"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang? Udah nggk betah dirumah?"
Suara itu langsung terdengar saat Radit menutup pintu rumah. Ibunya. Ratna sedang membaca buku di ruang tamu, dia duduk membelakangi pintu rumah. Kacamata baca bertengger di hidung wanita berusia hampir lima puluh tahun itu. Ratna langsung menoleh pada putra bungsunya yang belum beranjak setelah menutup pintu rumah.
"Kamu nggak denger ucapan ibu, Mahardika!?"
Ratna sedikit meninggikan suaranya ketika mendapati Radit yang diam.
Sementara itu raut wajah Radit datar, drama ibunya telah dimulai. Padahal dia hanya telat setengah jam itu pun karena ada kecelakaan di jalan raya sehingga dia harus memutar jalan lebih jauh. Tanpa mau mendengar alasan, Ratna langsung menuduh yang tidak tidak mengatakan anak bungsunya itu tidak betah dirumah.
Seperti inilah kehidupan Radit, dia hidup dibawah kekangan ibunya. Jam pulang sekolah bahkan diatur sedemikian rupa. Ratna hanya mentolelir keterlambatan pulang sekitar 15 menit lebih dari itu, dia menganggap putra bungsunya itu kelayapan.
Radit harus izin jika ada kegiatan. Ibunya harus tau apapun kegiatan putranya. Jika tidak diizinkan keluar maka Radit tidak boleh keluar. Dan jika Radit sedang di luar, ketika ibunya menelfon menyuruhnya pulang maka harus pulang segera. Melanggar peraturan itu maka dia dianggap anak yang membangkang.
Padahal kakaknya Raditya. Nisa. Dia bisa lebih bebas, tidak pernah ada kata kekangan di kamus Nisa. Dia lebih bebas, padahal kakaknya itu seorang perempuan. Hal itu yang membuat Radit jengkel setengah mati.
Tanpa bicara sepatah katapun Radit langsung melenggang menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamarnya berada. Dan hal itu membuat Ratna naik pitam. Dia membanting buku yang semula dibaca ke meja kayu.
"Mahardika, sopankah begitu pada orang tua!?"
Ratna berdiri dari tempat duduknya. Sedangkan Radit masih diam tidak mengeluarkan suara. Dia berhenti tepat di tengah anak tangga.
"Mahardika!?"
Ketika Ratna memanggil Radit dengan marga keluarga maka wanita itu sudah masuk ke puncak amarahnya.
"Radit harus ngomong apa Bu? Sekalipun Radit jujur ibu nggak akan percaya, apa ibu pernah sekali saja memikirkan perasaan Radit? Radit itu anak laki laki Bu. Tidak bisa ibu kekang seperti ini."
Radit berusaha untuk berkata dengan lembut. Dia tidak akan pernah meniru tabiat ayahnya, tidak akan. Meski pun Ratna sama keras kepalanya dengan Himawan, ayahnya.
"Jika begini terus Radit bisa aja ketergantungan sama ibu. Radit nggk bisa ngambil keputusan sendiri, karna apa? Semuanya udah ibu siapin sedangkan Radit? Radit tinggal ngerjain aja. Radit nggk mau Bu, bahkan untuk waktu Radit aja ibu yang ngatur."
Ratna terdiam, dia sedikit tertampar mendengar penuturan putranya. Hingga suara Ratna menjadi sedikit melunak.
"Tidak bisakah kamu contoh kakakmu, belajar dari kakakmu itu, Raditya."
Kata kata yang Ratna lontarkan membuat Radit kembali membeku di ujung tangga. Sungguh dia tidak suka ketika ibunya mulai membanding bandingkan dirinya dengan mba Nisa. Sungguh Radit benar benar tidak suka.
"Contohlah kakakmu dari segi akademis, kurangi kegiatan diluar jam pelajaran, ibu cuma mau itu. Ibu nggk mau kamu ikut ikutan yang nggk bener diluar sana." Ujar Ratna sambil berjalan ke bawah tangga, dia menatap putranya yang diam di ujung tangga.
"Nisa tidak pernah pulang terlambat, dia juga tidak sebanyak kamu mengikuti kegiatan diluar jam sekolah." Lanjutnya
Radit mulai sulit untuk meredam amarahnya. Dia mengepalkan tangan guna menahan amarah ketika ibunya mulai membanding bandingkan.
"Nisa tidak pernah melawan ibu."
Kata kata terakhir dari Ratna membuat Radit muak. Nisa, Nisa, Nisa
"Radit tau hal yang bener dan nggk Bu. Nggk perlu ibu kekang seperti ini."
Seolah olah mba Nisa yang paling sempurna. Sedangkan Raditya hanya seonggok kayu yang tidak berguna di mata orang tuanya. Radit tidak membenci kakaknya itu, hanya saja dia muak ketika orang tuanya mulai menyelipkan nama Nisa di setiap pembicaraan.
"Raditya Mahardika!."
"Mahardika!"
"Ibu sedang bicara!"
Radit sudah tak menghiraukan panggilan Ratna. Dia meninggalkan ibunya itu begitu saja. Dia muak mendengar kata kata ibunya. Radit lebih memilih segera pergi ke kamar dari pada harus melawan kata kata ibunya itu. Tidak akan ada gunanya.
Meski Radit sangat ingin mengatakan bahwa dia tidak seberuntung itu. Mba Nisa pandai di akademis sedangkan Radit tidak terlalu hingga dia memilih menyalurkan bakatnya yang lain, dia kerap mengikuti kegiatan yang membuatnya membawa piagam. Meski hal itu tidak berarti apapun di mata Ratna dan juga Himawan.
Radit membanting pintu kamar hingga mengeluarkan suara berdebam keras, membuat Ratna yang berada di lantai bawah menatap nanar ujung tangga.
Hingga kemudian terdengar suara teriakan keras. Hal itu membuat Ratna langsung terpogoh pogoh berlari menuju kamar putranya. Perempuan paruh baya itu berdiri di depan pintu, hatinya ingin membuka pintu namun urung ketika mendengar suara Isak tangis yang tertahan.
Di dalam sana Raditya, mengusap wajah. Emosinya meluap dalam bentuk air mata. Tidak, bukan berarti Radit tidak bisa melawan hanya saja dia tidak mampu untuk mengeluarkan kata kata lebih pada ibu nya. Dia takut akan menyakiti hati perempuan paruh baya itu.
"Radit cape Bu."
"Radit nggk mau terus terusan dikekang."
"Radit ingin bebas."
Lirih Raditya dalam kamarnya. Sedangkan ibu nya, Ratna hanya bisa menatap nanar pintu kamar putranya dari luar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Randhu
Teen FictionRaditya Mahardika, seorang anak dari golongan keluarga menengah ke atas. Orang bilang hidupnya sempurna, semua fasilitas ada. Semuanya serba bisa Tapi... Radit tidak pernah merasakan rasa bebas. Dia strict parents. Kalian tidak salah mendengarnya. S...