"Papa, Papa, kapan Ava sekolah?"
Jordan yang mendapatkan pertanyaan tiba-tiba seperti itu lantas menunduk, menatap Lava yang sedang menarik ujung bajunya sambil mendongak. Pria tinggi itu tersenyum geli kemudian mematikan kompor dan menuangkan susu yang ia hangatkan ke dalam cangkir.
"Ava mau sekolah?" tanya Jordan sembari memegang gagang cangkir itu kemudian berjongkok untuk menggendong sang anak.
Lava mengangguk dalam gendongan ayahnya, kedua tangan mungil itu memainkan rambut Jordan yang mulai memajang.
"Ava udah besar, kan? Viel bilang orang besar harus sekolah. Ava boleh sekolah 'kan, Pa?" tanya Lava saat mereka sudah tiba di sofa depan televisi.
Keduanya duduk menghadap televisi yang sudah Jordan nyalakan, menampilkan kartun anak-anak yang langsung mengalihkan atenai Lava.
"Bukan boleh, tapi, harus. Anak Papa harus sekolah setinggi mungkin," balas Jordan seraya mengelus rambut anaknya penuh kasih sayang.
Pendidikan Jordan tidak berjalan dengan baik, maka dari itu, anaknya harus berpendidikan tinggi. Menjadi seorang sarjana hebat, orang yang sukses dan akan berguna bagi banyak orang.
Jordan mungkin tidak akan bisa menjadi seorang sarjana dari sebuah universitas besar, namun, Jordan berjanji Lava akan merasakan itu semua dengan hasil keringatnya sendiri.
"Wah! Ava boleh sekolah di tempat Viel? Viel bilang dia mau kenalin Ava ke teman-teman yang lain!" Lava dengan antusiasnya menceritakan semua rencana yang Viel katakan kepadanya tadi.
Sedangkan Jordan hanya tersenyum sambil terus mendengarkan ocehan Lava tentang apa yang akan mereka lakukan di sekolah nanti.
Tak butuh banyak waktu bagi Lava menghabiskan susu hangat buatan Jordan. Dengan cepat pula mata bulat itu memberat hingga membuat si kecil bersandar penuh pada lengan bertato sang ayah.
Jordan sendiri hanya berdiam, perlahan menatap kosong televisi yang masih menyala. Pikirannya entah menerawang kemana, sampai saat netra sipit itu kembali menatap Lava yang sudah tertidur nyenyak. Kehangatan mulai terpancar, menggantikan kekosongan yang sempat hadir.
Gerakan yang terbilang pelan rupanya masih mengganggu tidur Lava, anak itu menggeliat hampir terbangun saat Jordan beralih menggendong.
"Shh! Tidur lagi, sayang, Papa cuma mau pindah ke kamar," bisik Jordan sembari mengelus punggung sempit dalam gendongannya.
Sampai di kamar, Jordan langsung membaringkan Lava di atas ranjang, menyempatkan diri untuk mengecup lama dahi sang anak sebelum menarik tubuhnya menjauh.
Berjalan ke arah lemari, berjongkok hanya untuk mengambil tas usang tempat baju-baju yang Lava bawa dari kediaman Rahayu. Jordan ingat ada sebuah map berwarna biru tepat di bagian bawah tumpukan pakaian.
Mata sipit itu agak bergetar saat jemarinya meraih map yang ia maksud. Tubuh tingginya kembali berdiri dan melangkah keluar kamar. Menuju sofa yang tadi sempat ia tinggalkan.
"Surat keterangan lahir," gumamnya saat membuka map itu, hanya berisi selembar kertas yang di berikan dari rumah sakit.
Jordan menatap kosong pada bagian nama dari orang tua Lava. Pada bagian sang ibu, jelas nama Siera terpampang nyata, namun, pada bagian ayah, namanya tertulis apik di sana.
Seharusnya Jordan senang, tapi, kenapa seolah ada perasaan bersalah yang memenuhi hatinya? Terlebih saat ingatan Jordan tiba-tiba melintaskan nama Anyelir.
"Seharusnya Alendra," bisik Jordan seraya meremas pelan kertas itu. Kali ini egonya yang merasa tercoreng, merasa jika laki-laki itu bahkan tak pantas menjadi ayah dari putranya.
![](https://img.wattpad.com/cover/380310917-288-k61579.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD PAPA 2
General Fiction📌NOTED: Season kedua dari cerita BAD PAPA. Saya menyarankan untuk baca bagian pertama supaya nanti kedepannya tidak kebingungan. Enjoy this story', guys!! ... Keseharian Jordan dan putra kecilnya di rumah yang baru. Sebuah rumah sederhana, namun, p...