32. Bahagia Atau Tidak

4.4K 436 27
                                    

Tadi malam bisa di bilang benar-benar malam penuh kenangan bagi Anyelir. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ia kembali merasakan kehadiran Alendra di tengah-tengah keluarganya. Walaupun Anyelir tak bisa menyebutkan secara gamblang, baginya ini sudah lebih dari cukup.

Kehadiran Lava yang tiba-tiba ingin menginap menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Anyelir dan sang bunda. Bahkan, ketiganya tidur di kasur yang sama semalam. Saling memeluk dan bertukar cerita tentang Alendra yang Lava hanya ketahui sebagai saudara laki-lakinya.

"Enak, sayang?" tanya Sinta setelah meneguk air putih, ia terus memperhatikan Lava yang sarapan dengan sangat lahap.

Lava mengangguk semangat, semalam ia meminta untuk di masakan sayur sup yang dulu sering Anyelir berikan dan gadis itu benar-benar membuatnya dengan sangat baik.

"Enak, masakan Kakak dan Nenek selalu enak," puji Lava setelah menghabiskan sarapan paginya.

Ia menoleh pada Anyelir yang mengajukan cuti hari ini. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum sembari membereskan piring bekas yang mereka gunakan tadi.

"Terima kasih, udah masakin Ava sayur sup, Kakak," ucap Lava sembari tersenyum gemas.

Anyelir terkekeh pelan, "Sama-sama, ganteng."

"Lava, kita duduk di depan, yuk?" ajak Sinta yang langsung di angguki oleh Lava. Kedua orang itu mulai melangkah beriringan menuju sofa di ruang tamu, meninggalkan Anyelir yang memutuskan untuk mencuci piring terlebih dahulu.

Sinta menyalakan televisi agar suasana tidak terlalu hening. Cuaca yang cerah di luar sana tidak menganggu niat mereka yang memang hanya ingin bermain seharian di rumah saja. Sinta menatap lekat wajah bulat Lava dari samping, senyumnya kembali merekah tatkala berhasil merekam kembali masa kecil milik mendiang putranya.

Jika saja Alendra tak melakukan hal bodoh di masa lalu, mungkin saja mereka masih bisa berkumpul bersama. Tak hanya seorang cucu, Sinta juga akan mendapatkan seorang menantu yang bisa menjaga dan membimbing cucu dan anak laki-lakinya.

Sinta tak berbohong saat mengatakan bahwa kebenciannya sudah terkikis habis, itu benar adanya. Melihat Jordan tak lagi membuatnya merasa benci. Namun, rasa sakit kehilangan terkadang masih menghantuinya setiap waktu.

Dirinya tidak bisa menghapus apalagi mengobati sakit yang teramat itu. Semua lukanya terasa abadi, walaupun perlahan mengering, bekasnya tak akan pernah pudar.

Melihat Jordan yang mencintai dan menyayangi Lava tanpa syarat terkadang membuat Sinta kembali berpikir. Jika Alendra masih ada, mampukah pria itu menjadi seperti Jordan?

"Lava bahagia tinggal sama Papa?"

Lava yang tadi fokus menonton kartun di televisi lantas menoleh kearah Sinta. Anak itu tersenyum manis lalu mengangguk tanpa ragu, "Bahagia sekali. Mana mungkin Ava enggak bahagia waktu tinggal sama orang pertama yang buat Ava bahagia, Nek."

Bahkan jika ada kata di atas bahagia, Lava bisa tanpa ragu menyematkan itu untuk perasannya saat bersama sang ayah.

"Sebahagia itu?" tanya Sinta lagi, kali ini wanita itu mengelus puncak kepala Lava penuh kasih sayang, "kalau gitu, Nenek juga bahagia. Apapun yang jadi sumber kebahagiaan Lava, Nenek juga ikut bahagia."

"Ava juga bahagia karena ketemu Nenek dan Kakak, kalian juga buat Ava bahagia," ucap Lava dengan tulus. Dirinya benar-benar merasa ragu menaruh bahagia dengan wanita yang ia sebut sebagai 'Nenek'. Sebab, berapa kali pun ia mencoba, Lava selalu kecewa. Itu menjadi ketakutan tersendiri untuknya.

"Nenek seneng kalau Lava bahagia waktu sama Nenek. Jadi, Lava harus ingat satu hal, ya?"

Lava agak mendongak demi menatap wajah hangat Sinta yang benar-benar membuatnya nyaman hingga kegelisahan mulai berkurang bahkan nyaris menghilang.

BAD PAPA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang