Chapter XXII " Perpisahan "

9 3 4
                                    

Pagi itu, istana kerajaan dihiasi langit kelabu yang tampak seakan menyatu dengan suasana tegang di dalamnya. Di aula besar yang biasanya menjadi tempat perayaan atau pertemuan kerajaan, berdiri seorang bangsawan tua dengan aura kekuasaan yang dingin. Tatapan angkuhnya terarah kepada seorang pria yang duduk di atas singgasana - Raja Amarath, penguasa yang terkenal akan kebijaksanaannya. Di wajah Vincenz, kepala keluarga Count yang merupakan keluarga bangsawan paling berpengaruh di kerajaan, tak terlihat sedikit pun rasa hormat.

Raja Amarath berusaha mempertahankan ketenangannya, tetapi amarah tampak mulai merayap. "Apa lagi yang kau inginkan, Tuan Vincenz?" tanyanya dengan suara yang bergetar menahan emosi. "Semua permintaanmu sudah aku penuhi. Apa kau masih belum puas?"

Vincenz tersenyum tipis, lalu menggeleng dengan penuh kesombongan. "Ah, Raja Amarath," ia mengejek, "kau pikir semua permintaanku yang kecil itu cukup untukmu?" Ia tertawa rendah. "Masih ada satu hal yang perlu kau lakukan."

Raja Amarath menajamkan pandangannya. "Katakan. Apa lagi yang kau inginkan?"

Vincenz melipat tangannya di depan dada, menatap Raja Amarath dengan mata dingin. "Berikan izinku untuk menjalankan proyekku. Maka, mungkin aku akan membiarkanmu tetap duduk di singgasanamu." Suaranya rendah, penuh ancaman. "Atau... kau bisa memilih untuk menyerahkan jabatanmu sekarang juga."

Raja Amarath menatap Vincenz dengan marah. "Aku tidak akan pernah menyetujui proyek gilamu itu!" serunya. "Kau ingin menciptakan mesin-mesin yang mampu menampung kekuatan sihir, memiliki kesadaran, dan digunakan seperti boneka tanpa jiwa? Itu melanggar semua aturan dan prinsip kehidupan! Itu tidak hanya bahaya bagi kerajaan, tapi juga dunia ini!"

Vincenz mendengus dan tersenyum sinis. "Kau ini terlalu lemah dan takut mengambil risiko, Amarath," ujarnya. "Kerajaan membutuhkan pemimpin yang berani untuk melangkah maju."

Amarath menatapnya dengan penuh kemarahan. "Berani? Kau pikir menakut-nakuti dan menghancurkan kehidupan orang-orang itu keberanian?" Ia menghela napas berat. "Aku tidak akan membiarkanmu menjadikan kerajaan ini alat untuk ambisi gilamu, Vincenz."

Senyum di wajah Vincenz berubah menjadi dingin. Ia melambaikan tangannya, dan dari belakangnya, seorang pria melangkah maju. Raja Amarath menatap pria itu dan matanya terbelalak.

"Hogland!" serunya, penuh keterkejutan dan kekecewaan. Pria itu adalah keponakannya sendiri, yang selama ini ia percayai sebagai salah satu panglima kerajaan. "Mengapa kau ada di pihaknya? Mengapa kau mengkhianatiku, Hogland?"

Hogland hanya menyeringai, melangkah mendekati Raja Amarath. "Paman," katanya dengan suara rendah, "kau sudah terlalu tua untuk memimpin kerajaan ini. Biarkan aku mengambil alih. Dengan begitu, aku bisa membawa kerajaan ini ke arah yang lebih... modern." Matanya menyiratkan ambisi yang gelap.

Amarath merasakan hatinya hancur. Ia menatap keponakannya itu dengan penuh kebencian dan rasa sakit. "Aku mempercayaimu, Hogland," katanya pelan. "Aku membesarkanmu seolah kau adalah putraku sendiri. Dan ini balasanmu?"

Hogland tertawa rendah, lalu melambaikan tangan pada para pengawal yang berdiri di sekitar ruangan. "Tangkap orang tua ini," perintahnya dengan dingin, "dan bawakan mahkota yang ada di kepalanya padaku."

Para pengawal saling berpandangan, ragu-ragu sejenak. Tetapi satu per satu mereka maju, mengangkat senjata untuk mengikuti perintah baru mereka. Raja Amarath menghela napas panjang, menatap para pengawalnya yang bergerak mendekat.

"Tunggu saja, Hogland," katanya dengan suara rendah tetapi tegas. "Suatu hari nanti, kau akan menerima balasannya. Hukum alam tak pernah luput dari keadilan."

Namun, Hogland hanya tertawa sinis, mengangkat mahkota dari kepala Raja Amarath. "Kalau begitu, Paman, aku tunggu balasan yang kau sebutkan itu," katanya penuh ejekan. "Dan selamat menikmati pengasinganmu."

𝙹•𝙼𝙰𝚇 𝚁𝙴-𝚅𝙾𝙻𝚄𝚃𝙸𝙾𝙽Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang