Raline menyiapkan hatinya begitu sampai di depan ruang rawat Nizar. Entah kenapa, rasanya berat sekali untuk masuk. Ia hanya tak siap menghadapi diamnya Nizar seperti biasanya. Ia tak sanggup melihat binar putus asa dalam tatapan anak itu, yang sesalnya belum mampu untuk Raline tepiskan.
Beberapa jam lalu, Raline menerima pesan dari Aidan jika anaknya itu akan mengunjungi Nizar. Entah sekarang masih di dalam atau tidak, Raline tak yakin. Sebab, Aidan selalu pergi begitu saja setiap kali datang, hanya karena tak suka terlalu lama diabaikan. Kemudian anak itu berakhir sedih semalaman dan membuat Raline makin merasa bersalah.
Raline membuka pintu ruang rawat Nizar dengan gerakan pelan. Ia lantas berjalan menuju ranjang dan mendapati dua anaknya sedang tidur bersisian. Melihat itu, Raline merasa hatinya begitu hangat sampai matanya berkaca-kaca. Dalam hatinya ia bersyukur sebab mereka terlihat sudah tak lagi saling diam.
Raline membereskan barang-barang di nakas dengan gerakan pelan agar anak-anaknya tidak terbangun. Melihat sisa martabak, ia pun tersenyum. Sepertinya Aidan sudah kehabisan cara sampai akhirnya membawa makanan kesukaan mereka itu ke sini.
Di tengah kegiatannya, Raline mendengar lenguhan kecil. Ia lantas mendekati ranjang dan melihat Nizar seperti gelisah. Tangan wanita itu terulur mengusap kening Nizar yang berkeringat, sadar jika suhu tubuh anak itu meningkat.
"Abang ...." Raline mengusap lembut pipi Nizar sampai anak itu akhirnya membuka mata. "Kenapa, sayang? Ada yang nggak nyaman?"
Nizar masih berusaha mengumpulkan nyawa. Ia mengerjap hingga menyadari keberadaan bundanya. Tapi karena merasa pusing, ia sejenak kembali memejamkan mata.
Raline mengambil termometer di laci nakas untuk mengecek suhu tubuh Nizar. Mendapati angka yang cukup tinggi, ia mulai khawatir. Anak itu mengalami demam yang naik-turun cukup sering. Ia takut jika itu merupakan gejala infeksi serius. Tapi Raline masih berdoa itu hanya tanda bahwa imun Nizar melemah yang dipicu oleh kondisi stress berlebih.
"Abang demam, pusing ya kepalanya?" tanya Raline seraya memijat lembut kening Nizar. "Abang ada diare atau sakit perut nggak belakangan ini?"
Nizar menggeleng pelan.
"Dadanya suka sakit atau sesak nggak?"
Lagi, Nizar menggeleng. Ia menurunkan tangan sang bunda dari keningnya dan menatap dalam wajah teduh wanita itu. Rasanya rindu sekali menatap wajah bundanya dalam jarak sedekat ini. Sebab sejak kemarin, Nizar selalu berusaha menghindar.
"Sebentar ya, Bunda coba keluar dulu buat minta obat." Raline berniat untuk keluar, tetapi ia merasakan lengannya ditahan. Ia kembali berbalik, mendapati Nizar memandangnya dengan sudut mata yang berair.
"Bunda ...."
Hati Raline berdesir ketika mendengar suara lirih itu. "Iya, sayang. Bunda di sini, kenapa?"
Nizar perlahan mencoba untuk duduk, tak menolak ketika Raline membantunya. Gerakan itu membuat Aidan juga akhirnya terbangun. Anak itu cukup terkejut mendapati kehadiran bundanya.
"Bunda? Ya ampun, Adek ikut ketiduran. Maaf ya, Bunda."
Raline tersenyum pada Aidan, lantas mengangguk singkat. "Nggak papa, Bunda seneng malah karena Adek mau istirahat." Ia kemudian kembali menatap Nizar yang terlihat tak sanggup duduk, tapi tetap memaksakan diri.
"Bun ...."
"Iya, Abang, gimana? Abang nggak papa kalau mau tiduran, pusing kan kepalanya?"
Nizar menggeleng, menahan tangan Raline yang hendak membantunya kembali berbaring. Ia tatap iris mata bundanya begitu dalam, sampai akhirnya bergumam, "Maaf ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksa Kasih✔️
Novela JuvenilKatanya, anak sulung adalah pilar yang kokoh. Maka untuk setiap kelemahan yang ia punya, Nizar begitu membencinya. Katanya manusia memang tidak ada yang sempurna, tetapi Nizar hidup di sekeliling orang yang utuh tentang segalanya. Berjalan di palin...