01

165 20 0
                                    

You were born to be real, not to be perfect.

-Unknown-

Pagi itu, Aruni merasa sedikit letih meski baru membuka mata. Pesan dari ibunya yang berada di Sukabumi langsung memenuhi layar ponselnya:

Ibu Negara: Hari ini jangan sampai lupa lagi ke tukang jahit. Takut nggak keburu, Teh, bentar lagi nikahan Raras. Kainnya ada di kamar, sama kebaya contoh untuk ukuran Mama dibawa juga.

Aruni menghela napas panjang. Ia masih berbaring sambil memandangi layar ponsel, lalu meletakkannya di samping bantal. Kebiasaan buruknya memilih mengecek ponsel sebagai aktivitas pertama alih-alih minum air putih atau mencuci wajah memang sulit dihilangkan.

Bukan berarti Aruni tidak senang mendapat pesan dari ibunya, hanya saja, ia kurang suka dengan isi pesannya kali ini. Bukannya tidak gembira dengan pernikahan Raras, sepupunya yang lima tahun lebih muda. Tentu saja, ia turut berbahagia. Hubungan mereka sangat dekat; Raras sudah seperti adik kandungnya sendiri. Namun, pernikahan ini juga berarti berkumpulnya seluruh keluarga besar, dan Aruni tahu persis ke arah mana pertemuan itu akan mengarah.

Di benaknya, ia sudah bisa mendengar kalimat-kalimat yang akan muncul:

"Raras aja udah nikah, masa kamu belum, Aruni?"

"Ingat umur, kamu udah nggak muda lagi. Mau cari yang seperti apa sih?"

"Jangan terlalu pemilih, Aruni... Nanti keburu habis yang bagus."

Kepala Aruni langsung terasa berat hanya dengan membayangkannya. Baginya, bertemu keluarga besar seolah menjadi ajang penghakiman. Pertemuan yang seharusnya menjadi momen kebersamaan selalu berubah menjadi ajang investigasi hidup. Bahkan, saat lebaran yang seharusnya menjadi waktu untuk bersilaturahmi, malah kerap kali diwarnai perjodohan mendadak.

Aruni tahu semua itu adalah bentuk perhatian keluarga, tetapi tetap saja, pertanyaan-pertanyaan itu seolah menyiratkan bahwa dirinya belum juga 'laku'. Hello! Salah besar! pikir Aruni. Tidak mungkin seorang Aruni Indhira Wardhana tidak ada yang mau. Jumlah mantan kekasihnya cukup banyak, meski belum sebanyak usianya sekarang. Wajah cantik dan tubuh ideal membuatnya digemari banyak lelaki. Bahkan banyak orang bilang wajahnya mirip artis Korea Selatan, Son Ye Jin. Bagi yang penasaran, silakan cek sendiri di Google, begitu pikirnya sambil tersenyum kecut.

Saat kuliah, ia memang senang berganti-ganti pasangan. Baginya, tak ada yang salah. Dalam seminggu, ia bisa berkencan dengan beberapa pria berbeda. Bukannya matre, tapi Aruni menganggap itu sebagai "rezeki" yang sayang jika ditolak. Namun, seiring bertambahnya usia dan melihat satu per satu teman menikah, ia mulai serius dalam mencari pasangan. Aruni pun ingin menikah, tetapi hingga kini Tuhan belum mempertemukannya dengan yang tepat.

Yang membuatnya tetap tenang hanyalah ketiga adiknya, Nares, Dipta, dan Kiana, yang juga belum menikah. Selama pertanyaan "kapan nikah?" tidak datang dari Mama, Aruni masih bisa bertahan.

Aruni mengetik balasan, Siap, Komandan! Laksanakan! dan segera beranjak dari tempat tidur. Belum sempat ia menuju kamar mandi, suara bising dari luar menarik perhatiannya. Ia mengintip dari pintu kamar dan melihat sosok Uwa Eli, kakak almarhum Papanya, sudah berada di ruang tamu.

"Ada apa, Wa?" tanya Aruni sambil menghampiri.

Uwa Eli mengernyit. "Kamu jam segini baru bangun? Jangan-jangan kelewat salat subuh ya?"

Aruni melirik jam dinding. Masih jam enam pagi. "Aruni lagi datang bulan, Wa."

"Harusnya tetap bangun subuh, Neng," kata Uwa Eli sambil menggeleng. "Ini Uwa bawakan sarapan. Bener kan tebakan Uwa, nggak ada Mama kamu pasti nggak ada yang masak. Jangan malas-malasan gini, Neng. Gimana mau nikah kalau bangun aja siang?"

Here I Am AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang