"Dunia kembali memburuk, semakin hari semakin memburuk. Sampai aku bertanya, dimanakah titik terang itu?"
***
Rain saat ini tengah sendirian didalam kamar tepat pada pukul 12.03 malam, setelah semua tamu sudah benar-benar pulang. Rain membaringkan diri diatas kasur tanpa memadamkan lampu, terlalu malas untuk bergerak memadamkannya. Ia kemudian terpejam.
Tek! Tek! Tek!
Terdengar ketukan dari jendela. Hey, suaranya membuat Rain kembali membuka mata, lalu mengedarkan pandangannya keluar jendela.
Tek! Tek! Tek!
"Rain, aku tau kamu belum tidur. Tolong buka sebentar,"
Meskipun suara itu terdengar sayup-sayup, Rain tau persis suara itu milik siapa. Rain diam, menerka apa yang harus dilakukannya. sejujurnya, pria terbaik selama hidup Rain adalah dia yang kini sedang menunggunya, dia yang berdiri diluar jendela, dia yang sebenarnya tidak ingin Rain tinggalkan, dia yang memberikan hujan terindah, dia adalah Gryan Langit Ardinataga, putra tertua Faris, musuh terbesarnya.
"Raina.." dia kembali memanggil dari luar jendela.
Rain menggigit bibir bawahnya. Meremas kuat-kuat selimut dengan kedua tangannya. Sejujurnya, sejak tadi ia menahan sesak. Benci dan cinta itu berperang dahsyat. Benci, ia terus-menerus menyerang hati, mencoba menghancurkannya. Sementara Cinta masih berusaha mempertahankan hati itu.
Langit yang mengubah ingatan buruk Rain tentang hujan. Dan apabila keadaan sudah terbalik seperti ini bagaimanakah mengerikannya hujan bagi Rain?
Tek! Tek! Tek!
Ketukan dijendela tak hentinya terdengar. "Rain, aku mohon, sebenarnya ada apa? Aku butuh penjelasan, aku salah apa?" suara Langit terdengar berat, dan sepertinya bersedih.
Entah sampai kapan Rain akan mengabaikan Pria itu. Dan sampai kapan Langit akan terus berdiri diluar sana. Semesta dalam suram, awan mendung diatas sana menyembunyikan bintang gemintang dan rembulan, pertanda semesta akan menangis sebentar lagi.
"Please, come to the window," Langit melirih dalam keputus asaan, tepat setelahnya hujan datang membasahi tubuh pria itu yang tertunduk menghadap jendela kamar Rain. Dingin seketika menusuk.
Ada apa? Sebenarnya ada apa? Langit tak hentinya bertanya-tanya.
Sementara itu, Rain menangis dalam diam, menutupi seluruh tubunya dengan selimut, ia berharap Langit segera pulang karena Rain tidak tega jika dia harus kehujanan.
***
Keesokan harinya.
Rain barusaja bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Dia memasang dasi didepan cermin, dengan berbagai harapan bahwa hari ini lebih baik daripada kemarin.
Tek! Tek! Tek!
Rain menelan ludah dan seketika melemah begitu suara khas yang biasa ia dengar pagi ini kembali terdengar. Rain yang menyadari itu segera menatap kearah jendela yang tertutup horden putih. Siluet setengah tubuh tegap seorang pria dapat Rain lihat dari dalam. Sepagi ini? Tidak mungkin Langit kembali lagi.
Siluet itu menuliskan sesuatu dijendela dengan jemarinya, entah apa yang ditulisnya, sepertinya gabut.
Rain akhirnya menghampirinya, membuka horden dan ia terkejut melihat sesuatu dijendela. Drop water dijendela dan hasil tulisan yang di ukir siluet yang barusaja terlihat. Itu pasti karena semalam hujan jadi jendelanya basah.
Perlahan Rain tersenyum dan air matanya segera menitik melihat sosok yang berdiri dibalik jendela kini tersenyum kearahnya dengan wajah samar-samar oleh Drop water dan terlihat pucat.
"Selamat pagi, Raina."
Rain membuka jendela, "Al? Kamu berdiri disini hujan-hujanan sejak semalam?" tanya Rain begitu khawatir melihat kondisinya basah kuyup sisa hujan semalam.
"Gapapa." ucap Langit dan menaiki jendela itu memasuki kamar Rain. "Semalam aku nungguin kamu buka jendelanya. Kamu kenapa? Kenapa berubah?" tanya Langit begitu ingin sekali penjelasan dari Rain.
Rain kebingungan, bagaimana caranya menghadapi pria dihadapannya ini.
"Ra, kenapa nangis?" tanya Langit khawatir seraya menyeka air mata dipipi Rain dengan jemarinya dan terus membelai permukaan wajah perempuan itu.
"A___Al,"
"Hm?"
"Siapa Sean?"
Beberapa saat Langit terdiam. Dia menatap Rain dengan lamat, "Kamu ragu bahwa dia adalah ayahku?"
"Kamu bohong kan, al?" Rain berucap.
"Ra__"
"Al! katakan sejak kapan kamu menyembunyikan itu?"
"Maksud kamu?"
Air mata dipelupuk mata Rain yang sempat kering kini kembali mengalir. "Faris, dia Ayahmu atau bukan?"
Lengang.
"Al jawab. Jangan diam, sekarang aku yang butuh penjelasan."
Lengang.
Langit spontan memeluk Rain dengan begitu erat untuk menenangkan dan meredakan tangisnya. Langit seolah-olah sudah tidak dapat mengelak lagi dan dia beralih memeluk Rain untuk membiarkannya tetap tenang.
"Faris yang bilang sendiri kalo kamu anaknya, Al" ucap Rain disela tangisnya.
"Maafin aku," Langit berbisik ditelinga Rain.
"Aku juga baru tau bahwa sebenarnya Ayah yang bersalah karena dulu kamu bilang namanya Haris. Iya, aku akui Faris adalah Ayahku," tangis Rain semakin kencang mendengar penuturan Langit dan pelukannya semakin mengerat. "Aku gak berani bilang ini sebelumnya sama kamu, Ra. Aku takut kamu bakal benci aku. Aku gak mau kita jauh, aku mencintaimu. Kumohon, jangan pernah memutuskan hubungan kita karena kesalahan Ayah dimasalalu."
Rain tak kuasa berbicara apapun lagi. Hatinya begitu sakit, karena dia baru mengetahui hal itu setelah sekian lama bersama Langit. "Aku benci Al, aku membencimu,"
"Tapi jangan putuskan hubungan kita, Ra"
"Percuma juga! Aku akan bertunangan sama Jeva."
"Maafin aku, Ra."
Rain menggeleng kuat. Perlahan, Langit mulai melonggarkan pelukannya, ia tidak ingin kehilangan perempuan ini, Langit mencium bibir Rain.
***
___Sunday, November, 10, 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Rain (END)
Fiksi Remaja"Kita pernah jatuh cinta, pernah bersama namun akhirnya aku harus rela," . Hujan adalah fenomena paling mengerikan dalam hidup Rain. Dia keras, kejam, berkuasa, namun kecantikan dan kehormatannya begitu dijunjung tinggi. Dunia Rain seolah berubah s...