11

5 1 0
                                    

"Pulang jam berapa hari ini dek?"

Seorang wanita berumur 20 tahun itu duduk di depan meja makan, setelah mengangkat dua piring nasi goreng dari wajan.

Radit yang baru turun dari tangga dengan mengenakan seragam batik khas dari sekolahnya menoleh.

"Rada sorean, ada rapat bentar."

Nisa mengangguk, setidaknya dia ada alasan jika ibunya pulang dan menanyakan dimana Raditya. Dia menggeser kotak bekal berwarna biru ke depan adiknya. Radit tersenyum menyambutnya. Lantas duduk di kursi meja makan berhadapan langsung dengan kakaknya. Satu suap nasi goreng masuk ke dalam mulutnya.

Nisa meletakkan air putih di depan Radit yang sibuk menghabiskan nasi goreng miliknya yang masih sisa setengah.

"Ibu pulang jam berapa mba?" Radit bertanya di sela sela kunyahan.

"Malem paling, mba nggk tau juga."

Radit manggut manggut, dia menghabiskan setengah gelas air putih lalu meraih tasnya.

"Klo misal Radit pulang maleman dikit gapapa ya mba?"

Nisa menaikan satu alisnya, kemana adiknya itu akan pergi. Nisa memegang tangan Radit yang akan beranjak dari meja makan.

"Mau kemana dulu, bilang kek?"

"Cari angin, mumpung ibu nggk dirumah. Klo dirumah mah Radit nggk bisa kemana mana, yaa mba yaa."

Nisa menghela nafas dia tau perasaan adiknya. Ratna tidak pernah membiarkan anak laki laki bungsunya berkeliaran kemana mana. Berbeda dengan Nisa yang dibebaskan, sedikit terbalik memang. Padahal sebagai seorang anak perempuan harusnya dia lebih dibatasi daripada Radit.

Kakaknya itu mengangguk, membuat Radit tersenyum lebar. Ibunya entah pulang jam berapa. Ratna pergi menemani Himawan untuk menemui partner bisnisnya di ibu kota, mereka berangkat kemarin tepat setelah Ratna memarahi Radit.

"Ntar kalo ibu pulang mba kabarin."

Radit mengangguk, dia mengarahkan kepalan tangan pada Nisa memintanya untuk TOS.

"Radit berangkat ya mba."

"Iya hati hati dijalan."

***

"Wehhh dit." Fariz berteriak heboh. Dia menggoncang kan bahu Raditya yang tengah sibuk mengetik di atas laptop.

"Apa si riz?! gue lagi ngetik. Bentar dulu." Laki laki yang tengah berkutat selama hampir sejam untuk menyelesaikan laporan nya itu berdecak. Dia tengah di kejar deadline ini semua gara gara sekertaris yang ngasal saat pembuatan laporan. Seorang gadis kelas 11 yang dia minta untuk membuat proposal itu hanya menyelesaikan nya dalam waktu semalam. Radit yang curiga langsung meminta filenya dan menyuruh sekertaris nya itu untuk tidak mengirimkan dulu laporannya pada pak putra.

Dan ya kalian tau, bahasanya acak acakan. Paragrafnya amburadul. Apalagi tulisannya behh... Seperti orang yang tidak pernah latian menata bahasa. Untung dia cek kalo tidak pasti Radit yang kena semprot pak putra nantinya.

"Acak acakan lagi?" Fariz melongokkan kepalanya ke depan laptop milik Raditya.

"Ya Lo tau sendiri lah."

"Udah tau tu anak nggk bisa buat laporan kenapa di tugasin ke dia si?" Fariz melengos, dia sudah berulangkali mengingatkan Radit agar tidak menyerahkan tugas membuat laporan atau proposal pada Cantika. Tetap saja temannya itu keras kepala. Begini kan jadinya Radit harus bekerja dua kali.

"Gue kira dia bakal belajar, tau nya sama aja." Radit menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Dia sedikit melakukan peregangan untuk otot ototnya yang kaku.

"Tulisan itu nggk bisa di buat dalam waktu sekejap, harus pake perasaan. Walaupun itu cuma sekedar laporan." Seloroh Fariz sambil terus melihat layar ponsel.

"Tu anak harus belajar sama seorang Pandya gimana caranya menulis yang bermutu, tertata dan indah tentunya." Lanjutnya

Radit mengangguk. Cantika memang harus belajar untuk merapikan laporannya. Jika begini terus, OSIS tidak akan punya seorang yang benar benar bisa dalam pembuatan proposal atau laporan. Anak itu harusnya ikut ekstra sastra, bukannya ikut jadi pengurus OSIS. Radit tidak habis pikir dengan pengurus OSIS yang dulu. Bisa bisanya anak yang membuat laporan saja tidak bisa, bisa bisa nya lolos menjadi pengurus.

"Nggk habis pikir gue sama pengurus yang dulu. Cantika diterima jadi pengurus." Radit memijat pelipisnya. Dia sedang gundah pengurus OSIS kelas 11 banyak yang seperti tidak niat. Mereka ikut hanya untuk gaya gaya menyandang gelar OSIS saja.

"Lo kaya nggk tau aja dit, sekarang tu kalo muka Lo cakep daftar apa aja hampir 100% diterima. Meskipun Lo nggk punya bakat dalam hal itu. Intinya muka Lo cakep Lo menang." Pungkas Fariz

Radit memperhatikan pendar cahaya laptop di depannya. Dia meraih botol air mineral yang berada di atas meja. Laki laki itu membuka tutup botolnya lantas meneguk hampir sepertiga air yang ada di dalam botol sambil terus mendengarkan Fariz yang mengoceh kesal.

"Lo juga tau dulu gue hampir kalah sama temen sekelas gue yang cakep. Kita sama sama daftar tapi dia nggk berangkat pas tes fisik sedangkan gue berangkat full. Lo tau apa? Pas pengumuman dia yang keterima. Gue nggk terima dong, gue nyamperin tu panitia nya tanya kenapa gue nggk terima?."

Fariz meletakkan ponselnya di atas meja. Mukanya merah padam mengingat kejadian dua tahun yang lalu itu. Radit ingat, Fariz pernah bercerita soal ini di kelas sebelas saat mereka baru pertama kali sekelas karna sistem rolling.

"Cihhh milih orang buat organisasi cuma ngeliat dari muka doang. Atau cuma dari suka nggknya orang yang lama. Gimana mau maju coba organisasi kita."

Radit menghela nafas. Benar apa yang di katakan Fariz. Memang tidak semua organisasi begitu tapi tetap saja. Waktu tes, Raditya sakit sehingga tidak bisa ikut menjadi panitia sedangkan si Fariz pergi keluar kota untuk lomba atletik. Dan ya ternyata semua anak baru yg terpilih amburadul, tidak semua sii tapi tetap saja mengganggu kinerja.

"Oh iya tadi Lo mau ngomong apa?" Radit menoleh pada Fariz yang muka nya masih memerah.

"Ohhh ituuu, bentar." Seketika wajah temannya berubah cerah. Cepat sekali berubah seperti bunglon. Fariz meng scroll layar ponselnya lantas meng klik sesuatu di sana.

Seketika pendar cahaya dari ponsel Fariz berpindah ke wajah Raditya. Temannya itu memperlihatkan ponselnya tepat di wajahnya. Radit membacanya nya perlahan, sebuah poster berwarna ungu dan putih dengan rentetan tulisan tulisan disana.

"Flowerfess." Radit berkata pelan. Hal itu membuat anggukan di kepala seorang Fariz Arga Handika.

RandhuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang