihat keadaan kamar Rachel yang berantakan. Foto-foto Nathan berserakan di mana-mana, menciptakan suasana yang penuh kesedihan.
Rachel hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Rajaesh melangkah masuk dan duduk di tepi kasur, menatap Rachel dengan penuh perhatian. "Ra, masih nangisin Nathan? Mau sampai kapan? Jangan berharap lagi sama dia. Belajar untuk mencintai orang lain," katanya, suaranya lembut namun tegas.
Rachel menunduk, merasakan beban di dadanya semakin berat. Dia tidak menjawab, hanya menggeleng pelan. Air mata kembali mengalir, dan tanpa bisa ditahan, ia menangis lagi di hadapan Rajaesh. Suara isak tangisnya memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang penuh kesedihan.
Rajaesh merasa hatinya teriris melihat Rachel dalam keadaan seperti itu. "Ra, jangan nangis. Jadi, gue harus apa biar lo nggak nangis lagi?" tanyanya, suaranya penuh keprihatinan. "Mau gue pat-pat biar lo tenang? Mau gue peluk? Atau mau gue beliin novel baru? Atau mungkin snack favorit lo? Ngomong aja, semua bakal gue turutin. Asal lo mau lupain Nathan."
Rachel hanya bisa terisak, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Dia merasa terjebak dalam lautan kesedihan, dan semua yang bisa dilakukannya hanyalah menangis. Rajaesh mengulurkan tangannya, merangkul Rachel dengan lembut, berusaha memberikan kenyamanan yang dia butuhkan.
"Gue di sini, Ra. Lo nggak sendirian," bisiknya, berusaha menenangkannya.
Rachel merasakan kehangatan dari pelukan Rajaesh, dan meskipun hatinya masih terasa hancur, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Dalam pelukan Rajaesh, dia menemukan sedikit ketenangan di tengah badai emosinya. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk berusaha, meskipun saat ini semua terasa sangat sulit.
Suasana di ruangan itu tiba-tiba terpecah oleh bunyi notifikasi pesan yang datang dari ponsel Rajaesh. Ia meraih ponselnya dan membaca pesan dari mamanya yang kini tinggal di Australia.
"Ja, mama kangen kamu. Mama lusa pulang ke Indonesia, tapi keluarga mama juga ikut. Gapapa kan? Mereka mau ketemu kamu."
Rajaesh merasakan hatinya tertekan saat membaca kalimat itu. Ia menundukkan wajahnya, seolah ingin menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba melanda. "Keluarga mama," pikirnya, dan rasa tidak senang itu kembali muncul. Ia tidak pernah merasa nyaman dengan istilah itu, mengingat betapa sulitnya ia menerima kenyataan bahwa keluarganya telah terpecah.
Rachel, yang memperhatikan perubahan ekspresi Rajaesh, segera bertanya dengan nada khawatir, "Ja, kenapa?"
"Mama gue lusa pulang ke Indonesia," jawab Rajaesh, suaranya pelan dan penuh beban.
"Bagus dong," Rachel mencoba memberikan semangat, berharap bisa mengangkat suasana hati sahabatnya.
"Tapi dia bawa keluarga barunya," kata Rajaesh, nada suaranya berubah, mencerminkan kepedihan yang mendalam.
"Oh gitu," Rachel menjawab, berusaha menenangkan. "Jangan marah ya, Ja. Mama lo juga berhak bahagia. Keluarga mama lo kan keluarga lo juga."
"Nyesek, Ra," Rajaesh menghela napas panjang, seolah mengeluarkan semua rasa sakit yang terpendam di dalam dirinya.
"Maaf, gue cuma mau lo ngerasain kasih sayang keluarga. Lo beruntung," Rachel berkata, menatap sahabatnya dengan penuh empati, berusaha menyampaikan rasa pedulinya.
Rajaesh menatap dalam-dalam ke mata Rachel, dan dalam hati ia bergumam, "Ra, lo lebih menderita dari gue. Gue nggak kebayang hidup sebatang kara kayak lo. Terima kasih udah lahir, gue sayang lo."
Rajaesh mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap langit yang mulai gelap. Awan-awan kelabu menggantung rendah, seolah mencerminkan suasana hatinya yang kelabu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories Rajaesh 2010 (ON GOING)
FanfictionCinta sering kali seperti labirin, kita terjebak dalam perasaan yang saling bertentangan, berusaha menemukan jalan keluar, tetapi semakin dalam kita masuk, semakin sulit untuk kembali. Seperti yang dialami Rajaesh Kavindra terhadap Rachel Natalia...