9

4 2 0
                                    

"Lo kenapa riz?"

Radit meletakkan kopi susu di depan Fariz. Laki laki itu hanya tersenyum kecil, matanya sedikit sendu seperti memendam sebuah kesedihan. Radit mengacak rambutnya lantas memijat kepalanya perlahan. Mapel matematika di pagi hari membuat kepalanya sedikit pusing ditambah dengan Fariz yang tiba tiba cosplay introvert seperti ini, irit bicara. Padahal setiap mapel matematika temannya yang memiliki rambut hitam legam sedikit ikal diujung itu selalu berceloteh mengomentari semua hal.

"Kayanya gue mau mundur deketin Salma."

Pernyataan Fariz yang tiba tiba membuat Raditya tersedak es jeruk. Bagaimana bisa temannya itu malah ingin menyerah padahal usahanya sudah 50% di kerahkan.

"Jangan bercanda lah, Lo kenapa? Nggk mau cerita sama gue nih?"

Radit merapatkan duduknya sedikit lebih mendekat pada Fariz.

"Nggak papa, gue mau cabut dulu."

Fariz menghabiskan kopi susunya dalam sekali teguk lantas beranjak berdiri tanpa memberi satu penjelasan pun pada Raditya.

"Eh tunggu dulu, malah main cabut aja." Radit hendak menyusulnya tapi Fariz sudah setengah berlari meninggalkan nya sendirinya di kantin. Laki laki itu memandang temannya heran, kenapa sikap Fariz tiba tiba aneh sejak tadi pagi. Dia memang tidak menjauhi Raditya, hanya saja Fariz seperti menyembunyikan sebuah hal darinya

Radit menatap punggung temannya itu hingga hilang di belokan kantin.

***

"Gue tau Lo sakit riz, tapi jangan nangis juga."

Disinilah Fariz berada di perpustakaan SMA Angga Nirmala. Laki laki itu mencari ketenangan agar kejadian kemarin tidak mengganggu pikirannya dan juga merubah sifatnya pada Raditya.

Dia lantas menyusul nada, teman baik dari seorang Pandya Salma Rinjani. Perempuan yang dicintainya. Fariz langsung menghubungi nada ketika pergi meninggalkan Raditya dikantin. Dia tidak marah, hanya saja mungkin kecewa melihat kedekatan Radit dengan Salma. Padahal dia tau Salma memiliki anxiety ketika mendengar suara keras. Tapi hatinya susah diajak kompromi untuk berdamai dengan keadaan.

Padahal niat Radit baik untuk menolong salma. Hanya saja kenapa dia malah sakit hati? Kenapa kemarin dia tidak menyusul Salma dan Radit di koridor dekat lapangan voli? Kenapa dia memilih pergi begitu saja? Padahal dia bisa untuk ikut membantu Salma bukan malah menjadi pengecut yang lari lebih dulu melihat kedekatan mereka berdua.

"Gue nggk nangis ya nad."

Fariz mengelak sambil mengusap matanya yang sedikit berair yang justru membuat nada tertawa melihat seorang Fariz bisa melow karna seorang perempuan.

"Nggk usah boong Lo sama gue." Ujar nada. Dia tau gerak gerik dari laki laki yang berada di depannya itu.

"Mata sembab gitu katanya nggk nangis." Lanjutnya

Fariz hanya menghela nafas, dia menutup wajahnya dengan sebuah novel yang memiliki warna hijau tua.

"Gue tau Lo sedih, keliatan banget."

Nada berbicara sambil sesekali membalikan halaman novel.

"Tapi jangan gini dong. Lo tadi ngomong nggak mau Radit tau sebab mundurnya Lo buat pdkt sama Salma gara gara dia. Lagian Lo juga kenapa kemarin malah nggk nyusul mereka berdua aja?"

Fariz hanya diam, tapi nada tau laki laki itu sedang menyimak kata katanya. Fariz diam tapi batinnya meruntuki dirinya sendiri.

"Kek bocah lo kek gitu aja udah murung." Nada berdecak.

Gadis itu memandang wajah Fariz yang tertutup novel.

"Kalo sikap Lo gini Radit bakal curiga. Gue nggak nyalahin kalian berdua kalo suka sama orang yang sama. Perasaan itu realistis, nggak bisa cuma dari satu pandangan. Ya mungkin aja kebetulan Salma itu tipe kalian berdua."

Nada membalikkan halaman buku lagi. Sedangkan Fariz masih stay dengan posisi awalnya tidak berubah sama sekali.

"Gue juga nggak nyalahin Lo kalo misal mau mundur. Gapapa kok, masih banyak cewe diluar sana. Jadi jangan nangis jangan sedih." Nada beranjak berdiri sambil menenteng buku yang tadi dia baca.

Fariz menurunkan novel dari wajahnya. Matanya sembab, merah. Jdi dari tadi laki laki itu menangis dalam diam. Nada tertawa melihat temannya itu.

"Eh Lo mau kemana?"

Fariz mencegah nada yang sudah berdiri. Kan dia baru aja curhat nggk ada sepuluh menit, masa mau ditinggal pergi.

"Mau balik kelas lah, habis ini mapelnya Bu Retno klo Lo lupa."

Nada sebenarnya pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi tambahan.

Fariz menepuk dahinya pelan. Dia belum menyiapkan bahan presentasi untuk mapel Bu Retno. Laki laki itu meletakkan asal bukunya di sembarang rak, lantas berlari keluar perpustakaan hingga membuat Bu Sopyan mendelik tajam karna tapak kaki Fariz yang menimbulkan suara saat berlari.

Nada hanya mengangguk sopan melihat delikan tajam dari Bu Sopyan, hingga ketika langkah kaki gadis itu tiba di depan guru paruh baya itu suaranya tiba tiba menghentikan.

"Bilangin temen kamu itu Anada suruh jangan berisik." Bu Sopyan menurunkan kacamatanya menatap gadis yang mengepang rambutnya.

Nada hanya mengangguk, dia sedikit dongkol. Itu ulah Fariz kenapa dia yang dimarani si. Jadi demi kesopanan nada mengangguk lantas tersenyum sopan lagi.

"Baik Bu nanti saya ingatkan." Setelah itu nada ngibrit lari keluar, menyusul Fariz yang tengah memakai sepatu.

Fariz yang selesai memakai sepatunya secepat kilat lalu berlari lagi ke kelasnya yang jauh dari perpustakaan meninggalkan nada yang masih memakai sepatunya. Padahal niatnya nada ingin memarahi laki laki itu karena ulah Fariz, nada yang dimarahi Bu Sopyan tapi sekarang gadis itu hanya bisa melongo melihat Fariz lari tunggang langgang demi menghindari membaca buku sejarah yang tebalnya hampir 600 lembar akibat hukuman dari Bu Retno.

RandhuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang