25. Dinding Tak Kasat Mata

5.1K 517 39
                                    

Gerald menoleh saat merasakan sofa di sebelahnya ikut memberat, terlihat sang istri yang sekarang memasang wajah lesu, entah karena apa. Gerald yang sedari tadi tengah melihat-lihat hasil fotonya bersama Lava beberapa hari yang lalu lantas tersenyum hangat saat Lauren ikut melihat layar ponsel miliknya.

"Lihat, Lava lucu, ya?" Pria itu agak menggeser ponsel agar Lauren bisa lebih jelas melihat gambar cucu mereka, "wajahnya mirip seperti gadis yang pernah Jo kasih tunjuk fotonya waktu dia masih SMP."

Kali pertama Jordan memperkenalkan seorang gadis kepada mereka walau hanya lewat foto yang di ambil secara diam-diam. Jordan saat itu mengakui perasaannya dengan lantang seolah gadis itu sudah menjadi miliknya sejak lama.

Lauren menatap wajah bulat Lava yang tampak cemberut di ponsel sang suami, perlahan perasaan terluka kembali membelenggu hatinya. Tiap kali wajah anak itu terekam oleh matanya, Lauren merasa ribuan pisau menghujam dirinya.

Sejak hari pertama bertemu, Lauren secara naluri menyayangi Lava seperti dia menyayangi Jordan, karena, yang Lauren tau, di dalam tubuh Lava mengalir darah putranya. Semua yang sudah terjadi perlahan Lauren lupakan, Lauren dengan senang hati membuka lembaran baru bersama Lava.

Namun, pengakuan Jordan hari itu membuat pandangannya berubah. Tak ada setitik pun darah Jordan mengalir di tubuh Lava. Anak itu hanyalah orang asing yang kedatangannya membuat masa depan Jordan yang sudah ia susun sedemikian rupa rusak seketika.

Pertanyaan tentang 'kenapa harus putranya yang menanggung getah dari perbuatan orang lain?' terus berputar, sehingga menutupi perasaan sayang yang pernah tumbuh.

"Rasanya baru kemarin saya gendong dia dari rumah sakit, sekarang dia udah sekolah ... cucu kita udah besar, ya?"

Lauren memejamkan matanya sesaat, "Dia bukan cucu kita."

"Kenapa?" tanya Gerald masih dengan mempertahankan senyumnya.

"Karena dia bukan anak Jordan! Dia cuma orang asing yang udah ngerusak masa depan Jordan!" balas Lauren dengan menekan semua kata-katanya.

Mendengar semua itu cukup membuat Gerald mendatarkan ekspresi wajahnya. Ponsel di matikan begitu saja, setelahnya Gerald melempar benda persegi itu ke atas meja tanpa ragu.

"Hanya karena itu?" tanya Gerald yang langsung mendapatkan wajah kebingungan sang istri, "hanya karena itu kamu hilangin semua rasa simpati untuk Lava, Lauren? Mana Lauren yang dulu membujuk saya setiap hari agar Lava di terima, setelah semuanya ... kamu menolak kehadiran dia?"

Tanpa bisa di cegah air mata Lauren mengalir begitu saja, perasannya kembali terkoyak mendengar semua kalimat yang Gerald ucapkan.

"Aku pikir dia anak Jordan, Mas, dengan fakta kalau dia cuma buah hasil hubungan wanita itu dengan orang lain, kamu pikir aku masih bisa terima? Berapa banyak penderitaan yang Jordan alami hanya demi orang asing itu?" tanya Lauren di sela isak tangisnya. Lauren tak ingin menaruh benci, namun, naluri seorang ibu jelas tak ingin jika anaknya menderita terlebih karena orang lain.

Ibu mana yang rela melihat masa depan anaknya hancur hanya demi menanggung getah dari kesalahan orang lain?

"Dia cuma anak kecil, Lauren," ucap Gerald berusaha memberi pengertian.

"Sekarang dia emang cuma anak kecil, dia pasti tumbuh, Mas! Setelah dia dewasa, bayangkan berapa banyak beban lagi yang harus anak aku tanggung hanya untuk menghidupi dosa orang lain?!"

Mendengar sang istri yang semakin terisak pilu, dengan cepat Gerald meraih tubuh wanita yang ia cintai untuk di peluk erat. Gerald sadar Lauren benar-benar berubah setelah pengakuan yang Jordan berikan malam itu, perubahannya terlalu besar, tidak mungkin ia tak menyadarinya.

"Kita harus bawa Jordan pulang, Mas, udah cukup ... udah cukup dia sendirian selama ini," bisik Lauren di pelukan sang suami.

Lauren ingin mengembalikan semua yang telah hilang dan menghilangkan semua hal yang seharusnya tidak pernah ada sejak lama, hanya itu.

...

"Kok Ava nggak pernah cerita-cerita lagi sama Papa?" tanya Jordan sembari menatap Lava yang tengah asik membaca buku cerita bergambar.

Lava mendongak, menatap Jordan yang sekarang berbaring di atas sofa. Posisi Lava duduk di atas karpet sehingga dirinya harus mendongak sedikit agar bertemu dengan mereka sipit sang ayah.

"Ava enggak punya cerita apa-apa lagi, Papa, semuanya biasa aja."

Jordan terkekeh pelan karena merasa kalimat yang Lava katakan terdengar lucu untuknya, "Bener?"

Sang anak hanya mengangguk sebelum kembali melanjutkan kegiatan membacanya. Ia sudah mulai lancar membaca sekarang dan hal itu membuat Lava menjadi bersemangat untuk terus membaca.

Melihat Lava yang kembali fokus, Jordan hanya bisa tersenyum sambil menatap figur wajah Lava yang terlihat sempurna. Perlahan, pria itu beralih menatap televisi yang di biarkan padam. Netra sipit itu menyendu, walaupun hanya hal kecil, Jordan tau putranya mulai berubah sejak kepulangan mereka dari rumah orang tuanya beberapa hari yang lalu.

Jordan benar-benar tidak pernah lagi mendapati Lava yang cerewet dan suka bercerita. Sekarang ia temukan lagi Lava yang pendiam, seolah takut untuk menyuarakan perasannya.

"Besok Ava sekolah di anterin Papa, ya, Nak?"

Lava kembali mendongak, "Ava bisa berangkat sama Viel, nanti Papa telat kerja. Ava takut nyusahin Papa terus."

Kalimat terakhir di katakan dengan intonasi yang begitu pelan, namun, masih bisa Jordan dengan walaupun sedikit samar. Netra sipit Jordan terpejam erat dengan perasaan cemas yang bergemuruh, memenuhi relung hatinya.

"Kapan Ava nyusahin Papa, sayang? Kapan Papa pernah bilang kalau Ava ... bikin Papa susah?" tanya Jordan dengan ikut berbisik, ia yakin Lava masih mendengar karena jarak mereka sama sekali tidak jauh.

Mata Jordan melirik Lava yang sekarang hanya mampu menunduk sambil memainkan jemarinya gelisah. Jordan sangat tidak suka ini, ia seperti bertemu dengan Lava yang dulu, yang selalu menutup diri dari Jordan dan memendam semua kegelisahannya seorang diri.

Kemana Jordan harus meminta agar putra kecilnya yang ceria kembali?

"Mau, ya, di anter Papa?" tanya Jordan sekali lagi.

Semua keresahan Jordan jelas berdasar. Ia takut, takut apabila Lava merasa kehilangan peran seorang ayah karena sering di tinggalkan. Jordan sadar waktu pertemuan mereka hanya pagi dan sore menjelang malam. Terlalu singkat untuk Lava yang sedang masa pertumbuhan.

Anggukkan pelan Jordan dapatkan kali ini, entah kenapa perlahan interaksi mereka terasa canggung. Bukan Jordan, tapi, Lava seolah membangun dinding tak kasat mata di antara mereka.

"Bobo, yuk?" Jordan bangkit dari tidurnya kemudian meraih tubuh kecil Lava ke dalam gendongannya untuk di bawa ke kamar mereka.

"Buku Ava," bisik Lava pelan, anak itu bahkan terlihat agak ragu untuk bersandar di bahunya.

Jordan menoleh hanya untuk memberikan kecupan di pipi tembam sang anak, "Biar nanti Papa yang beresin, sekarang tidur, ya?"

Mereka berbaring di atas ranjang dengan Jordan yang terus memeluk tubuh kecil itu. Seolah bila pelukannya terlepas sedikit saja akan membuat mereka terpisah jauh.

Lava merasakan kehangatan yang melingkupi seluruh tubuhnya, namun, kehangatan ini mulai membuatnya merasa takut. Takut apabila nanti ia kehilangan kehangatan ini. Lava tak ingin dirinya menjadi egois dan membuat Jordan terluka, sebisa mungkin ia akan melakukan semuanya sendirian.

Setidaknya, jika Jordan memilih tempat pulang yang baru, ia tak akan merasa terlalu kehilangan. Bukankah ini hanya tentang membiasakan diri? Lava jelas bisa melakukannya sekali lagi, kan?

.

.

.

.

semoga kalian masih menunggu
maaf karena hilang untuk waktu yang cukup lama menurut aku, maaf, ya?
kondisi aku agak kurang baik guys
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.

BAD PAPA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang