Untungnya,

2.5K 329 130
                                    

Tidak semua keadaan bisa dilawan. Itu yang akhirnya bisa Salsa pahami dalam kehidupan. Menyelesaikan satu persatu masalah yang terus berdatangan meski harus terseok sendirian. Tak jarang ia bingung harus berpegang pada tangan siapa lagi setelah Lian harus menetap di ruang isolasi.

Setelah berlembar surat yang dikirimkan dan beberapa kali mendapatkan balasan, kemarin Lian menyelipkan pesan bahwa lelaki itu ingin bertemu dengan Salsa. Karena itu pagi ini ia sudah bersiap untuk pergi.

“Kakak sama Adik nanti pulangnya dijemput Onty Nab ya?” Salsa memutar kunci mobilnya lalu mulai menginjak pedal.

Perlahan mobilnya keluar dari komplek perumahan. Memasuki jalan besar yang tak kenal henti akan kemacetan. Sebenarnya sangat sungkan untuk Salsa bergelut dengan jalanan Jakarta saat jam kerja.

“Memangnya Ibu tidak bisa jemput?” Bilva yang duduk di samping Salsa terus mengatur sabuk pengaman agar pas.

“Ibu mau ke rumah klien?” timpal Birva.

“Iya, mau ketemu sama orang nanti jam 10. Takutnya kalau Ibu yang jemput malah lama kalian nunggunya.”

Keduanya mengangguk paham. Sepanjang jalan, hati Salsa begitu penuh. Pertama karena anak-anaknya terus menceritakan hal-hal bahagia yang mereka rasakan dalam seminggu terakhir. Dan kedua, sudah jelas karena Lian ingin menemuinya.

“Kalau pulangnya adik mau main sama Sekala boleh? Sama Deas dan Rea juga.”

“Main di rumah siapa? Kakak juga ikut?” Diliriknya Bilva yang dengan cepat menggeleng.

“Kenapa cuma adik doang yang main? Terus kakak nanti gimana?”

Birva sedikit maju dari duduknya. “Kakak tidak mau main karena Sekala, Deas dan Rea bukan circle kakak.”

“Lah terus Kakak circle siapa dong?” tanya Salsa.

“Kakak berteman sama siapa pun Ibu. Semuanya jadi teman Kakak termasuk teman-teman yang tadi Adik sebutkan. Tapi Kakak malas kalau cuma bermain doang di rumah mereka. Kalau mau main, mending mereka saja yang main ke rumah Kakak.” Bilva memberi alasan.

“Nggak, bohong. Di kelas ada anak-anak pintar yang suka ngajak Kakak main.”

Salsa melirik spion tengah, melihat raut wajah Bilva dari kaca. “Adik juga diajak main nggak sama mereka?”

“Tidak, soalnya adik tidak pintar seperti kakak.”

Pipi Salsa mengembung menahan tawa. Anak bungsu Salsa selalu saja menyadari kalau dalam hal akademik tidak sepintar kakaknya.

“Tapi di non akademik adik tetap juaranya kok.” Bilva menurunkan gengsinya untuk memuji Birva.

“Ibu setuju sama Kakak. Adik pintar kok, punya banyak kelebihan juga. Suara adik bagus, adik bisa main basket, bisa main gitar walaupun masih berantakan dan banyak lagi.” Senyum Salsa mengembang saat memuji Birva. “Coba dong nyanyi dulu.”

Birva berdeham dan memasang wajah serius. Menarik nafasnya dalam dalam lalu mulai mengeluarkan suara merdunya.

“Untungnya… Lian masih berputar.”

Serempak ketiga orang dalam mobil itu tertawa. Bahkan Birva yang bernyanyi pun ikut tergelak karena lirik yang dinyanyikan.

***

“Udah mau diem dieman doang?” tegur Aro.

Di ruang kunjungan, ketiganya duduk dengan posisi Salsa dan Lian berdampingan. Sementara Aro duduk tepat di depan keduanya.

Salsa sengaja mengajak Aro agar tidak ada kecanggungan setelah beberapa minggu tidak bertatap muka dengan Lian. Bahkan mengobrol lewat ponsel saja tidak pernah. Tapi sampai di tempat, tetap saja Salsa dan Lian saling diam.

Sedekat Detak dan Detik 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang