12 tahun kemudian
Di sebuah rumah mewah dengan nuansa elegan—kombinasi warna abu-abu, krem, dan putih. terdengar suara seorang bocah laki-laki berusia lima tahun yang duduk di meja makan. Ia mengambil apel yang baru saja dikupas oleh ibunya.
"Mom, why is our family so rich?" tanyanya polos.
Sang ibu tersenyum lembut. "Because Mom and Dad never give up on their dreams, love," jawabnya.
Tak mau ketinggalan, seorang anak perempuan berusia tiga tahun yang duduk di sebelah ayahnya ikut bertanya. "Dad, why are we so rich?"
Sang ayah, yang masih sibuk dengan laptopnya, menoleh sebentar dan tersenyum. "Because your mom always believed in me, girl," jawabnya.
Tiba-tiba, suara lantang terdengar dari pintu masuk.
"HAI, BOY! I'M COMINGGGG!"
Bocah laki-laki itu langsung melonjak kegirangan dan berlari menuju pintu utama. "UNCLEEE!" serunya, lalu langsung memeluk pria yang baru datang.
Orang itu adalah Kaiven, sahabat ayahnya sejak dulu. Dengan cekatan, Kaiven menggendong si bocah ke pundaknya. "Uncle, aku punya mainan baru, loh!" ucap bocah itu antusias.
Kaiven tertawa. "Wah, benarkah?"
"Tentu! Ayo, ikut! Aku tunjukin!"
Di saat yang sama, seorang pria keluar dari dapur. "Yang lain mana, Kai?" tanyanya.
Kaiven menoleh. "Masih di bawah. Ayo, Zean, kita lihat mainan barumu dulu!"
Tak lama, suasana rumah semakin ramai dengan kedatangan teman-teman lama: Rafael, Hazel, Felicio, Alina, Zavier, Evan, serta anaknya, Azril.
Di ruang tamu, seorang bocah perempuan berlari menghampiri sosok yang baru datang. "Kak Argaaa!" serunya girang.
Seorang bocah laki-laki tersenyum lebar dan mengeluarkan sesuatu dari belakang punggungnya. "Aku bawa mainan buat kamu!"
Mata gadis kecil itu berbinar. "Oh ya? Apa itu?" tanyanya tak sabar.
Arga mengulurkan boneka beruang kecil. "Ini!"
"Ihhh, lucunyaaa!" Gadis kecil itu langsung memeluk Arga erat.
Melihat pemandangan itu, seorang pria dewasa berdeham keras. "WOIII, FEL! ITU ANAK GUE TERNODAI!" teriaknya, membuat semua orang di ruangan itu tertawa.
Tak lama, Alina datang membawa panci besar. "Ke rooftop yuk, semuanya udah siap!" ajaknya.
Felicio segera mengambil alih panci dari tangan istrinya. "Sini, sayang. Aku bantu."
Anak-anak pun ikut heboh. "Kak Azrilll, ayo ke atap! Kita main petasan bareng-bareng!" ajak Zea, si gadis kecil.
Azril masih sibuk menatap layar ponselnya dan menjawab tanpa menoleh. "Nggak mau, Zea. Gue mager."
Arga menimpali. "Biarin aja, Zea! Biar Azril sendirian di sini ditemenin hantu!" godanya.
Mata Zea melebar. "Emang di rumah aku ada hantunya, Kak?" tanyanya polos.
Sebelum Arga sempat menjawab, Zean—kakak Zea—menyela. "Jangan nakut-nakutin adik gue, lo!"
Namun Zea tetap cemberut. "Nggak mau! Zea maunya sama Kak Azril!"
Menghela napas panjang, Azril akhirnya menyerah. "Oke, oke. Ayo ke atap! Jangan ngambek gitu, dong."
Baru saja mereka hendak naik, seseorang datang.
"ZEAAAA!"
Seorang gadis yang usianya lebih tua tiga tahun dari Zea berlari menghampiri.
"KAK JIAAA!" Zea langsung melepaskan genggaman tangannya dari Azril dan berlari memeluk Jia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Euphoria : Fly to the moon
Roman pour AdolescentsSelama tiga tahun, Aurora menyimpan rasa untuk Antariksa, teman sekelasnya yang penuh teka-teki. Selama 3 tahun Ia terus mengejar cinta yang tak pasti, bingung dengan perasaan Antariksa yang tak pernah jelas. Mungkin kisah mereka aneh, tapi bukankah...