"SELAMAT SIANG SEMUA."
Gemuruh riuh tepukan tangan terdengar memenuhi indoor yang berisi sekitar 350 orang siswa baru tahun ini. Kakak kelas yang mengampu sebagai panitia dan pengurus saling berlalu lalang memakai almamater sibuk riuh mengurus semua hal.
Seorang kakak pengurus berdiri di podium menyapa seluruh siswa baru intonasi suaranya amat sangat menyenangkan dia melambaikan tangan. Tepuk tangan dari seluruh peserta MPLS kembali terdengar.
"ADA YANG UDAH KENAL SAYA?"
Laki laki itu menunjuk dirinya sendiri, menatap sekeliling, dia tersenyum ke arah adik tingkatnya. Hal itu disambut dengan gemuruh suara menyebutkan na ma untuk beberapa siswa yang memang sudah kenal, beberapa lagi lebih tertarik mengeluarkan kata tidak tau agar kating mereka yang satu ini lebih lama memperkenalkan diri.
Sementara itu, keriuhan di belakang indoor juga terasa. Beberapa siswa yang akan menampilkan sebuah pertunjukan saling sibuk.
"Gimana ya kak?"
Salah seorang anak kelas 11 berdiri didepan kakak pembimbingnya. Dia bukan anggota OSIS atau mpk, dia hanya seorang anak ekstra sastra yang diminta untuk memberikan pertunjukan pada acara pembukaan MPLS."Gapapa, kakak yakin kamu bisa." Dia tersenyum lantas menyisipkan rambutnya yang dibiarkan tergerai ke belakang telinga.
"Yang tenang, nanti Kakak dampingi." Lanjutnya
Anak kelas 11 itu tersenyum, sementara itu OSIS yang tadi berdiri di podium, mengangguk pada rekan rekannya yang berada di belakang indoor. Waktunya acara pertunjukan pembukaan MPLS dimulai.
"OKE SEMUA, MARI KITA SAKSIKAN PERTUNJUKAN DARI ANAK SASTRA DENGAN JUDUL RANDHU YANG TAK RINDU... BERI TEPUK TANGAN YANG MERIAH."
Laki laki itu turun dari podium lantas berlari lari kecil ke belakang indoor. Salma menemani sekitar 7 anak sastra yang akan memberi pertunjukan pada siswa MPLS. Sebuah puisi karya nya yang sudah di remake beberapa bagian oleh pak Agam. Bukan pembacaan puisi biasa, pertunjukan ini lebih mengarah seperti pertunjukan puisi bercampur dengan teater.
Salma berdiri di belakang anak anak MPLS dengan 2 anggota OSIS yang mungkin menjabat sebagai perkab. Dia mengangguk pada Nafia yang kini berada di atas panggung.
Sebuah alunan instrumental musik terdengar. Nafia, seorang anak kelas 11 masuk ke dalam indoor dia mengenakan rok lilit batik berwarna abu" dipadukan dengan kemeja berwarna putih dan rambutnya yang disanggul sederhana. Dia menatap Salma dari kejauhan, Salma mengangguk seolah mengatakan untuk memulai.
Pegangan tangan Nafia mengerat pada pengeras suara. Puisi karya Salma mulai dibawakan.
Randhu putih itu membawaku
Suara lembut Nafia, menggema di seluruh penjuru indoor. Beberapa orang anak sastra lain juga turut memasuki indoor, kaki kaki mereka terlatih baik. Lincah dan sesuai irama untuk memainkan peran masing masing.
Salma tersenyum kecil, tidak salah dia memilih Nafia untuk membawakan puisi miliknya.
Dia tak hirau menerbangkanku ke langit itu.
Suara instrumen terus mengalun lembut, sesuai dengan dengan nada suara Nafia dan juga dengan puisinya.
Suara Nafia terdengar kembali, dia seolah benar benar menghayati isi dari puisi itu. Sementara teman rekan ekstra nya masih lincah bergerak, menyampaikan maksud puisi itu lewat gerakan, mengisyaratkan tiap kalimat yang Nafia utarakan.
Diantara hiruk pikuk pertunjukan di indoor, kepala Salma mulai terasa pening. Dia berpegangan pada tembok indoor dan hal itu tak luput dari 2 orang anggota OSIS yang sedari tadi bersama nya.
"Lo baik baik aja?"
Salma menggeleng, kepalanya seperti berdenyut.
"Heii, lebih baik duduk dulu." Anggota OSIS itu meletakkan sebuah kursi di samping Salma menyuruhnya duduk.
"Woiii, riz ambilin air minum!" Teriaknya lagi pada teman nya.
Salma duduk di kursi itu sambil terus memperhatikan Nafia dkk. Dia tidak mungkin pergi dari sini selagi Nafia belum selesai. Hal ini memang biasa terjadi jika dia terlalu banyak pikiran, lelah atau sedang berada di publik yang terlalu ramai. Bukan berarti Salma introvert, dia hanya sering kali pusing mendengar suara" riuh. Anggota OSIS yang ternyata teman nada itu, terus berada di sampingnya. Menunggui sambil terus memperhatikan semua berjalan dengan baik.
Aku mengikutinya tapi dia meninggalkan
Suara Nafia menjadi rendah, mengikuti hal yang sudah diajarkan oleh Salma. Sementara itu Fariz, terpogoh pogoh membawa air minum. Dia panik ketika sadar bahwa itu Salma. Dia tunggang langgang, mencari air ketika Raditya berteriak meminta air. Karna Raditya tidak mungkin meninggalkan lapangan, dia koordinator lapangan harus memastikan semua baik ketika di lapangan. Fariz sampai di samping Radit dengan keringat yang mengucur deras.
"Nih sal, diminum dulu."
Salma menyambut gelas itu perlahan. Lantas meneguknya. Dia harus bisa mengendalikan pikirannya.
"Perlu kompres air anget atau hal lain nggk?" Fariz bertanya, wajahnya pucat karna panik. Dia siap mencari apapun yang di butuhkan oleh Salma.
"Nggk, ini udah cukup. Terimakasih." Salma tersenyum lantas menggeleng.
Hal itu membuat Fariz salting sendiri, dia hampir berteriak jika Raditya tidak mempelototinya.
Pertunjukan di depan indoor hampir selesai. Gerakan anak sastra mulai melambat mengikuti, nada suara Nafia yang menyampaikan puisi.
Aku pergi maka sunyi itu akan kembali
Seorang anak sastra bergerak perlahan ke belakang indoor, benar benar mengisyaratkan pergi. Sementara lawan mainnya, terlihat enggan untuk melepasnya.
Kau tak akan pernah menemui yang sepertiku
Instrumental musik melambat, menandakan akhir dari sebuah cerita. Nafia membungkuk, lantas berjalan di belakang teman temannya dengan perlahan.
Riuh tepuk tangan memenuhi seluruh penjuru indoor. Baik Raditya maupun Fariz, melongo. Siapa yang membuat ide untuk memadukan puisi dengan gerakan sungguh diluar dugaan. Mereka hanya berpikir jika anak sastra paling hanya sekedar drama, teater dan hal simpel lainya. Ini sungguh diluar nalar. Salma tersenyum, dia lega tugasnya selesai. Nafia dan anak anak sastra lain berlari ke arahnya saat dia hendak menyandarkan kepalanya ke tembok.
"Kakak, makasihhhh." Nafia memeluk Salma yang duduk di atas kursi. Raditya dan Fariz memberikan jarak, sedikit menjauh. Meski Fariz sebenernya sedikit kepo dengan apa yang dilakukan perempuan yang disukainya itu tapi Raditya menariknya menyuruh menjauh.
"Berkat ide Kakak, pertunjukan kita jadi bagus banget kak." Seorang anak sastra lain berbicara.
"Kalian yang hebat, Kakak cuma bantu dikit. Tadi pak Agam pesen sate, suruh di makan ada di mejanya pak Agam."
Anak anak itu mengangguk, berhamburan keluar dari indoor. Nafia memeluk Salma kembali. Salma tau hal itu sulit untuk Nafia, dia anak yang tidak terlalu percaya diri di depan umum tapi, bisa dengan mudah membawakan sebuah puisi 6 bait dengan baik.
Nafia lantas ikut berlari mengejar teman temannya. Hal itu membuat Raditya dan Fariz saling tatap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Randhu
Novela JuvenilAku seperti lampiasan rasa dari seorang penulis disana. "Aku tau Rin, aku salah. Sering membuatmu kecewa adalah kesalahanku. Namun. aku juga tidak bisa untuk membangkang kepadanya. Disisi lain aku bingung harus memilih perempuan yang aku cintai atau...