22: Bola Ubi Loyo

1.1K 172 151
                                    

Tubuh lemahnya hanya bisa bersandar di pundak Yose. Hikaru hari ini benar-benar tidak bertenaga. Setelah semalam demam tinggi anak itu tidak mau turun dari gendongan Kakak-kakaknya. Mau tidak mau Hariz dan Yose tidak pergi bekerja untuk menjaga Hikaru. Kali ini Hariz tidak akan menitipkan Hikaru kepada yang lain. Havian dan Julian berkata Adiknya benar-benar harus istirahat karena kali ini sakit yang di alaminya bukan hanya demam biasa. Banyak fase yang harus dia lalui sampai benar-benar sembuh. Jangankan untuk menjaga, datang menjenguk pun Hariz belum memberi izin. Apalagi untuk Joe dan James, mereka baru di izinkan bertemu Hikaru setelah kondisinya benar-benar membaik. Jika mereka datang Hariz takut akan menganggu. Padahal Joe dan James tidak akan se-tega itu sebenarnya, tapi Hariz hanya menjaga-jaga agar Hikaru bisa segera pulih.

Demam Hikaru masih bertahan di 40 derajat. Tadi pagi sempat turun ke 39 lalu kembali naik. Bintik-bintik ke-merahan pun mulai muncul di beberapa bagian tubuhnya. Trombosit Hikaru memang turun di bawah normal. Tadi pagi Havian sudah memeriksanya dan berkata memang hal tersebut biasa terjadi kepada seseorang yang positif terkena DBD. Yose yang biasanya melihat Hikaru ceria sekarang mendadak merasa sedih. Adiknya itu benar-benar terlihat lemas, sesekali Adiknya itu akan menangis dan mengeluh semua badannya terasa sakit. Hariz dan Yose tentu tidak bisa membantu banyak selain berusaha membuat sang Adik nyaman. Tidak peduli jika tangan mereka sakit karena terus menggendong Hikaru, selama Adiknya merasa agak baikan saat digendong, mereka akan terus melakukan itu.

"Minum..." Hikaru berucap lirih.

"Sebentar, Abang ambil dulu minum Dede." Yose yang sedang menggendong Hikaru berjalan mendekati nakas, "Minum yang banyak..."

"Ininya sakit Abang."

"Mana sayang? Tunjuk yang sakitnya." Hariz mengusap-usap kepala sang Adik.

"Mata tapi di belakang-belakangnya, sakit semua."

"Dede sabar ya?" Hariz memberi kecupan sayang di kening Hikaru, "Dede nya lagi proses penyembuhan jadi harus sakit-sakit dulu."

Namun alih-alih mengerti dengan kalimat penenang dari sang Kakak, Hikaru tiba-tiba menangis. Tubuhnya benar-benar terasa tidak nyaman sekarang. Bergerak sedikit saja tulang-tulangnya seperti akan patah di detik itu juga. Hariz bergantian menggendong Hikaru. Kakinya kembali berjalan memutari ruangan dengan harapan Hikaru bisa segera tenang. Tangisan lirihnya benar-benar membuat Hariz dan Yose tidak tega. Sudah di tawari makan, mainan sampai cookies kesukaannya pun Hikaru terus menolak. Tadi sarapan saja hanya habis 7 suap bubur. Itu pun hasil paksaan dari Julian. Jika tidak di paksa sepertinya Hikaru menolak untuk makan.

Untungnya setelah hampir 30 menit Hariz berkeliling, perlahan-lahan mata sang Adik mulai tertutup. Yose se-pelan mungkin mulai menyelumuti tubuh gempal Hikaru. Karena sang Adik menolak untuk di tidurkan di atas bed rumah sakit, mereka hanya menyelimuti Hikaru se-adanya saja. Itu pun bukan memimut yang biasa dia pakai. Karena sedang demam, maka kemarin Hariz meminta Dion untuk membeli selimut tipis agar tubuh Hikaru bisa tetap nyaman. Sedangkan memimutnya yang bergambar dinosaurus itu terlalu tebal jadi untuk sementara waktu Hikaru tidak bisa memakainya.

"Coba di tidurin Bang. Pelan-pelan tapi. Kalo di pangku terus takutnya makin sakit badannya nanti."

Hariz mengangguk. Se-pelan mungkin tanpa mengeluarkan suara dia mencoba menurunkan Hikaru dari gendongannya. Namun usahanya gagal. Hikaru kembali merengek dan hampir menangis jika Hariz tidak buru-buru kembali memeluk tubuh gempalnya. Yose pun hanya bisa pasrah. Mereka sekarang akan mengikuti keinginan Adiknya. Hariz akhirnya duduk di sofa bersama Hikaru yang menyandarkan kepalanya di dada Hariz.

"Ssshhh bobo yaaa..." Tangan Hariz menepuk-nepuk punggung Hikaru agar Adiknya tidak terbangun.

Sayang mata yang semula tertutup itu kembali terbuka. Lagi dan lagi Hariz dan Yose harus menghadapi Hikaru yang kembali menangis. Mereka tidak keberatan sama sekali. Baik Hariz atau Yose mengerti dengan apa yang sedang di rasakan sang Adik. Hanya saja mereka tidak tega saat mendengar tangisan Hikaru. Rasanya mereka ingin bertukar diri agar sakit Adikya berpindah kepada mereka. Tapi hal itu tentu mustahil terjadi, mereka tidak akan pernah bisa bertukar posisi. Alhasil ke-duanya kembali mencoba membuat Hikaru setidaknya bisa tenang dan berhenti menangis. Bukan karena mereka kesal, sekali lagi mendengar tangisan Hikaru rasanya mereka benar-benar merasa tidak tega.

HIKARUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang