Jordan berdiri cukup lama di ambang pintu dapur hanya untuk mengamati Lava yang lagi-lagi tampak melamun, memandang penuh ke arah televisi tanpa reaksi apapun. Dia jelas sadar dengan tingkah laku sang anak yang agak berbeda dari biasanya. Lava selalu ceria setiap hari, namun, kali ini anak itu terlihat seperti memaksakan diri.
Beberapa kali Jordan menemukan Lava yang langsung melamun ketika sedang sendirian. Terbukti saat Jordan berpamitan untuk pergi ke dapur saat mereka tengah menonton tadi, anak itu kembali terdiam. Mengabaikan buku-buku yang biasanya selalu menjadi fokus sang anak.
Pria tinggi itu menghela nafas pelan, jemari kasarnya mengusap wajah sesaat sebelum kembali melangkah mendekati Lava. Duduk di sana tanpa banyak bicara hingga sang anak tampak tersentak kaget.
"Ava kaget, Papa!" rengek Lava sambil memukul pelan paha sang ayah.
Jordan tersenyum hangat seraya mengusak rambut lebat putranya, "Iya, maaf, sayang. Ava udah selesai belajarnya?"
"Hu-um! Ava mau nonton aja."
Netra sipit Jordan menatap lekat wajah sang anak yang tengah tersenyum lebar hingga mata bulat itu agak menyipit. Jordan merasa sesak tak kala menyadari manik sang anak yang agak berembun. Apa Lava kembali berusaha menyembunyikan tangisnya?
"Ava kenapa, Nak?" tanya Jordan lagi, kali ini pria itu memilih turun dari sofa, berlutut tepat di hadapan sang anak.
Dahi Lava agak mengernyit bingung, mata bulatnya menatap jemari mungilnya yang berada di genggaman sang ayah, "Ava kenapa? Ava enggak apa-apa, Papa."
Manik jernih itu menatap rupa tampan sang ayah. Jemari mungilnya yang sudah terbebas dari genggaman besar itu lantas terangkat, mengusap wajah Jordan dengan lembut hingga sang empunya memejamkan mata.
Jordan masih punya Ibu.
Jangan jadikan dia sama kayak kamu yang enggak punya ibu.
"Papa...." Nafas Lava agak tercekat saat netra sipit di hadapannya terbuka, menatap tepat ke arahnya. Alis Jordan terangkat seolah bertanya kenapa, entah kenapa itu malah membuat mata Lava mulai berembun tipis.
Jordan jelas menyadari itu, kembali di genggamnya jemari mungil sang anak yanh sempat ia lepas, "Ava mau cerita? Ava kenapa jadi sering melamun hari ini, hm? Papa liat, Nak, Papa selalu liat semua tingkah Ava. Ava lagi ada yang dipikirin? Tentang sekolah, sayang? Kasih tau Papa, Nak. Ava punya Papa, kan? Ava selalu ceritakan semua sama Papa. Kenapa hari ini enggak ada cerita kayak biasanya?"
Lava sontak menunduk dalam kemudian menggelengkan kepalanya pelan. Masih enggan untuk mencurahkan kegelisahannya yang mungkin saja bisa menambah masalah baru bagi sang ayah.
Melihat hal itu, Jordan lantas memandang sang anak sendu. Pria itu berdiri dengan lututnya kemudian memeluk tubuh mungil Lava erat. Mengelus punggung mungil Lava sembari mengecup puncak kepalanya penuh sayang.
"Papa."
"Iya, sayangnya Papa?"
Lava menarik nafasnya pelan sambil memejamkan mata, mengeratkan pelukannya pada punggung lebar sang ayah, "Ava kangen Nenek."
Jordan menunduk sesaat ketika mendengar suara serak Lava, "Nenek...?"
"Mamanya Papa, Nenek enggak pernah ke sini lagi, Ava kangen."
Sang ayah terdiam ketika mendengarkan penuturan Lava, jemarinya tak henti mengelus punggung kecil di dalam pelukannya walaupun netra sipit itu mengawang jauh.
Berhari-hari sudah berlalu tanpa pesan ataupun dering telepon dari sang ibu yang biasanya selalu datang setiap waktu. Jordan jelas menyadari itu, namun, dirinya masih enggan bertemu karena tidak siap jika saja wanita itu kembali mengutarakan hal-hal yang akan menyakiti buah hatinya.
Jordan tak menampik jika dirinya juga merasa rindu dengan wanita itu, belum lagi perasaan bersalah karena sempat membentak sang ibu kala itu, "Papa juga kangen Nenek."
Pelukan Lava semakin erat saat Jordan mengatakan itu, Jordan lantas menunduk cepat saat telinganya mendengar isakkan terrahan yang berasal dari sang anak. Lava bahkan terus mencengkram pakaiannya saat Jordan ingin melepaskan pelukan mereka, seolah tak ingin Jordan menyaksikan tangisnya kali ini.
"Jangan," bisik Lava pelan, tangisnya yang di tahan terdengar agak tersendat-sendat hingga membuat sang ayah mau tak mau melepaskan pelukan dengan sekali hentakan kuat.
Jordan kembali merendahkan tubuhnya, memegang kedua bahu Lava pelan, "Ava kenapa, Nak? Tolong kasih tau Papa, Papa khawatir kalau liat Ava nangis begini."
Lava menggeleng pelan, kedua lengannya berusaha meraih leher sang ayah untuk di peluk. Menyembunyikan tangisnya di tengkuk sang ayah sebelum berbisik, "Ava juga kangen Mamanya Ava."
Terdengar lucu saat Lava mengatakan rindu kepada sosok yang bahkan tak pernah ia jumpai sekalipun di dalam hidupnya. Namun, Lava tidak tau harus mendefinisikan seperti apa untuk rasa sesaknya kali ini. Mungkin saja itu memang rindu untuk sang ibu yang tak pernah ia sentuh, kan?
Jordan merasakan dadanya di tekan kuat, pria itu lantas mengeratkan pelukan mereka tanpa pikir panjang. Jordan benar-benar tidak punya jawaban untuk ucapan Lava kali ini. Bagaimana ... bagaimana caranya Jordan mengobati rasa rindu yang sedang mendera buah hatinya?
...
Pria bertato itu tampak bersimpuh di lantai, memandangi wajah damai sang anak yang sudah terlelap nyaman di atas kasur. Helaan nafasnya kembali terdengar pelan, Jordan bangkit setelah menyempatkan diri untuk mengecup sayang dahi sang anak.
Tungkainya melangkah menuju sisi ranjang yang lain, menyempatkan diri meraih ponselnya sebelum mendudukkan diri di atas ranjang. Jemari panjang itu bergulir sebelum berhenti di salah satu kontak seseorang.
Hanya beberapa detik saja, panggilan itu langsung terhubung.
"Pa?"
[Hm? Ganggu kamu.]
Jordan terkekeh pelan mendengar ayahnya menggerutu, "Mama masih marah?"
[Kenapa tanya Papa? Dia kan Mama kamu.]
"Dia kan istri Papa."
[Yang selalu kamu bikin nangis setiap waktu.]
Keheningan mulai menguasai, Jordan kembali terdiam karena merasa tak enak hati atas penuturan sang ayah. Walaupun ia yakin Gerald mengatakan itu dalam bentuk gurauan, tetap saja hatinya menolak untuk ikut tertawa.
Jordan teramat sadar jika dirinya memang sering menjadi sumber tangis sang ibu. Sejak sepanjang masa ia terkurung di balik jeruji besi, hingga dirinya kembali bebas ... Jordan masih menjadi penyebab dari jatuhnya air mata wanita itu.
Berkali-kali Jordan melafalkan permintaan maaf untuk sang ibu, namun, apakah itu sebanding? Jordan juga merasakan sakit di sini, bukan lagi tentang sakit karena tidak di percaya, tapi, sakit karena kehadiran anaknya yang tidak di terima.
[Datang ke sini, tidak mau bujuk Mama mu? Tadi siang dia nangis lagi, katanya kangen sama jagoannya.]
Jordan mengangguk singkat, "Besok Jo ke rumah, tapi ... Jo nggak sendiri."
Kemana pun Jordan melangkah, tak kan ia lanjutkan jika Lava tertinggal di belakangnya.
[Iyalah! Ajak cucu Papa juga, Papa kangen jahilin dia sampai mau nangis.]
Tawa di seberang sana setidaknya mampu menjadi penenang untuk malam ini. Jordan tersenyum haru sembari menatap wajah damai Lava yang berbaring di sebelahnya.
Setidaknya sang ayah sudah menerima putranya, kan? Mungkin itu cukup untuk saat ini.
.
.
.
.
haiii, adakah yang kangen aku---eh kangen book ini maksudnya haha
maaf, ya, kemaren aku bilang mau usaha up setiap hari, eh malah ngilang berhari-hari, maaf:(
enjoy, guys!
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.

KAMU SEDANG MEMBACA
BAD PAPA 2
Fiksi Umum📌NOTED: Season kedua dari cerita BAD PAPA. Saya menyarankan untuk baca bagian pertama supaya nanti kedepannya tidak kebingungan. Enjoy this story', guys!! ... Keseharian Jordan dan putra kecilnya di rumah yang baru. Sebuah rumah sederhana, namun, p...