21. Rasa yang Menjadi Jelas

615 131 20
                                    


     "Bi...Abi..."

    Sebuah sentuhan di lengannya membuat abi Salman membuka mata. Lelaki yang sebagian rambutnya mulai memutih itu tersadar. Rupanya ia tertidur. Entah berapa lama dan sudah sejak kapan ia tertidur di dalam mobil.

    "Ngapunten saya bangunkan, Abi. Ngapunten nggeh, Bi.  " Dengan ekspresi sungkan pak Toyib yang setia menemani Abi Salman jika bepergian itu membangunkan Abi Salman.

      "Kita sudah sampai nggeh pak Toyib?" Tanya Abi Salman sembari menegakan punggung. Melempar pandangan keluar jendela mobil yang sudah berhenti. Benar, mobil sudah berhenti di depan halaman rumahnya.

    "Sampun Bi. Makanya saya bangunkan Abi..." Jawaban pak Toyib sebenarnya sudah tak diperlukan Abi Salman lagi.

    Abi Salman menutup mulutnya yang menguap sebagai reaksi rasa kantuk yang masih menggelayut tetapi dipaksa bangun. Abi Salman pun gegas melepas seat belt dan keluar dari mobil.

     "Ini sudah jam berapa ya pak?" Tanya Abi Salman lagi pada pak Toyib yang kini sibuk menurunkan tas kerja milik Abi Salman.

     "Sudah hampir pukul setengah dua belas malam, Abi"

    Jawaban pak Toyib disambut anggukan oleh Abi Salman. Sesuai perkiraan Abi kala menatap langit yang kelam dihiasi bulan. Hari sudah sangat larut. Tiga puluh menit lagi hari akan berganti menurut perhitungan kalender Masehi. Karena menurut perhitungan kalender Hijriyah, pergantian hari dihitung sejak matahari terbenam atau sekitar Maghrib. Bukan saat pukul 00 atau dikenal dengan dini hari. Karena itu jumlah hari dalam setahun dalam kalender Hijriyah berbeda dengan kalender Masehi. Jumlah hari kalender Hijriyah antara 354-355 hari. Sedangkan dalam kalender Masehi berjumlah 365-366 hari.

    "Saya masuk duluan nggeh pak Toyib. Njenengan juga segera istirahat. Maaf sudah membuat pak Toyib ikut repot sampai pulang malam begini" ujar Abi Salman sebelum masuk ke dalam rumah.

     "Oalah, inggih Abi. Mboten menopo. Sampun tugas saya Abi. Minggu nderekaken abi istirahat" pak Toyib menunduk hormat, mempersilahkan lelaki yang selalu santun dan kalem itu untuk segera masuk. Pak Toyib tahu Abi Salman juga lelah. Tentu sebagai sopir pribadi, ia akan senang hati mengantar kemanapun Abi Salman pergi.

    Perlahan Abi Salman membuka pintu kamarnya. Tak mau menimbulkan suara apapun karena ia yakin umi Salamah pasti sudah tidur. Tentu saja Abi Salman tak mau kalau istrinya itu sampai terbangun.

    Suasana kamar sudah temaram. Hanya lampu tidur di ujung kamar yang memberi penerangan. Umi Salamah tampak sudah lelap di atas pembaringan. Tadi sore Abi Salman sudah memberi kabar lewat WA pada istrinya itu kalau kemungkinan akan pulang larut. Abi Salman pun memilih membersihkan diri dahulu di kamar mandi sebelum beristirahat di tempat tidur.

     Guyuran air hangat dan air wudhu menyegarkan Abi Salman yang tadinya sangat mengantuk. Setidaknya kini kantuknya berkurang banyak. Namun tetap saja tubuhnya terasa lelah. Abi Salman segera naik ke pembaringan tepat di sebelah umi Salamah.

     "Eh sudah pulang, Bi" kasur yang sedikit melesak membuat umi Salamah terbangun.

    "Ehm . Barusan sampai, mik. Maaf buat umik terbangun ini..." Jawab abi Salman merasa bersalah membuat istrinya terbangun.

    Umi Salamah tersenyum menatap suaminya sembari menggeleng.

    "Enggak, Bi. Memang umik nunggu Abi pulang. Gimana kondisi bapaknya ustadz Cahyo?"

    Tadi sore, Abi Salman mengirim pesan katanya akan ke Madiun karena mendapat telpon dari ustadz Cahyo. Ustadz Cahyo ini dulunya adalah santri di pondok pesantren Abi Salman. Bisa dibilang ustadz Cahyo adalah santri yang sempat menjadi orang kepercayaan Abi Salman. Selain cerdas, ustadz Cahyo ini rajin dan sering membantu Abi Salman. Abi Salman sudah menganggap ustadz Cahyo seperti anaknya sendiri sebagaimana Kemal dan Daru. Ustadz Cahyo juga pernah menjadi pengajar di pondok pesantren dan kuliahnya dibiayai Abi Salman.

BETTER LOVEWhere stories live. Discover now