Hari itu, umurnya masih menginjak 10 tahun. Nizar senang sekali karena akan diadakan pesta di rumahnya. Ia selalu antusias setiap kali rumah didekor mewah, banyak jenis kue, lampu warna-warni, juga letupan kembang api ketika pesta berlangsung.
Sedari pagi, ia bermain di halaman bersama adik juga para sepupunya yang telah datang. Berlarian ke sana-sini, menganggu jalan orang-orang yang sibuk menyiapkan segala keperluan pesta. Ia banyak sekali tertawa seolah-olah itu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Meski orang tuanya berkali-kali memintanya istirahat, Nizar tetap bergabung dalam permainan yang baginya sangat menyenangkan.
Malamnya, pesta dimulai. Nizar telah memakai pakaian yang disiapkan oleh sang bunda, senada dengan milik adiknya. Ia dapat melihat orang-orang mulai berdatangan dan ia mencari-cari keberadaan adik juga para sepupunya. Ia memang datang terlambat karena harus ke kamar mandi lebih dulu.
Di tengah kebingungannya, Nizar tiba-tiba merasakan sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. Ia terpaksa mengikuti langkah lebar opanya yang entah akan membawanya ke mana. Nizar makin tak mengerti saat Tirta mengajaknya menaiki tangga yang berada di area dapur, pun mengisyaratkan beberapa maid untuk tetap diam.
"Opa, sakit, jangan keras-keras," ucap Nizar saat cengkeraman pada pergelangan tangannya semakin kuat. Sayangnya, ia tak mendapatkan tanggapan apa pun. Pria itu terus membawanya menyusuri koridor di lantai atas hingga tiba di depan kamarnya.
Nizar dapat melihat seorang wanita yang selama ini membantu mengurus keperluannya. Ia menatap Bi Saras dengan mata yang mulai memerah menahan tangis. "Bibi, bantuin Abang. Abang mau ke bawah sama yang lain," ucapnya dengan suara bergetar takut. Tapi, wanita itu hanya memandangnya dengan tatapan iba tanpa berniat membantu.
"Jangan berani keluar kamu! Diam di sini sampai semua acara selesai!"
Nizar betulan menangis saat sang opa menghempas dirinya memasuki kamar mandi yang berada di kamarnya. "Opa, Abang pengin ke pesta juga, kenapa nggak boleh?"
"Itu hukuman karena kemarin kamu nggak dapat nilai bagus. Mending kamu di sini daripada diejek sama orang-orang di bawah."
Nizar menggeleng keras. "Nggak mau, Opa. Abang mau ikut, please."
"Kamu awasi dia di sini, jangan sampai dia kabur," ucap Tirta pada Bi Saras yang berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan kepala tertunduk. "Buka pintunya kalau acara sudah selesai. Zafran dan Raline biar saya yang urus, kamu cuma harus bikin dia diem di sini. Ngerti?"
Nizar menangis semakin deras ketika Tirta hendak menutup pintu kamar mandi. Ia berusaha melawan, tapi tubuh kecilnya justru didorong kuat hingga ia tersungkur ke lantai. Nizar berteriak saat pintu tertutup sempurna dan terkunci dari luar. Ia memukuli pintu, memohon-mohon agar dikeluarkan dari tempat dingin itu.
"Opa, Opa bukain! Bi Saras, Abang mau ke bawah, tolong bukain pintunya! Jangan kunciin Abang di sini, Abang nggak suka! Bibi, buka pintunya!" Nizar terus berteriak dan menggedor pintu sekuat tenaga. Namun karena tubuhnya memang sudah lelah dari awal, akhirnya anak itu hanya dapat terduduk dan menangis tanpa henti.
Nizar bersandar pada pintu, menekuk kedua kaki dan menenggelamkan wajahnya yang penuh air mata. Malam itu ia habiskan dalam ketakutan, kedinginan, juga kelaparan. Tubuh mungilnya ia peluk erat dan Nizar hanya dapat membayangkan betapa meriahnya pesta di bawah sana. Rencana-rencana seru yang sudah ia susun bersama adik dan para sepupunya, saat itu hanya bisa Nizar ratapi dalam-dalam.
Nizar masih ingat ketika kejadian bertahun silam itu menciptakan amarah besar bagi ayah bundanya. Malam itu ia ditemukan nyaris tak sadarkan diri. Setelah peristiwa itu, Nizar tak pernah lagi melihat keberadaan Bi Saras. Sampai ketika ia beranjak remaja, Nizar mulai sadar bahwa opanya melimpahkan kesalahan pada wanita itu. Nizar bahkan baru berani membicarakan kenyataan itu ketika berhasil keluar dari rumah opanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/378511006-288-k540102.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksa Kasih✔️
Teen FictionKatanya, anak sulung adalah pilar yang kokoh. Maka untuk setiap kelemahan yang ia punya, Nizar begitu membencinya. Katanya manusia memang tidak ada yang sempurna, tetapi Nizar hidup di sekeliling orang yang utuh tentang segalanya. Berjalan di palin...