19. Di balik sorai-sorai

3 0 0
                                    


Rajaesh menatap layar ponselnya, membaca pesan yang baru saja masuk ke grup kelas. Suara notifikasi itu mengingatkannya akan pertandingan sepak bola yang akan berlangsung hari ini. "Jangan lupa ya, teman-teman, hari ini libur karna ada pertandingan sepak bola kelas kita lawan XI IPS 1. Dimohon untuk peserta membawa peralatan yang sudah disiapkan kemarin. Buat Rajaesh dan Nathan, dimohon kerja samanya, jangan berantem," tulis pesan itu.

Setelah menutup ponselnya, Rajaesh merasakan semangat yang menggebu. Namun, sebelum ia sempat merenungkan strategi permainan, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari Rachel muncul di layar.

"Pagi, Rajaesh! Semangat tanding sepak bolanya!" sapa Rachel dengan suara ceria.

"Terima kasih! Eh, lu udah masuk sekolah hari ini?" tanya Rajaesh, penasaran.

"Iya, kenapa?" jawab Rachel.

"siap-siap gue otw. Kita berangkat bareng."

"Oh yaudah, boleh."

Dengan langkah cepat, Rajaesh menghampiri rumah Rachel. Ia melihat Rachel sudah menunggu di depan rumahnya, wajahnya ceria dan penuh semangat.

"Yuk, kita berangkat!" seru Rachel, melambaikan tangan.

Mereka melaju menuju sekolah, angin pagi menyapu wajah mereka, membawa semangat yang membara. Di perjalanan, mereka berbincang tentang strategi permainan dan harapan untuk menang.

"Eh, lu udah siap mental buat tanding? Jangan sampai grogi ya!" Rachel menggoda, senyumnya lebar.

"Tenang aja, gue udah siap," jawab Rajaesh sambil tersenyum, merasakan kepercayaan diri mengalir dalam dirinya.

♡⃛◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞⸜₍ ˍ́˱˲ˍ̀ ₎⸝◟( ˊ̱˂˃ˋ̱ )◞♡⃛

Sesampainya di sekolah, suasana sudah ramai. Teman-teman sekelasnya berkumpul di lapangan, bersiap untuk pertandingan. Rajaesh langsung bergabung dengan mereka, merasakan getaran semangat yang mengalir di udara.

Rajaesh berdiri di pinggir lapangan, merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Suasana di sekitar dipenuhi tawa dan sorakan, tetapi ada yang aneh dengan Nathan. Rajaesh merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Rajaesh! Ayo, kita pemanasan!" teriak salah satu temannya.

"Yoi!" jawab Rajaesh sambil bergabung dengan yang lain. Ia melakukan peregangan, berharap semua berjalan lancar.

Setelah pemanasan selesai, wasit memanggil kedua tim untuk berkumpul. Rajaesh berdiri di barisan depan, semangatnya membara. "Ingat, kita harus kompak! Jangan kasih mereka kesempatan!" seru kapten tim.

Pertandingan pun dimulai. Rajaesh berlari ke arah bola, berusaha merebutnya dari lawan. Permainan berlangsung sengit, dan Rajaesh berusaha sekuat tenaga.

Di tengah pertandingan, saat Rajaesh menggiring bola dengan cepat, Nathan tiba-tiba melangkah ke arahnya dan menendang kakinya dengan keras.

"Argh!" Rajaesh terjatuh ke tanah, merasakan sakit yang tajam. Teman-teman di sekelilingnya langsung terhenti, dan suasana yang sebelumnya penuh semangat berubah menjadi cemas.

"Rajaesh! Lo gapapa?" teriak Rachel, berlari mendekat.

Nathan menghampiri Rajaesh, tetapi wajahnya tidak menunjukkan penyesalan. "Eh, Sorry, Ja! Gue nggak sengaja!" katanya, tetapi nada suaranya terdengar tidak tulus.

Rajaesh berusaha bangkit, tetapi rasa sakit di kakinya membuatnya kesulitan. "Kaki gue... sakit banget," jawabnya dengan suara lemah, berusaha menahan rasa sakit.

"Lo sengaja, kan?" tanya Rajaesh, menatap Nathan dengan tajam. "Lo pengen bikin gue jatuh!"

Nathan tersenyum sinis. "Gue nggak sengaja. Mungkin lo yang kurang hati-hati," jawabnya, nada suaranya mengejek.

"Kurang hati-hati? Lo yang nendang gue!" balas Rajaesh, marah. "Lo pikir pertandingan ini cuma permainan? Ini serius!"

"Serius? Ini cuma pertandingan! Lo terlalu baper!" Nathan menjawab, tidak mau kalah.

"Baper? Lo yang bikin gue jatuh! Lo pikir ini lucu?" Rajaesh berdiri dengan susah payah, berusaha menahan rasa sakit dan kemarahan.

"Ini cuma sepak bola, jangan terlalu dramatis!" Nathan menjawab, masih dengan nada mengejek.

"Lo harusnya bisa lebih hati-hati, Nathan!" Rachel menegur, berbalik ke arah Nathan yang masih merayakan kemenangan. "Lo nggak bisa main kasar kayak gitu!"

Nathan mengangkat bahu, tampak acuh. "Gue cuma main bola, Rachel. Rajaesh harusnya bisa lebih hati hati."

"Lo nggak ngerti apa yang lo lakuin!" Rachel membalas, suaranya meninggi. "Lo bikin dia jatuh dan sekarang dia harus menderita karena kelakuan lo!"

Nathan mendengus. "Ya udah, kalau lo mau marah, silakan. Tapi jangan harap gue peduli. Ini cuma permainan."

"Lo udah melanggar batas. Lo selalu pengen jadi yang terbaik, tapi lo lupa cara main yang benar!" balas Rajaesh, tidak bisa menahan emosinya.

"Jadi lo mau bilang gue egois? Lo yang egois, Rajaesh! Lo selalu cari perhatian!" Nathan membalas, wajahnya merah karena marah.

"Cukup!" teriak kapten tim, berusaha melerai. "Kalian berdua sama-sama salah! Ini bukan saatnya bertengkar. Rajaesh butuh istirahat, dan Nathan, lo harus minta maaf!"

Nathan menatap dengan sinis. "Minta maaf? Kenapa gue harus minta maaf? Dia yang baperan!"

Rajaesh menatap Nathan dengan penuh kebencian. "Gue nggak mau berurusan sama lo lagi. Lo bisa bangga dengan cara lo yang kasar itu!"

Nathan membalas tatapan Rajaesh dengan dingin. "Fine! Gue juga nggak butuh lo di tim ini!"

Setelah itu, Rajaesh berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Nathan dan Rachel di belakang. Ia merasa marah dan sakit, tetapi juga merasa lega bisa mengungkapkan perasaannya.

Setelah perdebatan yang memanas, Rajaesh merasa hatinya hancur. Ia berbalik dan berjalan menjauh dari kerumunan, mencari tempat yang tenang untuk merenung. Di pinggir lapangan, ia duduk di bangku, menatap teman-temannya yang bersiap untuk melanjutkan pertandingan.

Sementara itu, di lapangan, Nathan dan timnya bersiap untuk memulai kembali permainan. "Ayo, kita tunjukin siapa yang sebenarnya kuat!" teriak Nathan, berusaha membangkitkan semangat timnya. "Kita bisa menang tanpa Rajaesh!"

Pertandingan dilanjutkan, dan Rajaesh hanya bisa menonton dari bangku. Ia merasa terasing, melihat teman-temannya berlari dan berjuang di lapangan. Setiap kali Nathan menguasai bola, Rajaesh merasakan kemarahan dan kekecewaan yang mendalam.

Di lapangan, Nathan menunjukkan kemampuannya, menggiring bola dengan lincah dan mencetak gol dengan mudah. Sorakan dari teman-temannya membuatnya semakin percaya diri. "Lihat? Tanpa Rajaesh, kita tetap bisa menang!" teriak Nathan, mengangkat tangannya ke udara.

Setelah pertandingan berakhir, Ayyara berlari menghampiri Nathan dengan senyuman lebar di wajahnya. "Kamu luar biasa, Nathan! Mereka bisa menang karna kamu!" serunya, mengangkat sapu tangan dan minuman dingin yang ia bawa. Ia mengibaskan sapu tangan itu dengan penuh semangat, seolah merayakan kemenangan mereka.

Nathan, yang merasa bangga, menerima minuman dingin dari Ayyara dan tersenyum lebar. "Terima kasih, Ayyara! Kalau bukan karna dukungan kamu, aku gak akan bisa bermain sebaik ini," jawabnya, merasa senang dengan perhatian yang diberikan.

Ayyara melangkah lebih dekat, dan mereka berdua terlihat mesra di tengah kerumunan. Ia menatap Nathan dengan penuh kekaguman, sementara Nathan membalas tatapannya dengan senyuman yang penuh percaya diri.

Di sisi lain lapangan, Rachel berdiri terpaku, menatap pemandangan itu dengan hati yang teriris. Melihat Nathan dan Ayyara berinteraksi dengan begitu akrab membuatnya merasa sakit. "Kenapa semuanya harus seperti ini?" pikirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia merasa seolah-olah semua harapannya hancur dalam sekejap.

Rachel menoleh ke arah Rajaesh, yang duduk di bangku seberang lapangan. Wajahnya muram, dan ia tampak sangat terpukul. "Dia pasti masih marah" pikir Rachel, merasakan empati yang mendalam.

Memories Rajaesh 2010 (ON GOING) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang