05

8 3 0
                                    

My best memories are the ones we make together.

-Unknown-


Aruni duduk merenung, kembali tenggelam dalam kenangan manis ketika ia dan Randi masih remaja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aruni duduk merenung, kembali tenggelam dalam kenangan manis ketika ia dan Randi masih remaja.

Saat itu, Randi dengan senyum konyolnya dan gombalan-gombalan kaku yang sering kali justru membuatnya tertawa. Ada satu kalimat yang takkan pernah ia lupakan, kalimat yang dilontarkan Randi dengan wajah penuh keseriusan, "Kalau kamu bintang, aku adalah langit. Tanpamu, hidupku tidak bercahaya." Aruni terkikik setiap kali mengingatnya, merasa geli dan tersentuh sekaligus. Betapa polosnya mereka saat itu, seakan kalimat itu adalah filosofi hidup yang mendalam.

Kenangan itu menghangatkan hatinya, meski kini terasa agak pahit. Betapa sederhana mimpi-mimpi mereka dulu, saat mereka berbagi cita-cita di bangku sekolah. Aruni dengan penuh semangat bercita-cita menjadi dokter kandungan, ingin membantu perempuan lain untuk merasakan keajaiban memiliki anak dan merawat kehidupan baru yang hadir ke dunia. Ia masih ingat saat pertama kali mengungkapkan impiannya pada Randi.

"Kenapa dokter kandungan?" tanya Randi waktu itu, duduk di sebelahnya sambil menyandarkan tubuh pada bangku, pandangannya tertuju pada Aruni yang berbicara penuh semangat.

Aruni tersenyum, mengingat kembali percakapan itu. "Waktu kecil, Mama pernah cerita tentang betapa sulitnya melahirkan aku. Dari situ, aku mulai kagum dengan para dokter yang bisa membantu ibu-ibu melewati momen penting itu. Aku ingin jadi bagian dari kebahagiaan itu, menyaksikan kehidupan baru lahir."

Randi mendengarkan dengan penuh perhatian, bibirnya membentuk senyum kecil. Ada ketulusan dalam cara Aruni bercerita, yang membuatnya ikut larut. "Kamu hebat, Ar," ucap Randi dengan nada lembut, tapi penuh keyakinan. "Aku yakin kamu bisa jadi dokter kandungan yang hebat. Kamu punya hati untuk itu."

Aruni tertawa kecil, berusaha menutupi rasa haru yang tiba-tiba menggenang. "Kalau kamu, Ran? Kamu mau jadi apa?" tanyanya sambil menatap Randi, penasaran dengan mimpinya.

Randi terdiam sejenak, pandangannya menerawang pada langit senja yang mulai meredup. "Dokter, katanya," jawabnya pelan, nada suaranya terdengar ragu.

"Katanya?" Aruni mengernyitkan alis, bingung dengan jawaban itu.

Randi menarik napas, sebelum akhirnya menatapnya dengan pandangan yang dalam. "Orangtuaku yang bilang begitu. Mereka punya garis keturunan dokter. Dari kakek sampai ke ayah, semua dokter. Mereka menyebutnya pure blood. Jadi, mereka berharap aku bisa melanjutkan tradisi itu."

Aruni mengangguk, perlahan mulai memahami. "Jadi, kamu nggak benar-benar ingin jadi dokter?" tanyanya hati-hati.

Randi menatapnya, lalu menggelengkan kepala. "Bukan begitu, Ar. Aku suka ilmu kedokteran, tapi... kadang aku merasa ini bukan sepenuhnya pilihanku sendiri. Seperti ada ekspektasi yang harus aku penuhi."

Here I Am AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang