Pagi berikutnya tidak terlalu panas, tetapi matahari sudah bersinar sangat terik. Clarence merasa bahwa rumah akan menjadi cerah jika disinari cahaya alami dari matahari. Clarence masuk ke kamar Brietta, yang masih terbaring di kasur. Clarence membuka gorden jendela kamar Brietta. Berkas sinar matahari yang hangat dan terang masuk menyinari kamar Brietta melalui jendelanya. Brietta tersadar, mengeluh dalam gumaman teredam, dan menghalau cahaya dengan tangan untuk menutupi wajahnya.
"Wakey, wakey, Brietta. Kau mau mencuci baju hari ini?" tanya Clarence.
"Ya, nanti. Silau sekali!"
Clarence tertawa melihat adiknya. "Aku sudah simpan keranjang bajuku di depan pintu kamar. Aku juga sudah membuatkan roti panggang, telur dadar, dan sosis untuk sarapan."
"Terima kasih, Kak Clarence!"
"Oh, ya, ada alpukat tumbuk, prosciutto asap, dan salmon asap juga untuk topping rotimu," imbuh Clarence.
"Apakah madu masih ada?" tanya Brietta asal.
"Masih. Ada di meja makan."
Clarence berjalan keluar kamar Brietta. Brietta pun terduduk di kasurnya, lalu menguap dan meregangkan badan. Ia akan sarapan terlebih dahulu sebelum mencuci baju.
Brietta sampai dan duduk di kursi ruang makan. Paul menyusul ke ruang makan dan duduk di hadapan Brietta. Di dapur yang seruangan dengan tempat makan, Clarence membereskan peralatan memasak, ia sudah sarapan terlebih dahulu.
Setelah mengoles roti panggang dengan alpukat, Brietta meletakkan prosciutto asap di atasnya sementara Paul memilih untuk mengambil salmon asap. Brietta mengambil stoples madu, membuka tutupnya, dan ke rotinya, menambahkan madu yang berputar-putar pada sendok madu.
"Ew!" Paul bergidik dan mengernyitkan dahinya. "Mengapa kau menambahkan madu di roti alpukatmu?"
"Madu bisa menjadi saus atau bumbu untuk masakan gurih," debat Brietta. "Tanya saja Kak Clarence."
"Ya, bisa. Faktanya, kami sedang merancang saus sambal madu untuk menu makanan restoran," jelas Clarence. "Manisnya madu bisa mengimbangi rasa gurih."
"Oke. Aku percaya saja," ujar Paul.
Brietta pun mengambil tempat garam dan merica lalu membubuhkan keduanya ke rotinya sehingga rasanya akan lebih mudah diterima oleh papila lidahnya.
"Oh, omong-omong, Brietta," Clarence berkata setelah membilas wajan teflon, "Ayah dan Ibu akan pulang besok. Besok ulang tahunmu, makanya mereka mau pulang."
Mulut Brietta menganga. "Duh! Aku hampir lupa ulang tahunku sendiri. Aku terlalu sibuk bekerja." Begitu kata Brietta.
"Oh? Aku sibuk nge-band dan kuliah dan masih bisa ingat kapan ulang tahunku," celetuk Paul.
"Shut up!"
"Sudah, sudah. Paul? Kau mau bajumu dicucikan atau tidak?" tanya Clarence.
Paul menghela napas. "Haaah. Aku ada tugas kuliah." Lalu, Paul menatap Brietta dengan rupa sok memelas. "Jadi, boleh tolong cucikan bajuku, Kak Brie?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heroic, New York's Simpleton
Chick-LitSelama ini, Brietta Norman tinggal di Kota New York bersama kedua saudara laki-lakinya sebagaimana seharusnya dia tinggal di kota yang tidak pernah tidur itu. Bekerja keras, bekerja cepat, dan bekerja dalam gemerlapnya metropolis, itu adalah tawaran...