Bab 5 - Saudara | 𝘚𝘪𝘣𝘭𝘪𝘯𝘨𝘴

84 55 4
                                    

Clarence Norman hanya bisa memeluk adik perempuannya yang menangis tersedu karena baru saja disergap penjahat untuk menghiburnya. Setelah Brietta sudah cukup tenang karena menangis sepulang kerja, Clarence meminta Brietta untuk ke kamar tidurnya. Lima menit kemudian, Clarence mengetuk pintu kamar Brietta dan masuk ke dalam kamarnya.

"Ingin beristirahat?" Clarence bertanya. Di tangannya, ada segelas coklat panas yang Clarence buat.

"Ya, tapi nanti saja," kata Brietta yang duduk di pinggir kasur. Brietta mengusap bekas tangisan di area sekitar matanya. Brietta telah berganti baju dari pakaian formal kantor ke baju tidurnya.

"Boleh aku duduk di sebelahmu? Aku punya coklat panas juga untukmu."

"Silakan." Brietta menunjuk samping kanannya untuk tempat Clarence duduk. Clarence pun duduk lalu memberikan gelasnya kepada Brietta. Brietta menerimanya dan menyeruput sedikit minumannya. Brietta bisa merasakan rasa minuman coklatnya yang enak meskipun baru mencicipi sedikit. Bagaimanapun, Clarence adalah seorang koki.

"Nanti, bagaimana kalau aku menjemputmu pulang dari tempat kerjamu? Supaya kau ditemani?" tawar Clarence, yang sudah tahu cerita kejadiannya, kepada Brietta. Clarence pulang dari restoran biasanya juga pada kisaran pukul 5 sore kalau tidak ada shift lanjutan sampai malam. Kalaupun ada, Clarence bisa meminta izin keluar.

"Aku sudah tidak apa-apa, Kak Clarence. Begini-begini, aku bisa melawan penjahat, kok."

Clarence hanya mengangguk. "Baiklah. Kalau saranku, kau bisa minta bantuan teman kerjamu untuk berjalan bersama ke stasiun kereta bawah tanah agar kau tidak sendirian. Mungkin kau bisa minta temanmu yang menolongmu tadi untuk menemani."

"Temanku yang tadi itu, dia tinggal di Westchester," kata Brietta. "Dia bisa jadi lebih sering menggunakan transportasi umum lain untuk pulang dari biro ke Westchester. Sementara itu, teman-temanku yang lain masih tinggal di sekitar Manhattan, yang dekat dari biro."

"Ya tidak apa-apa kalau kau mau memintanya mengantarmu ke stasiun. Mengantarmu saja. Setelah kau pulang naik kereta, dia bisa pergi lagi untuk naik kereta yang berbeda jurusan atau alat transportasi lain."

Brietta menoleh ke kanan untuk melihat Clarence dan menatap mata Clarence. Brietta ingin tahu bagaimana ekspresi wajah Clarence sekarang. "Dia seorang pria."

Clarence mencoba berkata sedatar mungkin, "Ya sudah. Bukankah lebih baik kalau kau dekat-dekat dengan seorang teman pria? Terutama teman priamu yang itu? Yang menolongmu?"

Brietta mengamati kakaknya yang mengangkat-angkat kedua alisnya, seperti memberi suatu isyarat. Brietta mendesah lalu mengelak, "Kakak ini bagaimana? Biasanya, kakak laki-laki yang protektif ke adik perempuannya jika sedang dekat dengan seorang pria. Mengapa Kakak malah memintaku mendekati seorang pria?"

"Lho? Aku memintamu mendekati teman priamu itu supaya kau aman," lawan Clarence. "Kalau begitu, ketahuan, bukan, kalau kamu sepertinya tertarik pada teman pria yang menolongmu?"

Brietta menggeleng. "Dia masih karyawan baru. Lebih muda dariku juga."

"Lalu? Kenapa?"

Brietta memalingkan pandangan dari Clarence sambil memberengut sehingga penglihatannya lurus ke arah depan lagi. "Dia ... biasa saja, terlihat culun malah. Dia juga imigran dari Jepang, orang Jepang."

"Lalu? Kenapa?" ulang Clarence.

Brietta mendesah lagi lalu mendorong bagian pundak kakaknya. "Sudahlah! Kenapa Kak Clarence jadi mengalihkan pembicaraan? Kalau Kakak sudah merasa cukup untuk menghiburku, sebaiknya Kakak keluar dari kamarku. Aku juga perlu istirahat."

"Oke, oke. Kau ini jarang menunjukkan ketertarikan ke lawan jenis, sih. Aku sampai curiga." Clarence berdiri dari kasur Brietta. "Jangan lupa habiskan coklat panasmu dan tolong bawa gelasnya ke dapur kalau sudah habis," kata Clarence menunjuk gelas berisi coklat panas yang masih dipegang Brietta.

My Heroic, New York's SimpletonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang