10

18 3 0
                                    

Yang habis masanya, bukan perasaannya. Dan yang selesai hubungannya, bukan cintanya.
-unknown-

 

dr, Randi Kamandaka Wicaksono, Sp.Og.

Duduk terpaku di ruang praktiknya, tatapan kosong terarah pada meja yang biasanya dipenuhi catatan pasien dan laporan medis. Di hadapannya, deretan penghargaan dan sertifikat yang selama ini menjadi kebanggaannya kini terasa hampa. Nama besar dan gelar yang disematkan padanya seolah tak berarti dalam menghadapi kenyataan pahit hari ini. Kesuksesannya sebagai seorang spesialis obstetri dan ginekologi seakan runtuh, tertimpa rasa kehilangan dan kekecewaan yang dalam.

Pintu ruang praktiknya diketuk pelan, lalu terbuka, menampakkan seorang perawat yang berdiri ragu. Ia mencoba memberikan senyuman kecil, mencoba menyemangati Randi. "Dok, semua prosedur sudah kita jalankan dengan baik," kata perawat itu lembut, penuh pengertian. "Kita sudah melakukan yang terbaik. Kadang, Tuhan punya rencana yang berbeda."

Randi hanya mengangguk kecil, namun rasa bersalah itu tetap menyelimuti hatinya. Ia teringat momen-momen di ruang operasi tadi, ketika ia dan timnya berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan janin yang datang dalam kondisi kritis. Semua pengetahuan dan latihan bertahun-tahun seolah tidak cukup. Pada akhirnya, keajaiban yang diharapkan tidak datang.

Suara tangisan histeris sang ibu di luar ruangan operasi kembali terngiang di telinganya. Jeritan kehilangan itu menciptakan luka mendalam yang mengiris hati Randi. Ia memejamkan mata, berharap bayangan itu bisa menghilang, tetapi semakin ia mencoba melupakan, semakin nyata suara itu menghantui benaknya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa pengalamannya sebagai dokter akan membekalinya untuk menghadapi momen-momen seperti ini. Tapi kenyataan hari ini mengajarinya bahwa tidak ada yang benar-benar siap menghadapi kehilangan.

Perawat itu, yang sudah lama bekerja bersamanya dan memahami betul beratnya perasaan Randi, melangkah mendekat, memberikan dukungan dengan sentuhan lembut di bahunya. "Dok, kadang, kita cuma bisa melakukan yang terbaik, dan sisanya adalah kuasa Tuhan. Ada hal-hal yang di luar kendali kita."

Randi mengangguk sambil menarik napas panjang, mencoba meredakan beban di dadanya. "Saya tahu... tapi tetap saja rasanya seperti kegagalan besar. Seharusnya saya bisa... lebih dari ini," suaranya bergetar, mengakui kelemahan yang jarang sekali ia perlihatkan di hadapan rekan-rekannya.

Perawat itu menggeleng lembut. "Tidak, Dok. Ini bukan kegagalan. Semua yang datang ke dunia punya waktunya sendiri. Kadang... takdir berjalan di luar batas keahlian kita. Bahkan dokter sehebat apa pun tidak bisa melawan ketentuan Tuhan."

Randi menatap perawat itu, melihat keteguhan dalam matanya. Kata-kata perawat itu mulai meresap ke dalam hatinya, memberikan sedikit ketenangan. Ia menyadari bahwa mungkin ini adalah bagian dari perjalanannya sebagai dokter—menerima bukan hanya keberhasilan, tapi juga kekalahan, dan belajar dari setiap luka yang ia rasakan.

"Saya akan belajar menerima," katanya, meskipun suara itu terdengar pelan, lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk perawatnya. "Meski berat, saya akan berusaha untuk menerima."

Sang perawat mengangguk, tersenyum penuh empati. "Itu yang terbaik, Dok. Terkadang, menjadi dokter bukan hanya tentang menyembuhkan, tetapi juga tentang memahami keterbatasan kita sebagai manusia. Kalau dokternya saja berlarut dalam kesedihan, pasien lain yang membutuhkan bisa ikut merasakan dampaknya."

"Terima kasih, ya," bisiknya pada perawat itu, tersenyum kecil. Perawat itu membalas dengan senyuman hangat sebelum meninggalkan ruangan, memberinya waktu untuk menenangkan diri.

Randi terdiam, menyadari kebenaran dalam perkataan itu. Ia memejamkan mata, merasakan air mata yang mengalir perlahan, tapi kali ini ia tidak menahannya. Ia biarkan air mata itu jatuh, membasuh kegetiran yang tersimpan dalam hatinya.

Here I Am AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang