28-Sakit Tak Berujung

1.4K 226 69
                                    

Jika menjadi seorang ibu hanya dinilai dari ikatan darah, Raline akan menjadi orang yang menentang pendapat itu. Sebagai seorang yang membesarkan Nizar dengan limpahan kasih, Raline benci sekali ketika ada orang yang meragukan dirinya sebagai ibu Nizar. Sebab sepanjang hidupnya, Raline mencintai kedua putranya tanpa membeda-bedakan mereka. Ia rawat mereka dengan cinta yang sama juga hak yang tiada beda.

"Bunda, Abang bikin buket bunga buat Bunda."

"Bunda capek, ya? Sini Abang peluk."

"Bunda, Abang sayang sama Bunda more than to the moon and back."

"Bunda Raline itu tercantik dan terbaik sedunia."

Raline selalu merasakan kehangatan pada setiap kalimat sayang yang Nizar beri untuknya. Hari ibunya selalu dirayakan, ulang tahunnya pun tak pernah terlewati tanpa hadiah berkesan. Ia menjalankan peran itu bertahun-tahun lamanya, dan Raline tak pernah terima ketika seseorang mengatakan bahwa Nizar bukanlah anaknya.

Namun hari ini, ia merasa sangat hancur. Raline menjalani hidup dengan keluarga kecilnya tanpa pernah memikirkan batas di antara mereka. Nizar dan Aidan adalah anaknya, hal itu mutlak baginya. Raline tak pernah berpikir bahwa di suatu hari yang menyesakkan, Nizar harus mengetahui fakta menyakitkan itu hingga berakhir hancur lebih darinya.

Rasanya baru pagi tadi ia memeluk Nizar teramat dalam, yang entah kenapa terasa lebih hangat dari biasanya. Namun kini, ia harus terduduk di kursi tunggu rumah sakit dan mendapat kabar bahwa putranya jatuh dalam kondisi kritis. Ia teramat sedih, sedih yang bahkan tak mampu ia jelaskan lewat kata-kata.

Raline hanya terdiam dengan air mata yang bercucuran. Kedua tangannya masih gemetaran sejak putranya dilarikan ke ICU karena mengalami gangguan irama jantung yang disebabkan oleh anemia berat. Lagi-lagi Nizar harus mendapat donor darah yang tentu tidaklah sedikit. Dan penyesalan terbesarnya, ia tak bisa ikut andil menyelamatkan putranya dengan menjadi pendonor.

Raline mengangkat pandangan begitu mendengar langkah kaki yang mendekat dengan cepat. Melihat figur suaminya, entah kenapa ia justru ingin semakin melampiaskan sesak yang mencekik dada.

"Tolong jangan jelasin apa pun, aku nggak sanggup," rintih Raline saat Zafran berada di depannya dengan mata sembab dan raut penuh lelah. Ia hanya tak ingin mendengar betapa buruk kondisi Nizar sampai seorang yang ia kenal tangguh itu kini sama hancur dengannya.

Zafran menggenggam tangan Raline yang gemetaran. Ia sejenak menunduk, menarik napas panjang untuk menegarkan hati. "Anak kita bakal baik-baik aja, aku janji."

"Ini salahku kan, Bang? Aku harusnya nggak ngelawan Papa, aku harusnya bisa lebih nahan diri."

Zafran duduk di samping Raline, lantas membiarkan bahunya menjadi sandaran wanita itu. "Enggak, kamu nggak salah, sayang. Aku janji semua akan kembali kayak semula. Semua akan berlalu, pasti berlalu."

"Semua ini salahku, aku yang salah. Aku ibu yang nggak baik, Bang."

Zafran mengusap bahu Raline kala wanita itu terus meracau dan merasa bersalah. "Kamu boleh nangis sampai kamu lega, aku di sini. Tapi tolong jangan bilang kalau kamu bukan ibu yang baik. Kamu ibu yang terbaik buat anak-anak kita. Kamu yang terbaik."

Zafran terus memberikan usapan lembut pada lengan Raline. Namun beberapa saat kemudian, ia merasakan beban di bahunya memberat dan ia mulai dirundung cemas. Zafran menahan tubuh istrinya yang jatuh terkulai dalam penjagaannya.

"Sayang ...." Zafran menepuk pelan pipi Raline saat wanita itu menutup rapat kedua mata dengan jejak air mata di pipinya. Dunianya semakin hancur ketika ia tak mendapatkan respons dari Raline yang jatuh tak sadarkan diri.

Selaksa Kasih✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang