Chapter III " Perbedaan "

12 4 2
                                    

Kelas A, tempat para murid terhebat, bersinar dalam kemewahan yang seolah-olah setiap sudutnya dipenuhi oleh aura kemenangan. Dinding-dindingnya berkilau dengan lambang-lambang kejayaan, dan jendela-jendela besar menyaring cahaya matahari dengan sempurna, membuat ruangan itu tampak seperti istana sihir yang agung. Setiap murid di kelas ini bukan hanya percaya diri—mereka tahu bahwa mereka tak tertandingi.

Di tengah kelas, Leon berdiri dengan mantap. Dia sedang menunjukkan sebuah mantra tingkat tinggi, tangan-tangannya bergerak dengan presisi yang sempurna. Di depannya, sebuah ilusi naga raksasa muncul, kepak sayapnya memancarkan kilauan cahaya keemasan yang menerangi seluruh ruangan. Celia berdiri di sampingnya, mengawasi dengan senyum bangga. “Kau melakukannya, Leon,” katanya dengan suara lembut namun penuh kekaguman. “Kita akan menaklukkan dunia dengan ini.”

" Cih membosankan " Gerutu veiz dengan suara kecil.

Guru mereka, Nona Eliza, hanya tersenyum tipis. Tatapannya penuh kebanggaan namun dingin, seolah dia tahu bahwa Kelas A akan selalu berada di atas—mereka lah para pemenang sejati, ditakdirkan untuk berdiri di puncak. “Teruskan,” katanya perlahan, suaranya seperti angin sejuk yang menyejukkan. “Kalian masih memiliki potensi yang belum kalian lihat. Dunia akan berlutut di hadapan kalian.”

Tidak ada tekanan di sini, hanya kekuasaan yang sudah ditakdirkan. Tawa mereka bukan tawa ringan, melainkan tawa kemenangan, seolah-olah tak ada yang bisa menghentikan mereka.

Kelas B, tempat di mana ambisi dan mimpi beradu, dipenuhi dengan ketegangan yang berbeda. Ruangan ini terasa seperti arena pertempuran. Sorak-sorai para murid terdengar setiap kali mantra dilepaskan dengan kekuatan penuh, dan dinding ruangan menggema dengan suara benturan energi sihir. Tidak ada waktu untuk istirahat—ini adalah tempat di mana kegagalan bukan pilihan, dan kemenangan adalah satu-satunya tujuan.

“Lyra! Berikan semua yang kau punya!” teriak seorang murid di barisan belakang. Di tengah ruangan, Lyra berdiri berhadapan dengan Ken, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya bergetar dengan energi sihir yang hampir meledak. Matanya bersinar dengan tekad. Di hadapannya, Ken tersenyum tajam, siap untuk menghabisinya dengan satu gerakan terakhir.

Guru mereka, Tuan Voren, berdiri di sudut dengan tangan menyilang di dada. “Jangan mundur!” suaranya bergemuruh seperti petir, memantapkan atmosfer kelas yang penuh dengan persaingan. “Kemenangan hanya milik mereka yang siap kehilangan segalanya untuk mendapatkannya!”

Tiba-tiba, Lyra melemparkan mantranya, sebuah serangan cahaya biru yang menghempas Ken dengan kekuatan yang luar biasa. Kelas meledak dengan sorakan, dan Lyra tersenyum penuh kemenangan, meski keringat bercucuran di dahinya. Ia segera menghampiri ken dan berjabat tangan dengan lawannya tadi.

" Kau hebat ken "

" Kau juga lyra, besok besok aku tak akan kalah lagi darimu"

Di sini, kemenangan adalah segalanya—dan setiap kekalahan hanya membuat mereka lebih haus untuk menang.

Sementara itu, di Kelas C, ada keindahan yang berbeda—keindahan yang muncul dari kebebasan kreatif. Ruangan itu dipenuhi dengan warna-warna cerah yang tak terbayangkan, setiap sudut ruangan dipenuhi oleh kreasi sihir yang unik. Cahaya lembut dari kristal-kristal kecil melayang di udara, menerangi wajah para murid yang tenggelam dalam ciptaan-ciptaan mereka.

Miss Reina berdiri di tengah ruangan, matanya berbinar saat dia mengamati hasil kerja murid-muridnya. “Jangan takut untuk bermimpi lebih besar,” suaranya lembut namun penuh hasrat. “Di sini, sihir bukanlah tentang kekuatan, tapi tentang menciptakan keajaiban dari hal-hal yang paling sederhana.”

Di sudut kelas, Nadia sedang menciptakan sebuah patung es berbentuk naga yang tampak seperti keluar dari dongeng. Di dekatnya, seorang murid lain, Maren, membentuk bunga mawar dari api, yang berkedip lembut dengan warna merah dan oranye, menciptakan pemandangan yang memukau.

𝙹•𝙼𝙰𝚇 𝚁𝙴-𝚅𝙾𝙻𝚄𝚃𝙸𝙾𝙽Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang