06

24 4 0
                                    


My family really does come first. It always does and always will.

-unknown-

Seperti biasa, Aruni sedang melakukan tindakan pada pasien di Jelita Skin Clinic cabang Dago. Klinik itu tampak sibuk, dengan banyak pasien yang mengantre untuk konsultasi dengannya. Aruni adalah salah satu dokter favorit di Jelita Skin Clinic, dikenal karena penjelasannya yang ramah dan informatif. Ia juga berperan penting dalam berdirinya klinik tersebut. Setelah memutuskan untuk resign dari sebuah rumah sakit swasta di Bandung, Aruni bekerja sama dengan Bu Ita untuk mendirikan Jelita Skin Clinic. Kini, klinik tersebut telah berkembang dengan banyak cabang di berbagai kota besar.

Dulu, Aruni bercita-cita menjadi dokter kandungan, tetapi setelah mempertimbangkan biaya besar untuk melanjutkan ke spesialis, ia merelakan impian itu. Aruni sadar masih ada tiga adiknya yang membutuhkan biaya pendidikan, sementara ibunya harus berjuang sendirian setelah kepergian ayahnya. Dengan tekad yang kuat, Aruni mengalihkan fokusnya ke dunia estetika. Ia belajar, mengikuti berbagai pelatihan, dan meraih sertifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi dokter estetika.

Di tengah praktik siang itu, Aruni mendapat jadwal konsultasi dengan seorang pasien bernama Catra. Pria itu muncul dengan paperbag kecil berwarna oranye berlogo H—merek kesukaan Aruni. Catra adalah teman semasa SMA yang, dua tahun lalu, sempat menyatakan cinta kepadanya. Namun, Aruni menolak. Bukan karena Catra tidak menarik atau kurang baik—Catra adalah seorang pengacara sukses, berpenampilan menarik, dan sopan—tetapi Aruni kurang nyaman dengan ibu Catra, yang merupakan guru tegas mereka semasa SMA. Selain itu, Aruni merasa belum ada ketertarikan emosional yang cukup untuk melangkah lebih jauh dengan Catra.

Setelah konsultasi singkat, Aruni menyarankan agar Catra melakukan perawatan hydrafacial dan laser untuk mengatasi masalah kulitnya. Catra setuju tanpa ragu.

Selama perawatan berlangsung, Catra mulai bercerita tentang pekerjaannya. Aruni mendengarkan sambil tetap fokus pada tindakannya. Ia membersihkan kulit Catra, mengoleskan serum, dan mengarahkan alat hydrafacial ke area yang perlu perhatian ekstra.

"Kasusnya cukup rumit, dan klienku sangat membutuhkan dukungan moral. Kadang rasanya lebih seperti menjadi psikolog daripada pengacara," canda Catra, mencoba mencairkan suasana.

Aruni tersenyum kecil. "Memang sering kali pekerjaan kita membawa kita lebih dekat dengan masalah pribadi orang lain," balasnya, tetap fokus sambil menyesuaikan intensitas laser.

Catra menarik napas panjang sebelum melanjutkan. Ia tampak merenung sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat.

"Kamu tahu, Nuni," katanya dengan nada yang lebih serius, menggunakan panggilan yang biasa mereka pakai di masa SMA. "Kadang aku bertanya-tanya, apakah keputusanmu dua tahun lalu benar-benar yang terbaik untuk kita. Maksudku, aku mengerti alasanmu, tapi rasanya... sulit untuk benar-benar move on."

Aruni tetap fokus pada pekerjaannya, meski kata-kata Catra menyentuh perasaannya. Tangannya sedikit gemetar, namun ia segera menguasai diri. Tidak boleh ada kesalahan dalam tindakan medis, meski hatinya tersentuh oleh topik ini.

"Aku menghargai perasaanmu, Catra," ucap Aruni akhirnya, menjaga nada suaranya tetap tenang dan profesional. "Tapi aku pikir kita berdua sudah sepakat untuk tidak membahas ini lagi. Keputusanku sudah bulat. Maaf, Catra."

Catra menatap langit-langit, lalu tertawa kecil, meski terdengar agak getir. "Baiklah. Aku menghargai itu."

Merasa suasana mulai berat, Aruni memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan. Ia tahu ini tidak mudah bagi Catra, tapi ia juga tidak ingin membangkitkan kembali kenangan yang hanya akan membawa rasa bersalah di antara mereka.

Here I Am AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang