Brietta menyimpan baik-baik kalung mutiara hadiah ulang tahun dari ayah dan ibunya dalam kotak yang ia letakkan di suatu sudut dalam laci kamarnya. Di hari Senin ini, Brietta sudah siap untuk berangkat bekerja. Ayah dan ibunya akan beristirahat di rumah sebelum mulai bekerja di penerbangan lagi. Brietta pergi ke ruang makan, tempat keluarganya sarapan. Sudah ada ayahnya, ibunya, dan Paul di meja makan. Clarence sendiri tengah beraksi di dapur.
Saat Brietta sudah duduk di meja makan, Clarence menyimpan wajan berisi shakshuka, lengkap dengan telurnya, di atas meja. "Silakan! Piring sudah di meja. Di tengah meja juga sudah ada roti dalam keranjang, terserah mau pakai sourdough atau pita, apa saja akan nikmat. Ambil, untuk masing-masing, satu telur."
"Hohoho! Masih panas," ujar Tuan Norman. "Terima kasih, Clarence."
"Sama-sama!"
Clarence ikut duduk di meja bundar, di antara Tuan Norman dan Brietta. Mereka mulai sarapan bersama. Brietta menyendok shakshuka dan telurnya ke atas selembar roti pita di piringnya. Brietta bisa melihat ayah dan ibunya yang memakai seiris roti sourdough. Clarence dan Paul memakai kedua jenis roti.
"Ibu, Ayah, besok teman-temanku akan kemari untuk mengerjakan tugas proyek kelompok," Paul mengumumkan.
"Oh, silakan. Selasa besok, ya?" kata Nyonya Norman. "Menyenangkan bisa bertemu teman-temanmu lagi. Sepertinya, aku harus menyiapkan sesuatu untuk dikonsumsi mahasiswa."
"Bu, kalau soal konsumsi, aku bisa mengatasinya," kata Clarence dari dapur.
"Ah, sudahlah, Clarence. Kau istirahat saja. Kau juga memasak untuk bekerja," balas Nyonya Norman.
"Cepat sekali mereka kembali ke rumah kita ini," kata Tuan Norman.
"Oh, yang ini berbeda, Yah. Yang kemarin teman-teman band-ku yang berbeda jurusan denganku."
"Begitu? Kau pasti punya banyak tugas kuliah di jurusanmu, ya, Paul?"
"Begitulah." Paul mengedikkan bahu.
Brietta telah menghabiskan sarapannya. "Aku sudah selesai," kata Brietta. "Aku akan langsung berangkat kerja setelah ini."
Brietta meminum segelas susu dan membereskan peralatan makannya.
"Baiklah. Hati-hati di jalan, Brietta," kata Nyonya Norman sesudah Brietta beres-beres.
"Ya," Brietta berpamitan kepada keluarganya. "Aku berangkat!"
***
Brietta sampai di biro dan pergi ke mejanya. Brietta melakukan hal rutin di meja kerjanya: mengeluarkan laptop, memastikan baterai laptopnya penuh, dan menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya kemudian. Ketika Brietta telah menyalakan laptopnya, seseorang datang ke mejanya.
"Selamat pagi, Brietta. Aku melihatmu datang tadi."
Brietta harus membiasakan diri menyambut Hiro datang ke meja kerjanya kapan pun, untuk apa pun alasannya. Brietta menoleh ke Hiro. "Selamat pagi, Hiro. Bagaimana kabarmu? Akankah kau sibuk hari ini?"
"Hmmm, tidak terlalu. Ada banyak poster yang harus dicetak hari ini, jadi aku menunggu alat pencetaknya panas dulu."
Brietta tersenyum. Brietta tidak mau memiliki praduga mengenai mengapa Hiro sering datang ke mejanya, tetapi Brietta tidak bisa menahan dirinya. Mungkin Brietta hanya dianggap seorang teman bagi Hiro. Mungkin Hiro memang amat ramah kepadanya.
"Ah, soal ulang tahunmu," Hiro berkata, "maaf, aku belum bisa memberi apa-apa untukmu. Mungkin suatu hari nanti."
"Eh, tidak apa-apa. Kau sudah mengucapkan selamat kemarin," balas Brietta. Brietta malu sendiri karena bisa-bisanya ia memberitahukan ulang tahunnya kepada Hiro sekenanya, yang mungkin malah memberatkan Hiro karena Hiro jadi merasa harus memberi hadiah untuk Brietta.
"Oh ya, ulang tahunku bulan depan nanti," ujar Hiro memberi tahu. "Rencananya memang akan ada pesta ulang tahun juga di rumahku—yah, rumah tempat aku dan para sepupuku tinggal."
"Benarkah?"
"Hanya makan-makan biasa bersama keluarga, tidak terlalu mewah. Yah, kalau aku mengundangmu, apakah kau mau datang, Brietta?"
"Mau! Tentu saja!" tanggap Brietta antusias. Brietta tidak peduli kalau Hiro bertanya secara retoris juga.
"Hmmm, baiklah, nanti aku akan memberitahumu lebih lanjut," kata Hiro. "Aku akan kembali ke tempat percetakan, sepertinya mesinnya sudah siap. Sampai jumpa nanti lagi, Brietta."
"Sampai jumpa, Hiro," ucap Brietta. "Terima kasih."
Hiro mengangguk sekali dan pergi dari dekat meja kerja Brietta. Brietta menghela napas setelah Hiro meninggalkannya. Di satu sisi, Brietta tidak ingin Hiro pergi dan berharap bisa mengobrol lebih lama dengannya. Di sisi yang lain, Brietta merasa canggung, kecanggungan membuatnya tidak nyaman, ditambah dengan ketidakpastian mengenai apa yang Hiro pikirkan terhadap Brietta.
Apakah jatuh cinta selalu seperti ini?
Satu hal yang pasti, Brietta bisa mengetahui bahwa Hiro selalu datang ke kantor biro lebih dahulu daripadanya, maka Hiro selalu tahu kapan Brietta datang.
***
Keesokan harinya, Hiro tidak mendatangi meja Brietta. Mungkin divisi percetakan sedang sibuk hari ini. Brietta mencoba memulai pekerjaannya seperti biasa, tanpa terpengaruh apa-apa.
Tiba-tiba saja, di tengah waktu bekerja, suatu pikiran buruk menjangkiti Brietta. Ya, skenario terburuk dari hari ini adalah Hiro tidak masuk kerja. Brietta menepuk pipinya sendiri. Padahal dia sudah bersolek di rumahnya dengan waktu start yang lebih pagi hari ini. Tadi pagi, Brietta mengeriting dan menyikat rambutnya serta membiarkannya tergerai sekarang. Brietta juga sudah memilih blus yang bagus untuk dipakai menurutnya. Duh! Bagaimana ini? Sia-sia saja aku melakukannya!
"Norman? Norman?"
Brietta terperanjat karena panggilan Tuan Russell dari belakangnya. Brietta memutar kursinya sehingga menghadap Tuan Russell.
"Ya ampun, Tuan Russell. Maaf, aku terlalu serius mengurusi pekerjaan," Brietta meminta maaf.
"Ah, tidak apa-apa. Itu baru semangat. Aku mau berterima kasih karena tata letak rubrik yang kau desain," ucap Tuan Russell. "Hasilnya bagus sekali."
"Sama-sama. Terima kasih kembali," kata Brietta hangat.
"Untuk rubrik selanjutnya dimulai minggu depan," kata Tuan Russell, "sesuai jadwal tabloidnya."
"Iya, Tuan. Aku akan bersiap," kata Brietta. "Tuan Russell ...."
"Ya, Nona Norman?"
"Apakah Hiro Mo-oka ada di bagian percetakan hari ini?"
"Oh, ada, kalau aku tidak salah. Aku tadi melihat," kata Tuan Russell. "Kau mau menanyakan sesuatu tentang percetakan kepada Tuan Mo-oka? Sayangnya, yang mengurus percetakan tabloid terkait bukan Tuan Mo-oka."
"Ngg, bukan soal percetakan," kata Brietta perlahan kepada Tuan Russell. "Saya ... hanya ingin tahu saja."
"Ah, baiklah kalau begitu," balas Tuan Russell. "Semoga harimu menyenangkan, Norman."
"Sama-sama."
Tuan Russell meninggalkan Brietta lalu Brietta membetulkan posisi kursi kembali ke semula.
"Argh!" Brietta sontak mengerang dan menyandarkan diri ke kursinya. Rupanya Hiro masuk kerja. Brietta bersikeras untuk tidak bertanya-tanya mengapa Hiro tidak ke tempatnya, padahal jawabannya sudah jelas. Brietta bisa saja mengirim pesan untuk Hiro dengan ponselnya, tetapi Brietta tidak mau melakukannya, setidaknya berusaha agar tidak melakukannya.
Mungkin nanti Brietta bisa mengintip ke bagian percetakan untuk melihat Hiro.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heroic, New York's Simpleton
ChickLitSelama ini, Brietta Norman tinggal di Kota New York bersama kedua saudara laki-lakinya sebagaimana seharusnya dia tinggal di kota yang tidak pernah tidur itu. Bekerja keras, bekerja cepat, dan bekerja dalam gemerlapnya metropolis, itu adalah tawaran...