33. Our Plans

86 12 6
                                    

Helikopter akhirnya mendarat dengan mulus di landasan, baling-balingnya perlahan berhenti.

Julius duduk bersandar di kursinya, ekspresinya masih berupa campuran antara kejengkelan dan sedikit hasrat yang masih terpancar di matanya.

Saat helikopter berhenti, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri setelah momen menegangkan yang baru saja kami alami. Jelas bahwa ketegangan di antara kami belum sepenuhnya teratasi dan aku dapat mengatakan bahwa Julius mungkin akan bersemangat untuk melanjutkan apa yang telah kami tinggalkan begitu ada kesempatan. Pikiran itu membuatku merinding sekaligus dipenuhi kegembiraan.

Julius membuka sabuk pengamannya dan bangkit dari tempat duduknya, gerakannya sedikit lebih kasar dari biasanya. Dia melirik ke arahku, matanya masih gelap karena hasrat yang belum terpenuhi. "Ayo pergi," katanya singkat, menunjuk ke arah pintu helikopter.

Aku bisa merasakan ketidaksabarannya, keinginannya untuk melanjutkan apa yang telah terganggu oleh pendaratan. Aku mengangguk tanpa suara sebagai tanggapan dan membuka sabuk pengamanku, mengikutinya saat kami bersiap untuk keluar dari helikopter dan menjelajah ke pulau Lampedusa.

Aku tidak bisa tidak melirik bagaimana Julius menenteng tas kecil yang aku bawa. Entah bagaimana pemandangan itu cukup menggemaskan. Aku mengulum senyum dengan tidak sadar saat berjalan di sisinya sementara tangannya yang bebas menuntunku.

Julius memperhatikan senyumku dan mengangkat sebelah alisnya ke arahku dengan rasa ingin tahu. Dengan suara serak, dia bertanya, "Apa yang lucu?" tanyanya. Langkah kakinya tidak berhenti, tatapannya tetap lurus ke depan saat dia menuntun jalan menuju terminal.

Aku hanya menggelengkan kepala, masih tersenyum sendiri. Ada sesuatu yang anehnya menawan saat melihatnya membawa tas kecilku, begitu kecil dibandingkan dengan tubuhnya yang tinggi, dan caranya menuntunku dengan tangannya yang lain.

Kami berjalan dalam diam selama beberapa saat hingga kami mencapai gedung terminal. Bandara pulau kecil itu tampak sepi dan kosong, hanya ada beberapa orang yang lalu lalang.

Saat kami memasuki terminal, tempat itu tampak sepi dan agak dingin. Satu-satunya suara di udara adalah dengungan sistem pendingin udara dan langkah kaki lembut yang bergema pelan saat kami berjalan. Genggaman Julius di tanganku terasa protektif, menuntunku saat kami bergerak di dalam ruangan. Ketiadaan orang lain menambah suasana privasi, membuatku merasa agak terisolasi dari dunia luar.

Saat kami melangkah lebih jauh ke dalam terminal, seorang pria berdiri tak jauh dari pintu keluar. Dia memakai setelan serba hitam dan terlihat profesional. Tatapannya langsung tertuju pada Julius begitu kami mendekat. Tanpa perlu kata-kata, pria itu dengan sigap berjalan mendekat, sedikit membungkukkan badan dengan hormat.

"Semua sudah siap, Tuan," katanya singkat, lalu matanya sekilas melirik ke arahku, penuh rasa ingin tahu yang disembunyikan dengan baik.

Julius hanya mengangguk kecil. "Mobil?"

"Parkir tepat di luar, Tuan."

Pria itu kemudian mengambil tas kecilku dari tangan Julius, meskipun aku hampir ingin mengatakan itu tidak perlu. Namun Julius tidak menunjukkan keberatan. Sebaliknya, genggaman tangannya di tanganku mengencang sedikit, seolah ingin memastikan aku tetap di sisinya.

Pria itu melirikku sekilas lagi, mungkin bertanya-tanya siapa aku dan apa yang sedang kulakukan dengan Julius. Tetapi aku tidak mengatakan apa-apa; hanya tetap diam di samping Julius.

Tanpa sepatah kata pun, Julius menuntunku keluar, tangannya masih memegangku dengan erat.

Pria itu mengikuti di belakang kami sambil membawa tasku. Kami melangkah keluar ke bawah sinar matahari Mediterania yang hangat dan aku meluangkan waktu sejenak untuk mengamati sekeliling. Bandara kecil ini terletak tak jauh dari garis pantai. Daerah di sekitar kami cukup damai, dikelilingi oleh bukit-bukit rendah dan tebing-tebing, dan aroma angin laut memenuhi udara.

JuliusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang