23. Alasan Sebenarnya

5.1K 511 65
                                    

Lagi-lagi Jordan kembali meliburkan diri dari pekerjaannya. Untung saja sang ayah memberi izin, tidak terpikir bagaimana misalnya jika pemilik perusahaan itu bukan ayahnya. Mungkin Jordan sudah di pecat karena mengambil cuti dengan jarak berdekatan tanpa ada alasan yang pasti.

Entah kenapa kali ini Jordan sengaja datang menjemput Lava agak cepat dari jam pulang putranya. Baru pukul sepuluh, pria tinggi dengan tato yang menghiasi lengan kanannya itu sudah duduk di dalam sebuah toko roti sambil menikmati milkshake vanilla yang tadi sempat ia pesan.

Toko roti milik Faye ini sebenarnya ramai pelanggan, tapi, kebanyakan dari mereka memilih untuk langsung pulang daripada menikmati suasana menenangkan di dalam sini. Asik menikmati interior yang memanjakan mata, Jordan sama sekali tidak menyadari kehadiran Faye yang membawa setoples kecil kue kering.

"Mas?"

Netra sipit itu langsung tertuju pada gadis yang mengenakan apron merah muda seperti hari itu, "Ah! Kenapa, Faye?"

Faye tersenyum tipis, "Ini ... saya punya menu baru, Mas mau cicip? Tenang aja, untuk hari ini gratis! Mau, ya, Mas?"

Jordan terkekeh pelan kemudian mengangguk, "Boleh, Faye. Terima kasih."

"Sama-sama, saya lanjut kerja dulu. Selamat menikmati, Mas Jordan."

Pandangan Jordan terus mengikuti langkah kecil Faye yang selalu tampak bersemangat. Sudut hatinya agak tergelitik, baru kali ini ia jumpai gadis seperti Faye selama ia hidup. Saat tubuh kecil gadis itu menghilang di balik etalase, Jordan lantas mencicipi kue kering yang Faye berikan.

Sesuai dugaannya, semua hal yang di buat gadis itu selalu menyenangkan untuk di makan? Membayangkan jika tangan-tangan kecil itu menyajikan makanan di rumahnya setiap hari ... bukankah sangat menyenangkan?

"Lo mikir apa, sih?" Jordan memukul pelan kepalanya sendiri setelah sadar akan pikiran konyolnya. Tanpa sadar wajah tampan pria berkulit tan itu mulai memerah malu.

Satu jam bukan waktu yang lama bagi Jordan untuk di lewati sambil memandangi gadis bertubuh kecil itu berulang kali melayani pelanggan. Senyum ramah yang selalu Faye tunjukkan untuk semua orang membuat Jordan rasanya enggan untuk berpaling.

Tanpa sengaja netra sipitnya tertuju pada jam dinding, tubuhnya agak tersentak kaget tak kala menyadari sebentar lagi Lava akan segera pulang. Tidak lagi berpikir panjang, Jordan segera bangkit kemudian melangkah menuju meja kasir untuk membayar pesanannya.

"Punya saya berapa, Faye?" tanya Jordan sambil mengeluarkan dompet dari sakunya.

Faye tersenyum manis, "Lima belas ribu, Mas."

Setelah melakukan transaksi, Jordan ingin segera bergegas, namun, suara halus Faye kembali menghentikan langkah kakinya. Ia pandangi dua bag paper berukuran sedang yang baru gadis itu letakan dengan bingung.

"Apa ini?"

"Kue kering, satunya buat anak sama istri Mas, nah satunya lagi buat anak tetangga Mas yang waktu itu. Aku titip, ya? Siapa tau mereka suka," ungkap Faye seraya mendorong pelan pemberiannya agar di terima.

Jordan mengangkat sebelah alisnya pertanda dirinya masih kebingungan. Pria itu lalu tersenyum tipis, "Saya bisa terima, tapi, kalau mau buat istri saya yang cobain, rasanya belum bisa karena saya belum punya. Biar anak-anak dulu yang coba, ya, Faye? Untuk yang satu itu biar nyusul kalau sudah ada jodohnya."

Sama seperti sebelumnya, Faye lagi-lagi di tinggalkan dengan mulut terbuka lebar. Kenapa selalu ada kejutan setiap kali pria tinggi itu berkunjung ke toko miliknya?

"Ya Tuhan! Jadi, Mas Jordan itu duda apa gimana?! Kemarin dia puji-puji ibu dari anaknya, loh!" pekik Faye sembari berjongkok dengan kedua tangan menutup telinganya yang terasa panas.

BAD PAPA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang