Suara teriakan menggema tak kala seorang pemuda yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu menarik telinga sang adik yang tengah asik menonton televisi.
"Sakit, Abang," rengek Kaviel seraya berusaha menutup telinganya agar terlepas dari jemari Sanja, "BUNDA! ABANG TARIK-TARIK TELINGA!"
Pengaduan itu membuat Sanja lantas melepas tarikan pada telinga Kaviel, bersamaan dengan kedatangan sang Bunda dari arah dapur. Terlihat wanita itu masih mengenakan celemek berwarna cokelat.
"Abang, kenapa lagi, sih?" tanya Vanya yang sudah lelah menghadapi anak-anaknya yang benar-benar tidak bisa akur ini.
"Orang tua temen sekelas si kentut ini tadi telepon Abang, Bun. Dia bilang Viel gangguin anaknya sampai nangis, anaknya cewek, Bun," ucap Sanja dengan alis berkerut marah. Pemuda itu lalu kembali menatap Kaviel yang sedang memandangnya sinis, "berapa kali Abang bilang, jangan gangguin orang yang enggak ganggu kamu! Cowok kok beraninya sama cewek!"
Vanya menatap Kaviel yang hanya diam sambil terus menatap Sanja dengan sinis. Wanita itu lantas menghela nafas panjang sebelum memilih untuk mendudukkan diri di sebelah anak bungsunya.
"Benar apa yang Abang bilang, Dek?"
"Enggak, Bunda! Aku enggak ganggu dia!" bantah Kaviel cepat.
"Jangan bohong! Buktinya Mama dia tadi telepon Abang, marah-marah karna kamu ganggu anaknya!" sentak Sanja yang sudah kepalang kesal.
Dirinya baru saja mendapatkan hasil ulangan harian matematika yang nilainya sangat buruk lalu tiba-tiba mendapatkan telepon dari orang yang hanya berteriak dan memaki, mengatakan jika sang adik berkelakuan tidak baik sampai anaknya menangis.
"Serius! Dia duluan yang ejek-ejek Lava karena Lava enggak punya Mama! Dia ejek-ejek orang yang keluarganya enggak lengkap, aku enggak suka! Aku juga enggak punya Ayah, aku marah karena dia bilang keluarga itu harus ada Mama dan Papa! Kenapa aku yang jadi ganggu dia duluan?!" teriak Kaviel dengan wajah memerah dan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.
Vanya dan Sanja sontak terdiam kaku, mereka berdua kehilangan kata-kata mendengar suara Kaviel yang agak bergetar saat mengatakan semua itu.
"Abang yang bilang kalau kita harus balas orang yang ganggu kita duluan. Aku cuma bilang ke dia kalau enggak semua keluarga harus punya Mama dan Papa, kayak apa yang pernah Abang bilang. Kalau dia nangis, itu salah dia karena dia cengeng!"
Kaviel mengusap kasar matanya yang sempat berembun. Sanja bilang, laki-laki kuat tidak boleh menangis dan Kaviel hanya ingin menjadi kuat seperti pemuda itu.
Vanya berdehem pelan, berusaha menyembunyikan air matanya sendiri. Wanita itu mengusap lembut rambut anak bungsunya itu, "Mm, Bunda ngerti, tapi, dia perempuan, Nak. Viel laki-laki, nggak boleh bikin perempuan nangis. Gimana kalau ada yang bikin Bunda nangis? Viel sedih, kan?"
Melihat anggukan yang di berikan Kaviel, Vanya lantas tersenyum hangat. Jemarinya beralih untuk mengusap telinga Kaviel yang tadi menjadi korban kemarahan Sanja, "Besok Viel minta maaf karena bikin dia nangis, ya."
Setelahnya, Vanya memilih pergi. Membiarkan kedua anaknya merenungi kesalahan masing-masing agar tidak berlarut-larut. Selalu seperti ini, jika keduanya bertengkar, maka Vanya akan memberikan ruang untuk mereka saling berbicara.
Kepergian Vanya membawa Sanja untuk menggantikan posisi wanita itu, duduk tepat di sebelah Kaviel yang masih enggan untuk menatapnya.
"Cil." Kaviel tetap diam, tidak memperdulikan panggilan sang kakak, membuat Sanja menghela nafas kasar, "iya-iya, gue salah, maaf, ya?"
"Abang selalu kayak gini, kalau ada apa-apa pasti langsung marah-marah tanpa tanya aku dulu, terus minta maaf, terus besok kayak gini lagi."
Omelan itu membuat Sanja terkekeh pelan, dirinya mengusak rambut Kaviel hingga berantakan, "Nggak lagi, deh.Janji."
Kaviel menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, menatap televisi kemudian beralih melihat Sanja yang juga bersandar sepertinya.
"Memangnya salah, ya, Bang, kalau kita enggak punya Mama atau Ayah? Memangnya semua keluarga itu harus lengkap?"
Sanja hanya diam, tidak membalas pertanyaan sang adik, karena itu hanya akan membawa mereka pada kesedihan tak berujung. Sanja tidak ingin adiknya berpikir dewasa terlalu cepat, Sanja lebih suka adiknya bertingkah konyol daripada harus memiliki pikiran dan karakter layaknya laki-laki yang sudah dewasa. Belum waktunya, Sanja tidak ingin Kaviel dewasa terlalu cepat.
...
Pagi ini, Lava memilih berangkat bersama Kaviel di antar oleh Vanya. Lava tidak ingin terlalu merepotkan sang ayah, apalagi harus membuat Jordan sampai terlambat datang bekerja karena mengantarkannya ke sekolah.
"Jadi anak baik, ya, kalian. Jangan nakal-nakal," ucap Vanya menasehati kedua anak laki-laki yang berada di hadapannya. Wanita itu tersenyum hangat saat mereka bergantian mencium punggung tangannya, "dah, semangat sekolahnya, anak-anak, Bunda."
"Ayo, masuk," ajak Lava saat Vanya sudah lumayan jauh dari pandangan mereka.
Kaviel mengangguk setuju, "Kamu udah kasih tunjuk gambar kamu sama Om Jo, belum?"
"Belum, aku lupa," jawab Lava sembari menepuk dahinya pelan.
"Aku udah kasih tunjuk Abang, kata Abang gambar aku mirip alien, padahal kan itu ada gambar dia juga," ucap Kaviel yang kesal saat mengingat hal itu.
Lava tertawa pelan, "Padahal gambar kamu bagus kok."
Langkah mereka berhenti saat baru saja memasuki kelas lantaran di hadang oleh seorang gadis yang langsung membuat Lava maupun Kaviel melangkah mundur.
"Kenapa?" tanya Lava lantaran gadis kecil di hadapan mereka tak kunjung bicara.
Abeyya, gadis itu menunduk sambil memainkan jemarinya gugup, "A-aku, aku mau minta ma-maaf. Maaf karena ejek kamu kemarin, aku enggak tau, aku minta maaf."
Lava berkedip beberapa kali kemudian tersenyum tipis, "Enggak masalah, aku enggak marah."
"Tapi, Viel marah," ucap Abeyya sembari menatap Kaviel yang mendengus malas.
"Setelah kamu ngadu ke Mama kamu dan bilang aku sama Lava yang ganggu kamu sampai kamu nangis, trus kamu pikir aku enggak bakal marah?" tanya Kaviel berkacak pinggang, "enggak usah perdulikan dia, Va, dia bilang kita yang nakal, padahal dia yang ejek-ejek kamu."
"Itu karena Mama aku belum tau! Setelah tau, dia suruh aku minta maaf, karena aku salah," ujar Abeyya yang tidak ingin terus di salahkan.
Lava yang berada di tengah keduanya menghela nafas panjang. Dirinya menarik Kaviel untuk menjauh agar tak keterusan bertengkar. Sungguh, dirinya tidak merasa marah saat Abeyya mengatakan hal itu kemarin.
"Enggak apa-apa, Abeyya. Enggak perlu minta maaf, dan enggak perlu ngomong lagi, aku sama Viel enggak marah," ucap Lava kemudian menarik Kaviel untuk duduk di bangku mereka. Meninggalkan Abeyya yang masih menunduk merasa bersalah.
"Kamu maafin dia?" tanya Kaviel dengan alis berkerut kesal.
Lava mengangguk saja, "Papa bilang anak laki-laki enggak boleh berantem sama anak perempuan. Kita kan laki-laki, ngapain berantem sama dia?"
"Ternyata omongan orang dewasa sama semua," ucap Kaviel seraya mendengus malas. Tidak kreatif, pasti hanya menjiplak saja.
.
.
.
.
gemes banget nulis mereka ini aaa
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.
![](https://img.wattpad.com/cover/380310917-288-k61579.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD PAPA 2
Художественная проза📌NOTED: Season kedua dari cerita BAD PAPA. Saya menyarankan untuk baca bagian pertama supaya nanti kedepannya tidak kebingungan. Enjoy this story', guys!! ... Keseharian Jordan dan putra kecilnya di rumah yang baru. Sebuah rumah sederhana, namun, p...